TUGAS SEPULUH TANTANGAN NILAI ZAMAN
TUGAS SEPULUH TANTANGAN NILAI ZAMAN
Nilai 1: Antinomianisme
Nilai 2: Radikalisme
Nilai 3: Terorisme
Nilai 4: Sekularisme
Nilai 5: Hedonisme
Nilai 6: Materialisme
Nilai 7: Humanisme
Nilai 8: Relativisme
Nilai 9: Konsumerisme
Nilai 10: Sukuisme
Mata Kuliah: Teologi Pastoral
Dosen: Dr. Yunus Laukapitang
Mahasiswa: Aya Susanti
PROGRAM STUDI DOKTORAL
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT JAFFRAY
MAKASSAR
2022
Nilai 1: Antinomianisme
a. Deskripsi
Label antinomianisme pertama kali ditemukan oleh Marthin Luther. Secara harfiah berarti melawan hukum (nomos adalah bahasa Yunani untuk hukum), dan Luther menggunakannya untuk menggambarkan mereka yang mengatakan bahwa hukum moral tidak boleh diberitakan kepada orang percaya. Itu dari awal konstruksi dirancang untuk efek plemis. Ini membantu Luther untuk menargetkan mereka yang berpikir (dengan alasan yang baik) bahwa mereka hanya mengulangi apa yang telah dia katakan. Pada tahun 1535 Luther telah menegaskan bahwa hukum telah dihapuskan. Tetapi pada tahun 1539 ia bertanya, “Kalau begitu, mengapa orang ingin menghapus hukum, yang tidak dapat dihapuskan? Sejak awal, label itu menjadi subyek polemik dan sarat dengan ironi, yang seharusnya menimbulkan kehati-hatian tertentu dalam bagaimana hal itu terjadi digunakan dan diinterpretasikan.[1]
Doktrin yang dipegang oleh sekelompok orang Kristen, berdasar pada ajaran Paulus bahwa Kristus telah memerdekakan kita dari perbudakan di bawah Taurat, yang diartikan sebagai kemerdekaan total dari segala pengekangan. Parodi terhadap pandangannya ini ditolak Paulus dalam Roma 6, dan Matius 5:17-18 juga menyatakan prinsip bahwa Hukum Taurat dan adat istiadat tetap memiliki validitas dalam mengatur kehidupan pribadi dan kehidupan publik.
Antinomianisme bukanlah pembenaran intelektual atas kelemahan moral manusia, melainkan pengakuan sungguh-sungguh bahwa kehidupan Kristen adalah kehidupan rohani, bukan kehidupan jasmani; orang Kristen berada lebih tinggi di atas kecermatan hukum Musa lama. Pandangan ini sering kali muncul kembali dalam gereja dan sering pula ditolak (seperti oleh John Wesley pada 1740) sebagai bidat, bahkan oleh mereka yang jelas mengerti bahwa Injil tidak sesuai dengan etika legalistik.[2]
b. Dampaknya dalam Pelayanan Pastoral
Bila ada orang-orang atau jemaat tertentu yang menganut nilai antinomianisme tentu tampak dari sikapnya yang kaku dan legalistik di dalam mengambil suatu keputusan etis. Orang seperti ini mesti dilayani dengan hati-hati karena mereka cenderung menerapkan segala sesuatu sesuai dengan suatu nilai hukum. Orang atau pendeta yang melayani jemaat seperti ini mesti memahami langkah-langkah mengambil suatu keputusan yang berlandaskan hukum. Dampaknya terasa ketika para pendeta atau gembala mau menekankan nilai kasih maka akan sering bentrok dengan jemaat yang suka bersitegang agar segala masalah diselesaikan di kepolisian atau di meja hijau. Tentunya ini akan menjadi pekerjaan tambahan yang besar bagi pendeta yang ingin mendemokan kesaksian hidup yang baik, masalah dalam gereja mestinya dapat diselesaikan di dalam gereja.
c. Terlihat di dalam Masyarakat
Orang-orang seperti ini sering banyak menuntut perlakuan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bila ada perubahan peraturan biasanya tidak mudah diterima dengan ikhlas. Kebanyakan dari mereka menginginkan peraturan yang menurut mereka sesuai dengan tradisi mereka secara turun temurun.
Nilai 2: Radikalisme
a. Deskripsi
Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix” yang artinya akar, pangkal, bagian bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikalisme berarti (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata “terror” berarti usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Sedangkan kata “meneror” mengandung artiberbuat kejam (sewenang-wenang dsb) untuk menimbulkan rasa ngeri atau takut.
Setidaknya, radikalisme bisa dibedakan ke dalam dua level, yaitu level pemikiran dan level aksi atau tindakan. Pada level pemikiran, radikalisme masih berupa wacana, konsep dan gagasan yang masih diperbincangkan, yang intinya mendukung penggunaan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Adapun pada level aksi atau tindakan, radikalisme bisa berada pada ranah sosial-politik dan agama. Pada ranah politik, faham ini tampak tercermin dari adanya tindakan memaksakan pendapatnya dengan cara-cara yang inkonstitusional, bahkan bisa berupa tindakan mobilisasi masa untuk kepentingan politik tertentu dan berujung
pada konflik sosial. Dalam bidang keagamaan, fenomena radikalisme agama tercermin dari
tindakan-tindakan destruktif-anarkis atas nama agama dari sekelompok orang terhadap kelompok pemeluk agama lain (eksternal) atau kelompok seagama (internal) yang berbeda dan dianggap sesat. Termasuk dalam tindakan radikalisme agama adalah aktifitas untuk memaksakan pendapat, keinginan, dan cita-cita keagamaan dengan jalan kekerasan. Radikalisme agama bisa menjangkiti semua pemeluk agama, tidak terkecuali di kalangan pemeluk Islam.[3]
b. Dampaknya dalam Pelayanan Pastoral
Melalui pembinaan lebih lanjut dalam cangkang radikalisme, entah melalui kamp latihan yang terpencil, atau lembaga pendidikan yang eksklusif, atau barangkali cuma dalam pertemuan-pertemuan rutin, para pihak yang terlibat dalam sel-sel jaringan
membangun soliditas yang kokoh, dan menjadikan anggota yang baru menjadi semakin militan. Mereka membentuk jaringan, dan tidak setiap jaringan itu jelas strukturnya.
c. Terlihat di dalam Masyarakat
Orang-orang radikal, yang mengalami proses pematangan paham radikalnya dalam cangkang radikalisme, boleh jadi akan memaknai “jalan perjuangan” dengan pemahaman seperti itu. Pada awalnya, mereka yang hanya bermodalkan fanatisme mungkin diberi “pencerahan” bahwa ideologi mereka sudah benar. Dalam rangka membangun jejaring yang solid, mereka pun disadarkan bahwa mereka tidaklah sendiri, tapi punya saudara seperjuangan di mana-mana, walaupun masing masing berada dalam sel-sel yang terpisah, bahkan secara personal mungkin tidak saling mengenali. Tujuan kelompok tidak diformulasikan sebagai penggabungan tujuan orang per orang, tetapi merupakan tujuan bersama untuk kepentingan bersama, yang telah dikonsepkan oleh pendiri kelompok.
Nilai 3: Terorisme
a. Definisi
Seperti diketahui, dalam pelabelan teroris tersebut, pemerintah merujuk pada UU No. 5 tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Menurut UU tersebut, yang dimaksud dengan “teroris” adalah siapapun orang yang merencanakan, menggerakan, dan mengorganisasikan terorisme. Sementara yang dimaksud dengan “terorisme” adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakaan atau kehancuran terhadap objek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.[4]
b. Dampaknya dalam Pelayanan Pastoral
Apabila ada anggota jemaat yang pernah terlibat dalam terorisme mesti dilayani dengan tuntas serta melibatkan berbagai puhak misalnya terapis, psikolog, psikiater bila perlu. Setelah dilayani dan mengalami kemajuan pesat bahkan pemulihan, mantan pelaku teroris dapat dilibatkan kembali sebagai anggota jemaat yang normal dan membinanya untuk mengambil bagian di dalam pelayanan.
c. Terlihat di dalam Masyarakat
Jaringan terorisme yang melibatkan orang-orang radikal, tidak mudah terdeteksi aktivitas dan keberadaannya. Karena itu pula kelompok teroris yang perjuangannya didasarkan oleh ghirah ingin membangun sesuatu tatanan baru tidak mesti menampilkan diri sebagai sebuah organisasi formal. Sebagai contoh, kelompok teroris yang perjuangannya dilandasi ide agama, perintah untuk melakukan aksi bom bunuh diri bisa saja bukan berupa selembar surat
keputusan dengan stempel basah, melainkan cukup hanya berupa perintah lisan dari orang diakuinya sebagai imam, dan pasti akan ditaati dengan sepenuh hati. Kelompok terorisme semacam ini tentu saja lebih sulit untuk dihadapi, dilawan, dan dideteksi, dibanding dengan
misalnya kelompok teroris yang keberadaannya dilandasi oleh alasan-alasan rasional untuk meningkatkan posisi tawar ekonomi.
Nilai 4: Sekularisme
a. Deskripsi
Sekularisasi mengacu pada proses penting di mana setiap aspek masyarakat barat (politik, sosiologis, ekonomi, dan agama) beralih dari otoritas eklesial ke otoritas non-eklesial. Digambarkan oleh sosiolog M. Weber (1864-1920) sebagai kekecewaan dunia, hasil dari proses ini mungkin paling baik dikemas dalam pertanyaan C. Taylor (b. 1931), ‘Mengapa hampir mustahil untuk tidak percaya pada Tuhan di tahun 1500 dalam masyarakat Barat kita, sementara pada tahun 2000 banyak dari kita menemukan ini tidak hanya mudah, tetapi bahkan tak terhindarkan?’ Sementara orang mungkin menemukan benih sekularisasi lebih awal, periode 500 tahun referensi Taylor menandai asal-usul, artikulasi, pematangan, dan pertahanan dari fenomena luas ini.[5]
b. Dampaknya dalam Pelayanan Pastoral
Tidak ada lagi pemikiran Kristen. Etika Kristen, perilaku Kristen dan spiritualitas Kristen memang masih ada. Sebagai makhluk bermoral, orang Kristen modern merujuk pada norma yang berbeda dari norma non-Kristen. Sebagai anggota Gereja, ia tunduk pada berbagai kewajiban dan peraturan yang diabaikan oleh orang non-Kristen. Sebagai makhluk spiritual, melalui doa dan meditasi ia berusaha menggapai dimensi hidup yang tidak pernah dialami oleh orang non Kristen. Tetapi sebagai makhluk yang berpikir, orang Kristen modern telah tunduk kepada sekularisasi. Ia menerima agama moralitasnya, penyembahannya, budaya spiritualnya, tetapi menolak wawasan hidupnya yang religius, yaitu wawasan yang meletakkan semua isu duniawi di dalam konteks kekekalan, yang menghubungkan segala persoalan manusia, sosial, politik, budaya, dengan landasan-landasan doktrinal iman Kristen, dan yang melihat segala sesuatu di bawah terang supremasi Allah dan kefanaan dunia, di bawah terang sorga dan neraka.[6]
Sebagai makhluk bermoral, orang Kristen modern merujuk pada norma yang berbeda dari norma non-Kristen. Sebagai anggota Gereja, ia tunduk pada berbagai kewajiban dan peraturan yang diabaikan oleh orang non-Kristen. Sebagai makhluk spiritual, melalui doa dan meditasi ia berusaha menggapai dimensi hidup yang tidak pernah dialami oleh orang non Kristen. Tetapi sebagai makhluk yang berpikir, orang Kristen modern telah tunduk kepada sekularisasi.
Sudah menjadi aksioma bahwa sekularisme melucuti hal-hal yang bernuansa ilahi. Tetapi kita perlu melihat bahwa ia melakukan hal ini dengan menempatkan mereka ke dalam batas-batas kehidupan yang bersifat pribadi.[7]
c. Terlihat di dalam Masyarakat
Pemikiran manusia modern telah tersekularisasi. Contohnya, pemikiran manusia modern telah membuang semua orientasi kepada hal-hal supranatural. Fakta ini tidak akan sebegitu tragis seandainya pemikiran Kristen memberikan perlawanan kepada arus sekuler. Sayangnya, pemikiran Kristen telah tunduk kepada arus sekuler sampai pada taraf kelemahan dan ketidakberdayaan yang tiada bandingannya di sepanjang sejarah kekristenan. Sulit untuk mengomentari kekalahan total dari moral intelektual Gereja abad kedua puluh ini dengan tenang. Seseorang tak dapat membicarakannya tanpa memakai bahasa yang terdengar histeris dan melodramatis.[8]
Nilai 5: Hedonisme
a. Deskripsi
Hedonisme berarti menempatkan kesenangan sebagai nilai tertinggi dalam hidup dan sebagai sasaran yang wajib segera dikejar. Dalam hedonisme, mencari kesenangan adalah hikmat dan kebajikan tertinggi, dan memaksimalkan kesenangan adalah pelayanan tertinggi. Kebudayaan Barat populer pada umumnya bersifat hedonis.
b. Dampaknya dalam Pelayanan Pastoral
Umat Kristen modern terus menerus menghadapi pengaruh hedonisme melalui media massa dan relasi-relasi yang mendorong mereka mendekat pada jalur hedonisme. Tuhan ingin kita bahagia sekarang, Yesus menawarkan kepuasan penuh sekarang, menceraikan pasangan hidup yang tidak membahagiakan kita lalu menikah lagi dengan orang lain adalah hal yang baik dan saleh, melakukan hubungan homoseksual adalah hal yang baik dan saleh jika hal itu membuatmu senang. Semua pandangan ini mudah ditemui dalam gereja akhir-akhir ini. Memakai waktu luang sepenuhnya untuk kesenangan dan memperbaiki gaya hidup berarti meningkatkan kesenangan, telah menjadi aksioma yang diterima umum dalam industri periklanan masa kini dan tidak dipertanyakan lagi oleh banyak orang yang mengaku Kristen. Jelas ada masalah besar dalam hal ini.[9]
c. Terlihat di dalam Masyarakat
Akhir-akhir ini, istilah “hedonisme Kristen” semakin terkenal sebagai label aliran yang mengajarkan bahwa Tuhan yang menjanjikan kebahagiaan dan sukacita pada umatNya baik sekarang maupun dalam kekekalan, memang memenuhi janjiNya pada saat ini di sini. Hedonisme Kristen memiliki alasan untuk mengoreksi pandangan anti hedonisme Kristen. Anti hedonisme Kristen adalah pandangan bahwa kesenangan tidak memiliki tempat dalam hidup yang saleh, bahwa hidup Kristen di dunia ini akan selalu berkaitan dengan darah, kerja keras, air mata dan keringat – singkatnya, penderitaan heroik. Akan tetapi, hedonisme Kristen bukan merupakan istilah yang baik seolah-olah mengatakan bahwa menempatkan kesenangan sebagai nilai tertinggi dalam hidup merupakan ajaran Kristen, padahal itu tidak benar. Alkitab tidak mengajarkan untuk mengejar perasaan senang, santai dan puas sebagai nilai hidup tertinggi. Sebaliknya, Alkitab berkata bahwa memuliakan Tuhan melalui ibadah dan pelayanan merupakan sasaran manusia sejati, bahwa bersukacita dalam Tuhan merupakan inti ibadah dan buah-buah kesenangan kekal akan diberikan kepada kita kelak. Jika kita mencari kesenangan lebih daripada mencari Tuhan, maka kita terancam akan kehilangan keduanya. Jelas hal ini juga dipikirikan oleh hedonisme Kristen, karena itu keberatan J.I Packer penulis artikel ini terbatas pada pilihan kata yang mereka pakai. Tetapi hedonisme yang sebenarnya tetap harus dihindari.[10]
Nilai 6: Materialisme
a. Deskripsi
Pada pandangan pertama, perhatian materialisme tampaknya bertentangan secara diametris dengan perhatian teologi, jika Tuhan adalah Roh (Yohanes 4:24), dan jika istilah roh dipahami dalam pengertian tanpa tubuh, materi tampak asing bagi teologi. Kesan konflik yang tidak dapat didamaikan antara materialisme dan teologi ini lebih lanjut dikonfirmasi jika materialisme dipahami sebagai perhatian eksklusif untuk materi tanpa minat pada perhatian atau pikiran.[11]
b. Dampaknya dalam Pelayanan Pastoral
Teologi Kristen sendiri didasarkan pada realitas material. Inkarnasi Allah di dalam Yesus Kristus adalah contoh utama: Sabda itu telah menjadi manusia dan hidup di antara kita (Yohanes 1:14). Lebih jauh lagi, Kristus menjadi daging dalam tubuh tertentu, di tempat dan waktu tertentu, di lokasi sosial tertentu, putra seorang pekerja harian dan ibu yang tidak menikah di pinggiran Kekaisaran Romawi, dalam solidaritas dengan “yang paling kecil dari ini”. Kekristenan sering mengabaikan pentingnya fakta, dan Pengakuan Iman Rasuli dan Pengakuan Iman Nicea tidak mengacu pada pelayanan Kristus di bumi. Namun kecenderungan spiritualisasi dan abstraksi ini tidak pernah tidak terbantahkan, dan dapat dikatakan bahwa Injil setidaknya sebagian ditulis untuk memeranginya (Yohanes 19:33-35).[12]
c. Terlihat di dalam Masyarakat
Untaian materialis dalam teologi Kristen ini berakar pada tradisi Yahudi, di mana Tuhan menciptakan langit dan bumi dan menegaskan kembali komitmen ini pada dunia material dan ritmenya sekali dan untuk selamanya setelah banjir besar (Kejadian 8:21-22). Dalam Alkitab Ibrani, perhatian teologi bukanlah yang ilahi karena berkaitan dengan realitas non-materi atau kehidupan setelah kematian (sebuah gagasan yang muncul hanya sangat terlambat) tetapi kehidupan di dunia ini dan kesejahteraannya. Spiritualitas, dalam konteks ini, terikat erat dengan materi di setiap kesempatan.[13]
Nilai 7: Humanisme
a. Deskripsi
Berusaha mendefinisikan humanisme tanpa menyinggung beberapa orang ahli adalah tugas yang sulit. Di dalam The Humanist Tradition in the West, Alan Bullock menggambarkan humanisme dan kaum humanis sebagai “istilah-istilah yang tidak pernah berhasil didefinisikan secara memuaskan bagi semua orang, istilah yang bisa berubah-ubah ini bisa memiliki makna yang berbeda bagi orang yang berbeda dan membuat penyusun kamus dan ensiklopedi menjadi kesal dan frustrasi.
Namun, tidak kurang usaha untuk mendefinisikan istilah tersebut. Humanisme senang melihat dirinya sebagai sesuatu yang “melampaui agnostisisme”. Tantangan ini, seperti menempelkan jelly ke tembok, hal ini tidaklah mengejutkan karena filosofinya sendiri sangat tergantung pada orang yang mendefinisikannya.
Humanisme sekular lahir di masa-masa keraguan. Ketika kaum pietisme di universitas pada masa sebelum perang sipil Amerika mulai kehilangan kekuatan dan budaya keragaman, dan keraguan mulai mengambil tempat, tradisi yang memberi petunjuk mengenai makna hidup yang telah menjadi dasar awal dari pendidikan tinggi Amerika hanya bisa bertahan dalam bentuknya yang telah diubah. Humanisme sekularlah yang memungkinkan ini terjadi. Ia menawarkan cara mempertahankan pertanyaan tentang makna hidup di pusat perhatian akademis dan mengejarnya dalam cara yang disiplin sambil mengakui kepercayaan pluralis dan skeptis yang telah mengurangi otoritas dan kredibilitas prinsip dari tatanan lama, yaitu ada satu cara yang benar untuk hidup dalam dunia Allah yang tertata dan bisa dipahami.[14]
Dengan membuat sketsa dari berbagai bentuk humanisme modern yang nonatheistis dan naturalis modern, dan dengan menelusuri perkembangan historis filsafat ini, kita dapat memahami dengan lebih baik pengaruhnya dalam kehidupan Amerika kontemporer. Segala ragam humanisme naturalistis menolak theisme dan memandang manusia sebagai keberadaan yang tertinggi dalam alam semesta.
Satu jenisnya adalah Humanisme Marxis. Para pendukung pandangan ini menganggap agama sebagai suatu penghalang bagi kemajuan sosial karena agama sering memperkuat kendali kaum borjuis atas masyarakat. Kaum humanis Marxis terutama mencari perbaikan kondisi sosial dan ekonomi melalui restrukturisasi tatanan politik dan mengimplikasikan teknik-teknik dan temuan-temuan ilmu pengetahuan modern. Kaum humanis lainnya (di samping juga banyak orang Kristen) mengkritik kaum Marxis ini karena menyetujui kekerasan, menerima determinisme, menolak demokrasi politik, dan menyangkal kebebasan sipil bagi pihak-pihak yang tidak sepandangan.[15]
b. Dampaknya dalam Pelayanan Pastoral
Pada hari ini kita memerlukan humanisme sekular[16] untuk alasan yang berlawanan, bukan sebagai pelindung melawan keraguan tapi sebagai pengencer keyakinan kita. Kita membutuhkannya untuk membantu kita menantang kaum pietis yang mengondisikan hidup kita dalam cara-cara yang mendalam dan tak disadari. Kebangkitan humanisme sekular dibutuhkan untuk membantu kita bisa ragu kembali.
Lebih penting dan lebih berpengaruh lagi adalah humanisme religius. Sebagai satu kelompok yang beragam, humanisme religius ini terdiri dari kaum rohaniawan dan awam berafiliasi dengan satu kisaran jemaat-jemaat, senagoge-sinagoge, dan persekutuan-persekutuan, seperti sayap humanistis dari Unitarian Universalist Association, the Ethical Culture Societies, the Fellowship of Religious Humanists, dan the Society for Humanistic Judaism. Melalui suara mereka, Religious Humanism, kaum humanis ini berusaha mempromosikan perilaku yang benar dan mendukung banyak aspek dari moralitas alkitabiah tradisional. Namun, sasaran mereka adalah untuk menyebarkan “suatu wawasan dunia yang religius dalam suatu kerangka kerja naturalistis.[17]
c. Terlihat di dalam Masyarakat
Keraguan yang menghancurkan tatanan lama ini membuat sebagian orang menganggap sekarang ini tidak ada sekolah lagi yang bisa mengklaim otoritas yang bisa dilakukan setiap sekolah sebelumnya, yaitu menasihati para muridnya dalam hal makna hidup. Tapi humanisme sekular menunjukkan bagaimana hal itu tetap mungkin dilakukan. Humanisme sekular menjadi sumber keyakinan dalam sebuah zaman keraguan dan bagi guru yang memegangnya, itu menjadi semacam iman yang baru, satu-satunya yang mereka izinkan dalam dunia yang mengecewakan tempat mereka hidup sekarang ini.
Nash menawarkan tiga ujian utama yang harus diaplikasikan dalam mengevaluasi wawasan-wawasan dunia, ujian-ujian itu adalah:
Ujian Rasio (Reason)
Ujian Pengalaman (Experience)
Ujian Praktis (Practise)[18]
Teisme Kristen juga telah melewati ujian praktis yang penting. Yang merupakan suatu sistem keyakinan dimana seorang dapat hidup dan hidup secara konsisten.[19]
Jika kultur kita ingin bergerak ke arah satu masa depan yang berpengharapan, kultur ini harus terlebih dahulu mundur kembali ke suatu masa lampaui yang lebih realistis, memulai kembali di tempat di mana kita pertama kalinya membuat kesalahan, mempertimbangkan pemahaman-pemahaman yang berharga dari apa yang telah terjadi sejak saat itu dan membentuk suatu wawasan dunia yang lebih memadai.[20]
Nilai 8: Relativisme
a. Deskripsi
Dalam buku mereka Relativism, Francis Beckwith dan Greg Koukl membahas inti dari arti dan maksud relativisme moral. Mereka mengatakan bahwa sistem moral klasik setidaknya memiliki tiga karakteristik. Pertama, sistem klasik berfungsi sebagai pembimbing berotoritas bagi berbagai tindakan, tidak peduli selera, pilihan, kebiasaan, kepentingan, dll. Kedua, ada aturan baku yang dihasilkan dalam sistem itu dan membawa pemahaman “keharusan” dan perintah. Mendikte bagaimana segala hal seharusnya dilakukan. Ketiga, moralitas itu universal. Prinsip-prinsip moral ini tidaklah sembarangan dan berlaku personal tapi bagi publik, diterapkan secara sama pada semua orang dalam situasi yang sesuai. Inilah yang dimaksud dengan hukum moral yang objektif.[21]
b. Dampaknya dalam Pelayanan Pastoral
Harry Blamires, melalui bukunya yang berjudul: Pemikiran Pasca-Kristen memberikan kontribusi pemikiran tentang manifesto serangan terhadap iman Kristen yang dapat dirumuskan sebagai berikut:Di mana terdapat nilai objektif, biarlah itu disubjektifkan.Di mana terdapat kemutlakan, biarlah itu direlatifkan.Di mana terdapat isyarat akan transendensi, biarlah itu ditiadakan.
Di mana terdapat struktur, moral maupun sosial, biarlah itu dikacaukan.Di mana terdapat tradisi, biarlah itu didiskreditkan.Di mana terdapat perbedaan, biarlah itu dibuang.Di mana terdapat batasan, biarlah itu dihapuskan.Di mana terdapat kontras, biarlah itu dicampurbaurkan.Di mana terdapat kontradiksi, biarlah itu dipadukan.[22]
c. Terlihat di dalam Masyarakat
Nuansa relativistik ditemukan hampir di setiap aliran filsafat. Seperti dalam upaya memahami budaya masyarakat lain, nuansa relativistik seperti itu sangat bermanfaat, sehingga tidak memutlakkan nilai-nilai yang dimiliki.
Nuansa relativistik juga dapat ditemukan di dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan, khususnya dalam konsep paradigma yang digagas oleh Thomas Kuhn, maupun konsep “inkomensurabilitas”, yang juga berarti tidak terbandingkan, yang digagas oleh Ludwig Wittgenstein.
Filsafat posmodern juga dengan tegas menaburkan nuansa relativisme atas nama kebebasan dan ekspresi diri. Di dalam sejarah filsafat, sejak masa Yunani Kuno, kaum Sofis yang memegang erat relativisme bertarung argumentasi dengan Sokrates di pasar-pasar kota Athena.
Pada level etika atau filsafat moral, relativisme juga memiliki pengaruh besar. Pandangan ini mempertanyakan keabsahan tolok ukur moral dan hukum yang telah berlaku lama di masyarakat. Apa yang baik dan apa yang dapat digoncangkan, dan dipertanyakan ulang. Pada satu sisi proses ini sebenarnya sangat baik, sehingga seluruh masyarakat dapat merefleksikan ulang nilai-nilai yang mereka anut. Namun pada sisi lain, proses ini menciptakan ketidakpastian yang membawa orang pada kebingungan dan anarki sosial. Di dalam ranah ilmu pengetahuan, relativisme membuat blur arti obyektivitas ilmiah yang selama beradab-abad menjadi tolok ukur dari penelitian ilmiah di berbagai bidang keilmuan.
Relativisme berpijak pada satu pengandaian dasar, bahwa manusia adalah mahkluk yang terikat dengan akar historis dan budaya, sehingga ia tidak pernah bisa sampai pada kebenaran yang bersifat universal.
Pengandaian ini sangat masuk akal, berjalan searah dengan paham relativisme, dan jelas tidak dapat diabaikan begitu saja. Semua upaya untuk memberi pendasaran pada kemampuan manusia untuk sampai pada kebenaran universal tidak dapat mengabaikan begitu saja argumen-argumen relativisme yang, harus diakui, sangat memikat.
Di dalam filsafat bahasa, manusia dianggap sebagai makhluk yang sudah selalu tertanam pada bahasa tertentu, dan tidak bisa begitu saja melepaskan bahasanya untuk memahami dan menjelaskan “kebenaran universal”. Paham-paham lain seperti pluralisme dan konstruktivisme juga kental dengan nuansa relativisme di jantung argumennya.[23]
Nilai 9: Konsumerisme
a. Deskripsi
Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan, tidak sepantasnya secara sadar, dan berkelanjutan. Konsumerisme menjadikan manusia sebagai pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk dihilangkan.
b. Dampaknya dalam Pelayanan Pastoral
Jemaat yang terlibat di dalam perilaku budaya konsumerisme dapat mengakibatkan pendapatan seperti ungkapan lebih besar pasak daripada tiang, lebih banyak pengeluaran daripada pendapatan. Bila perilaku ini terjadi dalam jangka waktu yang lama dapat membawa jerat hutang karena penggunaan kartu kredit yang tidak terkontrol.
Penggembalaan terhadap jemaat yang terjerat hutang akibat mengikuti tren budaya konsumerisme dapat dibina dengan memberi pengertian bahwa mengkonsumsi atau membeli sesuatu mesti dipertimbangkan atas dasar kebutuhan bukan atas dasar keinginan. Dari keinginan mata akan mengakibatkan keinginan daging, ingin mengkonsumsi segala sesuatu secara berlebihan. Gembala dapat mengarahkan agar jemaat bertanggung jawab atas hutang-hutang bila terjerat hutang piutang. Membina agar jemaatnya untuk mencukupkan diri atau bekerja dengan lebih baik lagi tanpa mesti semuanya harus dihabiskan dengan mengkonsumsi barang-barang yang tidak dibutuhkan.
c. Terlihat di dalam Masyarakat
Fenomena konsumerisme saat ini menjadi salah satu perwujudan berkembangnya teknologi. Menurut teori konsumerisme oleh Jean Baudrillard, seseorang menjadi konsumerisme karena ingin menunjukkan status sosialnya, bukan karena orientasi kebutuhan.
Dengan demikian, barang yang dikonsumsi oleh masyarakat menunjukkan simbol-simbol masyarakat tertentu. Lebih mendalam, Baudrillard mengemukakan bahwa yang dikonsumsi oleh masyarakat penganut konsumerisme bukanlah kegunaan dari suatu produk, melainkan citra atau pesan yang disampaikan dari suatu produk.
Baudrillad juga berpendapat bahwa setiap individu dalam masyarakat penganut konsumerisme memiliki keinginan untuk terus melakukan pembedaan antara dirinya dan orang lain. Individu akan terus mengonsumsi berbagai produk yang dianggap akan memberikan atau menaikkan status sosialnya, tanpa memikirkan apakah produk tersebut dibutuhkan atau tidak.[24]
Nilai 10: Sukuisme
a. Deskripsi
Sukuisme adalah suatu paham yang memandang bahwa suku bangsanya lebih baik dibandingkan dengan suku bangsa yang lain, atau rasa cinta yang berlebihan terhadap suku bangsanya sendiri.[25]
b. Dampaknya dalam Pelayanan Pastoral
Allah tidak menempatkan satu ras di atas ras lainnya. “Kutukan Ham” yang diterapkan kepada bangsa berkulit hitam tidak memiliki dasar Alkitab, melainkan didapatkan dari teks yang dipakai di luar konteksnya, untuk membela rasisme terhadap kaum kulit hitam (Kejadian 9:18-27). Di Aeropagus, Paulus menyatakan bahwa dari manusia pertama, Allah “menjadikan semua bangsa, agar mereka mendiami seluruh dunia dan Dia menentukan waktu bagi mereka dan tempat-tempat yang pasti di mana mereka harus hidup.” Allah tidak menjadikan satu bangsa superior terhadap bangsa lain. Tujuan Allah adalah bahwa bangsa-bangsa “akan mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing” (Kisah Para Rasul 17:26-27). Pemilihan Allah atas bangsa Israel bukan karena ras atau kekuatan atau hikmat mereka, melainkan hanya karena anugerah Allah semata, dan melalui bangsa ini semua bangsa di dunia akan diberkati (Kejadian 12:1-3).[26]
c. Terlihat di dalam Masyarakat
Konsep dan prilaku sukuisme yang tidak terkendali atau terkontrol akan bertumbuh-kembang ke arah rasisme. Paham rasisme pernah sangat melukai pengalaman sejarah kehidupan berbangsa di dunia ini. Salah satu contohnya saja adalah peristiwa holokaus, di bawah kekuasaan Nazi, membantai enam juta jiwa orang Yahudi. Sungguh pun ini adalah pembunuhan sistemik namun catatan fakta sejarah seperti ini tidak pernah dapat dibenarkan.
KEPUSTAKAAN
BUKU
Blamires, Harry. Pemikiran Pasca Kristen. Surabaya: Momentum, 2003.
Blamires, Harry. The Christian Mind. Surabaya: Momentum, 2004.
Browning, W. R.F. Kamus Alkitab. Jakarta: Gunung Mulia, 2010.
Carson, D.A. & Woodbridge, John D. Allah dan Kebudayaan. Surabaya: Momentum, 2002.
Groothuis, Douglas. Pudarnya Kebenaran. Surabaya: Momentum, 2003.
Hoffecker, W. Andrew & Smith, Gary Scott, Membangun Wawasan Dunia Kristen Vol. 1: Allah, Manusia, dan Pengetahuan. Surabaya: Momentum, 2006.
Hoffecker, W. Andrew & Smith, Gary Scott, Membangun Wawasan Dunia Kristen Vol. 1: Allah, Manusia, dan Pengetahuan. Surabaya: Momentum, 2006.
McFarlan, Ian A, A.S, David, Ferguson, Kilby, Karen and Torrance, Iain R, The Cambridge Dictionary of Christian Theology. Cambridge: Cambridge University Press, 2011.
Moreland, J. P. Kasihilah Allahmu dengan Segenap Akal Budimu. Surabaya: Momentum, 2021.
Nash, Ronald H. Iman dan Akal Budi. Surabaya: Momentum, 2001.
Nash, Ronald H. Konflik Wawasan Dunia. Surabaya: Momentum, 2000.
Sire, James W. Semesta Pemikiran: Sebuah Katalog Wawasan Dunia Dasar. Surabaya: Momentum, 2005.
Wattimena, Reza A.A. Relativisme dan Hati Nurani. Surabaya: Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, 2012.
Wells, David F. Tiada Tempat Bagi Kebenaran. Surabaya: Momentum, 2004.
Zacharias, Ravi & Vitale, Vince. Yesus di Antara Allah-Allah Sekular. Surabaya: Literatur Perkantas, 2017.
JURNAL
Abdul Munip, Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah, (Jurnal Pendidikan Islam :Volume I, Nomor 2, Desember 2012/1434).
BLOG
SFR, Konsumerisme: Pengertian dan Perkembangan Budayanya (Kabar Harian, 2021).
Gatra.Com, 11 Mei 2021
- The label antinomian was first devised by Marthin Luther. It literally means againt the law (nomos is Greek for law), and Luther used it to describe those who said that the moral law should not be preached to believers. It was from the beginning a construction designed for plemical effect. It helped Luther to target those who thought (with good reason) that they were simply repeating what he had already said. In 1535 Luther had asserted that the law has been ablolished. But in 1539 he asked, “Why then, should one wish to abolish the law, which cannot be abolished? From its inception, then, the label was subject to polemic and freighted with irony, which should evoke a certain caution in how it is used and interpreted. Ian A. McFarlan, David A.S. Ferguson, Karen Kilby and Iain R. Torrance, The Cambridge Dictionary of Christian Theology, (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 22. ↑
- W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 25. ↑
- Abdul Munip, Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah, (Jurnal Pendidikan Islam :Volume I, Nomor 2, Desember 2012/1434). ↑
- Gatra.Com, 11 Mei 2021 ↑
- Secularization refers to an epochal process through which every facet of western society (political, sociological, economic, and religious) transitioned from ecclesial to non ecclesial authority. Described by sociologist M. Weber (1864-1920) as the disenchantment of the world, the results of this process are perhaps best encapsulated in C. Taylor’s (b. 1931) question, ‘Why was it virtually impossible not to believe in God in 1500 in our Western society, while in 2000 many of us find this not only easy, but even inescapable?’ While one might locate the seeds of secularization even earlier, the 500-year period Taylor references marks the genesis, articulation, maturation, and defence of this wide-ranging phenomenon.Ian A. McFarlan, David A.S. Ferguson, Karen Kilby and Iain R. Torrance, The Cambridge Dictionary of Christian Theology, (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 467. ↑
- Harry Blamires, The Christian Mind, (Surabaya: Momentum, 2004), 4. ↑
- David F. Wells, Tiada Tempat Bagi Kebenaran, (Surabaya: Momentum, 2004), 92. ↑
- Harry Blamires, The Christian Mind, (Surabaya: Momentum, 2004), 3. ↑
- D.A. Carson & John D. Woodbridge, Allah dan Kebudayaan, (Surabaya: Momentum, 2002), 434. ↑
- D.A. Carson & John D. Woodbridge, Allah dan Kebudayaan, (Surabaya: Momentum, 2002), 435. ↑
- At first sight, the concerns of materialism seem to be diametrically opposed to the concerns of theology, If God is Spirit (John 4:24), and if the term spirit is understood in a disembodied sense, matter appears to be foreign to theology. This impression of an irreconcilable conflict between materialism and theology is further confimed if materialism is understood as an exclusive concern for matter without interest in concern for spirit or mind. Ian A. McFarlan, David A.S. Ferguson, Karen Kilby and Iain R. Torrance, The Cambridge Dictionary of Christian Theology, (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 305. ↑
- Christian theology itself is grounded in material realities. The incarnation of God in Jesus Christ is the primary example: The Word became flesh and lived among us (John 1:14). Furthermore, Christ became flesh in a particular body, in a particular place and time, in a particular social location, the son of a day labourer and an unwed mother at the margins of the Roman Empire, in solidarity with the “least of these”. Christianity has often overlooked the importance of the facts, and the Apostles’ Creed and the Nicene Creed make no reference to the earthly ministry of Christ. Yet this tendency of spiritualization and abstraction has never gone uncontested, and it can be argued that the Gospels were at least in part written to combat it (John 19:33-35). Ian A. McFarlan, David A.S. Ferguson, Karen Kilby and Iain R. Torrance, The Cambridge Dictionary of Christian Theology, (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 305. ↑
- These materialist strands in Christian theology have their roots in the Jewish tradition, where God creates heaven and earth and reaffirms this commitment to the material world and its rhythms once and for all after the great flood (Genesis 8:21-22). In the Hebrew Bible, the concern of theology is not the divine as it relates to non-material realities or the afterlife (an idea that appears only very late) but life in this world and itswellbeing. Spirituality, in this context, is inextricably bound up with the material at every turn. Ian A. McFarlan, David A.S. Ferguson, Karen Kilby and Iain R. Torrance, The Cambridge Dictionary of Christian Theology, (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 305. ↑
- Ravi Zacharias & Vince Vitale, Yesus di Antara Allah-Allah Sekular, (Surabaya: Literatur Perkantas, 2017), 135. ↑
- W. Andrew Hoffecker & Gary Scott Smith, Membangun Wawasan Dunia Kristen Vol. 1: Allah, Manusia, dan Pengetahuan, (Surabaya: Momentum, 2006), 174. ↑
- Telah muncul pemisahan yang sekuler/sakral dalam pemahaman kita akan kehidupan Kristen yang mengakibatkan pengajaran dan praktis Kristen diprivatisasi dan ditempatkan dalam suatu ruang yang terpisah dari aktivitas kehidupan publik atau apa yang disebut dengan aktivitas kehidupan sekuler. J.P. Moreland, Kasihilah Allahmu dengan Segenap Akal Budimu, (Surabaya: Momentum, 2021), 12. ↑
- W. Andrew Hoffecker & Gary Scott Smith, Membangun Wawasan Dunia Kristen Vol. 1: Allah, Manusia, dan Pengetahuan, (Surabaya: Momentum, 2006), 175. ↑
- Ronald H. Nash, Konflik Wawasan Dunia, (Surabaya: Momentum, 2000), 76. ↑
- Ronald H. Nash, Iman dan Akal Budi, (Surabaya: Momentum, 2001), 441. ↑
- James W. Sire, Semesta Pemikiran: Sebuah Katalog Wawasan Dunia Dasar, (Surabaya: Momentum, 2005), 265. ↑
- Ravi Zacharias & Vince Vitale, Yesus di Antara Allah-Allah Sekular, (Surabaya: Literatur Perkantas, 2017), 164. ↑
- Harry Blamires, Pemikiran Pasca Kristen, (Surabaya: Momentum, 2003), 206. ↑
- Reza A.A Wattimena, Relativisme dan Hati Nurani, (Surabaya: Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, 2012), 1. ↑
- SFR, Konsumerisme: Pengertian dan Perkembangan Budayanya, (Kabar Harian, 2021). ↑
- Utama Andri A, Nasionalisme, (Pusat Pendidikan BPS, 2019), 4. ↑
- Douglas Groothuis, Pudarnya Kebenaran, (Surabaya: Momentum, 2003), 219. ↑