Studi Kasus Pastoral

TUGAS : 5 STUDI KASUS PENGGEMBALAAN (Deteminus Abugau)

TUGAS : 5 STUDI KASUS PENGGEMBALAAN

 

KASUS I                   

MENGENAI SIKAP ORANG LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM IBADAH JEMAAT

  1. Realita Masalah

Dalam pelayanan penulis, dalam ibadah jemaat digereja memiliki teradisi dimana tempat duduk dipisahkan dari laki-laki dan perempuan. Artinya ibadah ini dipengaruhi oleh kebiasaan hidup di honai. Kebiasaan hidup di honai yang dimaksud adalah perempuan memiliki rumah sendiri dan laki-laki memiliki rumah sendiri. Kebiasaan honai ini mempengaruhi system ibadah di dalam gereja.

Berdasarkan realita masalah tersebut beberapa masalah yang muncul dalam ibadah jemaat adalah tradisi kehidupan di honai mempengaruhi sistem beribadah di dalam gereja yang memisahkan perempuan dari laki-laki, perbedaan itu terlihat dari jemaat datang beribadah, duduk terpisah, yang dimaksud duduk terpisah adalah laki-laki duduk disebelah kiri maka perempuan duduk disebelah kanan, duduk tidak bisa Bersama-sama.

  1. Analisa masalah berdasrkan 1Timotius 2:8-15

Argumentasi Paulus untuk tanggung jawab laki-laki sebagai pimpinan dan pembina rohani, baik di rumah maupun di gereja mempunyai dua landasan. Ef 5:231)

  1. Didasarkan pada maksud Allah dalam penciptaan. Allah menciptakan laki-laki dahulu, dan dengan demikian menyatakan maksud-Nya bahwa laki-laki harus mengatur dan memberi pimpinan kepada wanita dan keluarga. Wanita, yang diciptakan setelah laki-laki, direncanakan sebagai pendamping dan penolong dalam memenuhi kehendak Allah bagi kehidupan mereka (Kej 2:181Kor 11:8-9; 14:34).
  2. Argumentasi Paulus ini juga didasarkan pada akibat yang merusak apabila laki-laki dan wanita mengabaikan peranan yang diberikan Allah kepada mereka dalam Taman Eden. Hawa, yang bertindak terlepas dari Adam sebagai kepala, memakan buah terlarang itu. Adam, dengan mengabaikan tanggung jawabnya sebagai pemimpin di bawah Allah, menyetujui ketidaktaatan Hawa. Sebagai akibatnya dia jatuh juga dan membawa dosa dan kematian atas seluruh umat manusia (ayat 1Tim 2:14Kej 3:6,12Rom 5:12).
  3. Dalam pertemuan jemaat, saya tidak mengizinkan perempuan mengajar atau memimpin atas laki-laki. Hendaklah setiap perempuan memperlihatkan pengajaran dengan diam dan penuh penundukan diri. Biarlah seorang istri belajar dalam kekhidmatan di dalam segala ketundukan. Seorang perempuan juga hendaknya belajar dengan senyap dan rendah hati. 1Timotius 2:10-11

 

  1. Refleksi Teologis

Ibadah sebagai kebaktian merupakan hal yang penting diselenggarakan di dalam gereja lokal, karena dapat berfungsi sebagai perjanjian anugerah.[1] Ibadah itu sendiri pada dasarnya adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah selain bentuk penyera-han hidup total kepada Tuhan, juga berhubungan dengan kehadiran dalam pertemuan kebaktian di gereja lokal.[2]

Dari sini dapat dilihat bahwa ibadah mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan pertumbuhan iman, yang juga dapat mendatangkan berkat bagi orang yang mau melakukannya. ibadah merupakan sebuah tindakan sadar dengan iman akan perbuatan Allah yang telah membenarkan dan menyelamatkan manusia yang berdosa.

 

  1. Aplikasi bagi kehidupan masa kini

 

Dalam Relasi dengan sesama Paulus menasihati Timotius agar menjadi saksi iman, bersaksi tentang Kristus. Hidup adalah kesaksian, juga hidup harus bersaksi tentang kemurahan Allah.  Ia tidak boleh membiarkan hidupnya menjadi perintang bagi dirinya atau batu sandungan bagi orang lain.  Karena itu, ia perlu menjadi teladan dalam perkataan, tingkah laku, kasih, dan kesuciannya (1Tim. 4:12). Timotius juga diminta untuk tetap bertekun dalam pemba-caan dan pengajaran nas-nas Kitab Suci di antara jemaatnya (1 Tim. 4:13), tidak lalai dalam mempergunakan karunia yang Tuhan berikan padanya (1Tim 4:14), dan sungguh-sungguh membiarkan hidupnya dikuasai oleh hal-hal yang baik tersebut, sehingga kemajuannya nyata bagi orang-orang di sekitarnya (1Tim 4:15). Timotius juga harus mengawasi dirinya sendiri dan ajarannya (1 Tim. 4:16). Kesemuanya itu harus dilakukannya dalam ketekunan (1 Tim. 4:16). Singkatnya, Timotius harus memper-hatikan semua aspek di dalam kehidupannya. Akibat yang ditimbulkan dari semua ini adalah “engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau” (1 Tim. 4:16).  Melalui karya pelayanan dan ketekunan Timotius di dalam melakukan hal-hal di atas tadi, Allah bekerja untuk menyelamatkan orang-orang yang mendengar kannya, dan juga diri Timotius sendiri.

Dalam nada yang sama, Paulus mengingatkan Timotius, dalam menegur orang-orang yang lebih muda, agar tetap menganggap mereka sebagai saudaramu” dan “adikmu”. Anak kalimat “dengan penuh kemurnian” (ayat 1Tim 5:2), selain menunjuk pada semua kelompok orang yang ada dalam 1-2, secara khusus juga menunjuk pada perlakuan terhadap para “perempuan muda” jemaatnya. Hubungan yang terjadi antara pria dan wanita di dalam lingkungan jemaat dan pelayanan harus dilandasi oleh kemurnian hati dan hidup di dalam Tuhan.  Ketiadaan kemurnian seperti ini telah menyebabkan tercemarnya kesaksian jemaat karena masalah seksual. Dalam berelasi dengan sesama juga, Paulus dengan jeli memperhatikan dan menyinggung soal penampilan. Penampilan artinya proses, cara, perbuatan menampilkan sesuatu.  Demikian juga hendaknya perempuan.  Hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal. Para laki-laki dituntut untuk hidup dalam kasih persaudaraan (ayat 1Tim 2:8).  Rasul Paulus begitu keras menasehati jemaat melalui surat 1 Timotius ini. Segala aspek kehidupan jemaat begitu diperhatikan. Paulus menekankan agar jemaat juga berbuat baik (agathos), 1 Timotius 2:10 menekankan: tetapi hendaklah ia berdandan dengan perbuatan baik, seperti yang layak bagi perempuan yang beribadah. Maksudnya seorang yang beribadah harus berdan dan dengan sikap hidup yang berguna, bernilai yang mempermuliakan Allah. [3]

 

 

 

KASUS II                        : TRADISI KEKRISTENAN HONAI

  1. Realita Masalah

          Gereja Kemah Injil Indonesia di papua terlebih khusus di Timika Papua memiliki tradisi kekristenan Honai. Apa itu tradisi kekristenan honai? Tradisi kekristenan honai adalah gereja dibangun berdasrkan kesukuan dan dalam pelayanan yang nampak nilai-nilai tradisional yang paling kelihatan. Masalah ini muncul karena pada saat orang tua dulu menerima Injil dalam bentuk suku dan daerah. Sehingga terkenal dalam gereja kemah Injil di Papua banyak misionaris. Itu artinya satu kelompok misionaris menjangkau satu suku. Hal ini juga disebabkan oleh karena papua sendiri memiliki 276 suku dan Bahasa. Dengan demikian gereja kekristenan honai masi relefan sampai saat ini karena beberapa dasar yaitu:

  1. Di papua memiliki 276 suku dan Bahasa.
  2. Mempertahankan tradisi honai yang sudah lama
  3. Kekristenan ibarat honai di Papua

Dengan demikian kekristenan yang terlihat dipapua adalah kekristenan honai, ini terjadi dalam sikap, perilaku, Tindakan, dalam membangun rumah modern dengan bentuk honai, membangun perkantoran dengan bentuk honai, membangun gereja dengan bentuk honai bahkan sampai system beribadah diatur dengan nilai-nilai kehidupan di honai.

  1. Analisa Masalah

Salah satu dari akibat misi Paulus adalah munculnya jemaat-jemaat dalam sekat budaya, sosial, ekonomi dan tradisi keagamaan. Paulus tidak pernah menghendaki hal ini, namun ia juga tak mampu menyangkal realita ini. Konsep yang diusungnya adalah ketika kita menerima Kristus, maka tak ada lagi pembedaan, semuanya menjadi satu, tutuh dan penuh. Gerejalah yang diupayakan untuk merintis nilai Baru ini dan diharapkan mampu menerapkannya hingga waktu yang akan datang. Para anggota gereja kiranya menemukan identitas mereka dalam Kristus dan bukan melalui ras, kelas sosial, budaya ataupun jenis kelamin.

Satu hal yang perlu diingat, bahwa pada masa Paulus gerakan kristen masih merupakan bagian dari sebuah kemasyarakatan. Namun pemahaman apokaliptik Paulus cenderung menolak upaya untuk berinteraksi dengan sentimen kemasyarakatan, bahkan sampai titik tertentu Paulus cenderung tidak berupaya untuk mengkritik struktur-struktur masyarakat yang tidak adil dan bersikap positif pada kekaisaran romawi. Adapun sebenarnya Paulus menolak akan hal-hal ini. Melalui penafsiran yang radikal akan apokaliptik yang dianutnya, Paulus menekankan pada partisipasi aktif dalam upaya kemenangan allah; bukan hanya yang datang melainkan pada saat ini juga. Kehidupan kristen tidak didasarkan melulu pada kesalehan batin dan tindakan-tindakan kultus, tapi juga pada ketaatan jasmani dan melayani Kristus dalam kehidupan sehari-hari.[4]

 

  1. Refleksi Teologis

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), adat diartikan sebagai

  1. Aturan/perbuatan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala?

2.Cara/kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan

3.Wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma hukum, dan aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi satu system

Sedangkan dalam Ensiklopedia Indonesia, adat adalah sesuatu yang dikenal, diketahui dan diulang-ulang serta menjadi kebiasaan di dalam masyarakat. Adat juga sering disebut sebagai tradisi masyarakat setempat yang terus dilakukan secara continu. Dari pengertian di atas, dapat dilihat bahwa adat merupakan bagian dari kehidupan orang yang melakukannya karena telah ada sejak lama dan bahkan dilahirkan dalam tradisi atau adat tersebut.

Kolose 2:8 “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus”. Dalam bagian ini, Paulus tidak sedang menasihati orang percaya terhadap bahaya filsafat (disiplin ilmu), tetapi dinisi Paulus menasihati supaya berhati-hati dengan ajaran turun temurun – adat istiadat – (lihat definisi adat di bab I). Paulus disini berbicara masalah kebiasaan yang telah diajarkan secara turun temurun, yaitu adat istiadat. Bagi Paulus, adat istiadat nenek moyang yang tidak sesuai dengan ajaran Kristus dan yang tidak memuliakan Kristus adalah salah dan tidak boleh dilakukan oleh orang Percaya.

  1. Impilkasi bagi kehidupan saat ini.

(I Korintus 3:23) “Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah”.
(Efesus 1:14) “Dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemuliaan-Nya”. (I Petrus 2:9) “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib”.

Beberapa ayat di atas menunjukkan bahwa kita yang telah menjadi percaya kepada Tuhan Yesus (orang Kristen) disebut sebagai milik kepunyaan Allah, bukan lagi milik suku, adat istiadat atau milik siapa-siapa, tetapi setiap orang Kristen itu adalah milik kepunyaan Allah. Juga disebut sebagai anak-anak Allah dan ahli waris. (Roma 8:17) “Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia”.
Sungguh hebat dan luar biasa status kita di hadanpan Allah, yaitu kita disebut sebagai milik Allah, anak Allah dan ahli waris. Mengapa hal ini penting? Sebab dalam Alkitab dikatakan bahwa orang yang telah percaya Yesus itu dibeli dengan darah yang mahal, yaitu darah Yesus Kristus sendiri, sebagaimana yang dikatakan dalam Alkitab (I Korintus 6:20) “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (I Korintus 7:23) “Kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Karena itu janganlah kamu menjadi hamba manusia”. Kenapa harus dibayar? Alkitab juga menjawab pertanyaan ini bahwa manusia itu telah berdosa (Kejadian 3, Roma 3:10-18,23) dan akibat dosa ini adalah maut, kematian kekal. Itu sebabnya Tuhan Allah mengutus Yesus Kristus untuk menebus manusia berdosa itu dari murka Allah (Yohanes 3:16). Alasan inilah Kristus menebus kita sebagai anak-anak-Nya, umat pilihan-Nya. Jadi orang Kristen itu telah dibeli oleh Tuhan Yesus, dan tentu secara otomatis menjadi milik Tuhan Yesus. Oleh sebab itu, seyogianya pola pikir dan pola hidup orang Kristen adalah seperti Pemiliknya, yaitu Kristus, bukan seperti kekristenan honai yaitu menurut pikiran manusia dan adat istiadat. (sekali lagi dalam hal ini, penulis tegaskan bahwa tidak bermaksud meniadakan adat istiadat, tetapi bagaimana mempraktikan adat istiadat itu sesuai dengan firman Tuhan).

Pola Hidup Orang Kristen Identitas Efesus 5:8 “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang”I Petrus 1:14 “Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu” Efesus 4:22 “yaitu bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan” Efesus 4:24 “dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya”. Efesus 6:7 “dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia”.

Beberapa ayat di atas merupakan rujukan pola hidup/nasihat bagaimana seharusnya hidup sebagai orang-orang yang telah menjadi milik Kristus. Firmn Tuhan di atas menegaskan bahwa kita tidak hidup lagi seturut dengan kehendak kita, adat kita, budaya kita, tetapi harus hidup seturut dengan kehendak Tuhan, hukum dan aturan Tuhan. Alkitab berkata bahwa kita adalah garam dan terang dunia (Matius 5:13-14). Ini yang menjadi ciri khas, keadaan khusus dan jati diri kita, yaitu hidup seturut dengan kehendak Tuhan; menjadi garam dan terang dan menjadi pemuji dan pemnyembah Tuhan Yesus Kristus.

Jadi, sebagai orang Kristen, identitas kita adalah terletak pada status kita didalam Tuhan. Identitas kita bukan lagi adat istiadat kita, bukan lagi budaya dan tradisi-tradisi kita. Kiranya hal ini menjadi perenungan bagi setiap anak-anak Tuhan, secara khusus bagi masyarakat Papua di Timika Papua yang mayoritas agama Kristen (anak Tuhan).

Sikap Terhadap Adat Istiadat

Jika identitas bukan adat istiadat atau budaya, trus bagaimana sikap orang Kristen terhadap adat istiadat. Senantiasa penulis tegaskan bahwa, Alkitab bukan anti adat istiadat, orang Kristen pun juga seyogyanya jangan anti adat istiadat. Akan tetapi adat itu harus ditempatkan di tempat yang tepat. Setelah menjadi orang Kristen/orang percaya (milik Kristus) maka seluruh pola hidup dan pola pikir seturut dengan Kristus. Tuhan adalah di atas segalanya, jika sesuatu hal berindikasi menomorduakan Tuhan seharunya hal itu ditolak. Inilah yang menjadi ciri khas orang Kristen harus berani menolak hal-hal yang tidak sesuai dengan firman Tuhan.

KASUS III                       : BUDAYA BAKAR BATU

  1. Pendahuluan

Di papua ada beberapa istilah yang dipakai untuk kegiatan tertentu, salah satunya adalah istilah bakar batu. Istlah bakar batu dikenal oleh orang papua sejak masa zaman batu sampai saat ini. Mengapa istilah atau kebiasaan ini dianggap penting dan diteruskan kepada anak cucu atau turun temurun sampai saat ini? Oleh karena beberapa hal yang akan diungkap penulis dibawa ini. Untuk mengetahui istila bakar batu penulis secara umum mengatakan bahwa istilah bakar batu memiliki dua makna yaitu pertama bakar batu memiliki makna kasih dan persaudaraan dan kedua bakar batu memiliki makna mencari suatu kebenaran. Dalam penelitian dibawa ini penulis akan mengemukakan makna bakar batu dari makna kasih dan persaudaraan.

  1. Pengerian Bakar Batu

Bakar Batu Adalah Suatu Istilah Yang Mengakomodir Beberapa Jenis Kegiatan Didalamnya Seperti Acara, Pesta Atau Hajatan, Yang Dimana Di Dalamnya Mengumpulkan Banyak Orang Dan Memberi Makan Banyak Orang. Pengertian Ini Mengandung Dua Makna Yaitu Tradisional Dan Teologis. Acara Bakar Batu Dilihat Secara Teologis Dalam Konteks Matius 14:13-21.  Setelah Yesus mendengar berita itu menyingkirlah Ia dari situ, dan hendak mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mendengarnya dan mengikuti Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota mereka. Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit. Menjelang malam, murid-murid-Nya datang kepada-Nya dan berkata: “Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa.” Tetapi Yesus berkata kepada mereka: “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.”Jawab mereka: “Yang ada pada kami di sini hanya lima roti dan dua ikan.”Yesus berkata: “Bawalah ke mari kepada-Ku. Lalu disuruh-Nya orang banyak itu duduk di rumput. Dan setelah diambil-Nya lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya membagi-bagikannya kepada orang banyak. Dan mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian orang mengumpulkan potongan-potongan roti yang sisa, dua belas bakul penuh. Yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak.

Acara Bakar Batu Dilihat Secara Tradisional Adalah Dimana Di Dalam Acara Atau Pesta Bakar Batu Itu Membangun Tali Kasih Atau Kekerabatan. Dan Juga Dalam Acara Ini Membayar Hutang Daging Kepada Teman Atau Sejawat. 

  1. Latar Belakang

Tradisi bakar batu di Papua dilatarbelakangi oleh peristiwa sejarah Alkitab di dalam Imamat 19:1-37 dimana manusia dalam hidupnya hidup kudus, berdamai dan saling memberi dan menerima. Disinilah orang papua memperaktekannya atau memperlihatkannya melalui acara bakar batu. Acara bakar batu sendiri berdasar pada imamat 19:11-18 yang didalam ayat itu berunyi demikian Janganlah kamu mencuri, janganlah kamu berbohong dan janganlah kamu berdusta seorang kepada sesamanya. Janganlah kamu bersumpah dusta demi nama-Ku, supaya engkau jangan melanggar kekudusan nama Allahmu; Akulah TUHAN. Janganlah engkau memeras sesamamu manusia dan janganlah engkau merampas; janganlah kautahan upah seorang pekerja harian sampai besok harinya. Janganlah kaukutuki orang tuli dan di depan orang buta janganlah kautaruh batu sandungan, tetapi engkau harus takut akan Allahmu; Akulah TUHAN. Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan; janganlah engkau membela orang kecil dengan tidak sewajarnya dan janganlah engkau terpengaruh oleh orang-orang besar, tetapi engkau harus mengadili orang sesamamu dengan kebenaran. Janganlah engkau pergi kian ke mari menyebarkan fitnah di antara orang-orang sebangsamu; janganlah engkau mengancam hidup sesamamu manusia; Akulah TUHAN. Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegor orang sesamamu dan janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu karena dia. Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN.

Dengan demikian nilai yang kita petik dari latar belakang adalah Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN.

 

  1. Tujuan Bakar Batu

Tujuan Bakar Batu Memiliki Beberapa Tujuan Yaitu Sebagai Berikut:

  1. Bakar batu merupakan sebuah acara elaborasi dua konteks yaitu Alkitab Perjanjian Lama terlebih kusus di dalam Imamat 19 tentang kudusnya hidup dan menyatakan atau mengaplikasikan nilai-nilai kasih di dalam Perjanjian Baru di dalam 1Korintus 13.
  2. Bakar batu adalah suatu acara yang mempersatukan perbedaan, nilai, suku, ras, agama dan golongan
  3. Bakar batu juga merupakan suatu acara yang membangun hubungan pemimpin dalam berbagai kontek seperti Agama, Pemerintah, TNI/POLRI dan orang luar atau Asing
  4. Bakar batu juga merupakan acara dimana menurunkan ego dan menjunjujng tinggi nilai kekerabatan atau persaudaraan,
  5. Acara bakar batu juga menyatakan suatu keadaan atau kehidupan kebersamaan yang tinggi
  6. Acara bakar batu bertujuan untuk memberi makan orang miskin, anak jatim piatu, janda, duda atau orang lemah/orang kecil
  7. Acara bakar batu bertujuan untuk menjujung tinggi nilai Injil atau kabar baik
  8. Manfaat Bakar Batu

Manfaat Dari Acara Atau Pesta Bakar Batu Adalah Untuk Membangun Hubungan Kekerabatan Atau Tali Kasih Diantara Tuan Bakar Batu Dan Para Undangan Yang Datang Hadir Dalam Acara Atau Pesta Bakjar Batu Tersebut. Dengan Demikian Di Dalam Acara Atau Pesta Bakar Batu Inilah Mengandung Beberapa Manfaat Bakar Batu Yaitu Sebagai Berikut:

  1. Memperaktekan Hukum Kasih Di Dalam Sesama Keluarga 1korintus 13:1-13. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal. Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.
  2. Menerima Semua Kalangan Atau Semua Orang Yang Datang Dalam Acara Atau Pesta bakar batu Dengan Sama artinya tidak membeda-bedakan.
  3. Menjadi Acara Atau Pesta Yang Saling Menebus Utang, Dengan Sepotong Daging Babi Kepada Seseorang Dan Kelompok
  4. Menjadi Acara Atau Pesta Saling Menerima Dan Mengampuni Sesama atau acara pemulihan
  5. Menjadi Tempat Mendpat Nasehat
  6. Mempertemukan Semua Keluarga Dan Kerabat Serta Handai Tolan.
  7. Memperttemukan Musuh Dan Lawan Dalam Perang Antar Suku
  8. Menjadi Tempat Mendengar Kebenaran Allah Bersama-Sama
  9. Memperlihatkan Kuasa Kepemimpinan Dalam Masyarakat
  10. Menjadikan Seseorang Dan Anak-Anak Muda Dewasa Dalam Budaya Dan Merakyat

 

 

 

  1. Kesimpulan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bakar batu adalah suatu istilah atau simbol pemberitahuan akan dimulainya suatu kegiatan, keadaan, dan mensukuri suatu peristiwa dan pemberitahuan mengakhiri suatu kegiatan, keadaan, dan peristiwa kepada masyarakat umum untuk diketahui. Kegiatan atau keadaan-keadaan dimaksud adalah pembukaan acara gerejawi, seperti Konwil, Rakerwil, hari raya gerejawi, Natal dan menyambut tahun baru, hari ulang tahun, hari pernikahan, hari kelulusan dalam pendidikan.  

Penegasannya atau makna yang bisa kita petik  dalam kesimpulan dari tulisan ini didalam  Imamat 19: 11-18 dan Galatia 5:14, 1Korintus 13 bahwa “Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!”

 

 

KASUS IV                    : HUBUNGAN GEMBALA DENGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM HAL PEMBANGUNAN RUMAH IBADAH 

  1. Realita Masalah

Pemerintah memiliki peranan penting di dalam pembangunan daerah didalamnya rumah ibadah bagi setiap umat beragama. Tanpa memandang agama yang ada di daerah tertentu. Pemerintah daerah di papua memiliki peranan penting dalam membangun rumah ibadah di papua. Disini yang mau penulis angkat persoalan dimana pemerintah dalam hal ini guburnur dan bupati memiliki tanggung jawab yang besar dalam membangun daerah dan rumah ibadah di papua. Dengan keberadaan rumah ibadah yang ada dipapua Sebagian besar dibangun oleh pemerintah daerah di papua. Pembangunan ini tidak terlepas dari amanat undang-undang bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, menjamin terpenuhinya hak dasar setiap individu untuk memperoleh penghidupan yang layak menurut kemanusiaan yang adil dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat ketimpangan kehidupan dan penghidupan sosial ekonomi dan sosial kemasyarakatan antara daerah maju dan daerah tertinggal; c. bahwa daerah tertinggal memerlukan percepatan pembangunan sehingga menuju ke arah kesetaraan dengan daerah maju; d. bahwa untuk mendorong pelaksanaan percepatan pembangunan diperlukan pengaturan sebagai dasar dan kepastian hukum bagi penyelenggaraan pembangunan di daerah tertinggal; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal; Mengingat: Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  1. Analisa Masalah.

Pembangunan daerah dan rumah ibadah adalah amanat undang-undang, yang mengacu kepada percepatan pembangunan secara fisik, moral dan kerohanian. Oleh karena amanat undang-undang inilah para pemimpin pemerintah di Papua mengambil bagian dalam memabngun rumah-rumah ibadah di papua. Pembangunan rumah obadah adalah bagian dari percepatan pembangunan tubuh, jiwa dan roh. Hal yang lain para pemimpin pemerintah di papua dilindungi oleh undang-undang Pembangunan adalah suatu proses, upaya, dan tindakan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. 2. Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Daerah Tertinggal adalah daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. 4. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal adalah proses, upaya dan tindakan, keberpihakan dan pemberdayaan yang dilakukan secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah tertinggal. 5. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. 6. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3 7. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pasal 2 Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal berasaskan: a. keadilan; b. kepastian hukum; c. keterpaduan; d. keterbukaan; e. akuntabilitas; f. keberpihakan; g. partisipasi masyarakat; dan h. keberlanjutan. Pasal 3 Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal bertujuan untuk: a. terpenuhinya kebutuhan dasar dan prasarana dasar daerah tertinggal yang berkeadilan; b. berkurangnya kesenjangan antara daerah tertinggal dengan daerah maju; dan c. terwujudnya kehidupan masyarakat daerah tertinggal yang maju, adil, dan sejahtera.

  1. Refleksi Teologis

Roma 13:1-7 “Tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah”. Ada beberapa kebenaran yang tersirat dari frase ini:  Pertama, bahwa kita harus takluk kepada penguasa sebab mereka adalah mewakili Allah. Bila menghadapi penguasa, kita tidak sekadar berurusan dengan manusia yang sederajat, tetapi secara tidak langsung berurusan dengan Tuhan sendiri.  Kedua, bahwa Keberadaan pemerintah berdasar pada ketetapan Allah.

Ternyata ini bukan masalah zaman ini saja. Orang Roma termasuk Paulus juga mengalami pemerintahan yang tidak kalah buruknya, tapi dalam suratnya Paulus tetap menggunakan kalimat imperatif, “harus”, Seakan-akan untuk orang Kristen tidak ada pilihan.

Pemerintah adalah hamba Allah (Rom 13:4). Kata hamba yang dipakai di sini dalam bahasa aslinya adalah diakonos/ pelayan. Artinya adalah pelayan Tuhan yang mewakili semua maksud Tuhan. Pemerintah dipercayai masyarakat Romawi sebagai utusan Tuhan untuk memimpin dan mengatur semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan. Orang Kristen harus tunduk kepada pemerintah karena pemerintah adalah hamba Allah. Karena pemerintah adalah hamba Allah maka dia harus menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan keinginan Allah dalam hal ini pemerintah di papua membangun rumah-rumah ibadah di papua.

Istilah itu bertentangan dengan pandangan orang Yunani dan Romawi tentang negara. Kaum abdi negara memang “hamba”, tetapi negara sendiri tidak berhamba kepada siapa pun juga, negara merupakan penguasa tertinggi yang menuntut loyalitas (kesetiaan) mutlak dari rakyat. Pada zaman Paulus tuntutan itu sudah mulai berwujud dalam kultus kaisar (persembahan kurban kepada roh kaisar sebagai perwujudan negara). Di sini Paulus tidak langsung mempersoalkan loyalitas kepada negara, bahkan ia menyuruh orang Kristen taat kepada negara. Namun, ketaatan itu ditempatkannya dalam kerangka yang sama sekali baru dengan menyebut pemerintah sebagai hamba Allah. Kebenaran ini sekaligus menjadi batasan untuk pemerintah. Di dalam semua kebijakannya, mereka harus bisa mewakili Tuhan yang mengatur segala sesuatu untuk kebaikan warganya. Kebenaran ini juga sebagai batasan bagi orang Kristen. Jika pemeritah mengambil kebijakan yang melawan Tuhan, maka kita harus sadar bahwa kita harus tetap lebih patuh pada Allah, sebab pemerintah adalah hamba Allah.

Kata “takluk” (ay.1a) dalam bahasa aslinya hupotassô, kata ini muncul tiga puluh kali dalam Perjanjian Baru yang artinya “menempatkan diri di bawah”. Kata hupotassô muncul beberapa kali dalam PB dan merupakan sikap yang harus diambil seorang Kristen terhadap Allah (Yak 4:7) dan hukum Allah (Rom 8:7), terhadap Kristus (Ef 5:24), tetapi juga terhadap para pelayan gereja (1 Kor 16:16). Menurut Efesus 5:22, seorang istri Kristen harus takluk kepada suaminya, dan menurut 1 Petrus 2:18 seorang budak Kristen kepada tuannya. Tetapi Efesus 5:21 menyatakan bahwa anggota jemaat harus takluk (LAI: merendahkan diri) yang seorang kepada yang lain.

  1. Implikasi bagi kehidupan masa kini

1Timotius 2:1-7

Negara adalah pemberian Allah kepada setiap orang yang ada di dalamnya. Kita merasa aman karena negara itu rumah kediaman dan tempat kita berlindung. Serta kita dapat memberikan andil yang positif dan konstruktif. Negara diatur oleh sistim dan undang-undang dan warga negara harus taat dan memiliki hak dan kewajiban bersama. Maka kita harus merasa bertanggung jawab sebagai warga negara dalam hal politik.

Paulus mengajak Timotius untuk memiliki tanggung jawab spiritual dan moral sebagai hamba Kristus dan warga negara saat itu. Pertama, menaikkan permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur kepada Tuhan untuk semua orang yang tinggal bersama mereka. Untuk raja-raja dan untuk semua pembesar (ay.1).

Agar para pemimpin menjalankan tugasnya dengan takut akan Allah. Lalu berdoa agar semua orang baik Kristen maupun non Kristen bersama-sama mendapatkan kasih karunia dari Allah Bapa serta ikut berpartisipasi di dalam pembangunan daerah dan negara. Kedua, hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan (ay. 2). Sebagai warga negara dan orang Kristen harus hidup saleh dan hormat kepada setiap orang. Hidup dengan rukun dan damai sekalipun berbeda kepercayaan. Orang Kristen harus dapat memberikan solusi terhadap persoalan, bukan menjadi bahagian dari masalah. Ketiga, sebagai orang Kristen mempergunakan pengetahuannya akan kebenaran (ay. 3-4).

 

Pengetahuan dan kebenaran yang dimaksud bukan dari dunia tetapi dari Allah. Sehingga pengetahuan dan kebenaran itu menjadi bahagian dari kesaksian bahwa Yesus adalah Juruselamat (ay.5-6). Keempat, menjadi pemberita dan rasul serta sebagai pengajar dalam iman dan kebenaran (ay.7). Iman menurut Paulus berarti mempercayakan diri kepada Kristus (bnd. Rom 3:27-31; Gal 2:16; Flp 3:9). Di sisi lain iman juga merupakan keyakinan tentang cara hidup yang benar (bnd. 1:14;, 19, 4:6, dan 6:12). Ajakan seperti itu juga yang mestinya dimiliki dan dipertahankan oleh orang Kristen sebagai umat Allah di Indonesia. Bahwa kita sama-sama bertanggung jawab di bidang politik untuk membangun bangsa ini. Semangat kebangsaan dan membela negara. Kita adalah anak yang dikasihi Tuhan, oleh sebab itu kita punya tanggung jawab bagi negara.

 

Ajaran Dua Kerajaan Martin Luther

Pemahaman untuk merealisasikan tanggung jawab politik sebagai seorang Kristen sejak lama telah kita kenal. Martin Luther sebagai seorang tokoh reformasi mencetuskan sebuah Ajaran Dua Kerajaan (ADK). Menurutnya salah satu hakekat Ajaran Dua Kerajaan itu adalah bahwa orang Kristen memiliki dua kewarganegaraan (kewargaan ganda). Di satu sisi sebagai warga kerajaan sorga dan di sisi yang lain sebagai warga negara. Kedua kewargaan ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan orang Kristen.

 

Sebagai warga kerajaan sorga (baca: Allah) memiliki tanggungjawab spiritual kepada Tuhan dan manusia dan sebagai warga negara memiliki tanggungjawab moral dan politik terhadap negara. Itulah yang disebut dengan orang Kristen sejati. Sebab negara bukanlah milik sekelompok orang atau masyarakat mayoritas tertentu tetapi menjadi milik semua orang yang tinggal di dalamnya. Maka masing-masing memiliki tanggungjawab moral dan spiritual untuk bersama-sama dengan umat lain dalam membangun negara.

 

Dalam kitab Injil, Yesus mengajarkan juga untuk tunduk kepada pemerintah. Ketika orang Farisi datang kepada Yesus soal membayar pajak (Mat. 22:15-22), Yesus memberikan jawaban yang sangat jelas tidak melawan Pemerintah. Bahkan menurut Yesus pemerintah berasal dari Allah. Jawaban Yesus ini memberi pelajaran berharga kepada orang Kristen untuk ikut bertanggung jawab dalam hal politik. Itu pula yang disampaikan Rasul Paulus kepada jemaat di Roma tentang kepatuhan kepada pemerintah dan berdoa untuk pemerintah (Rom 13:1-3).

 

 

KASUS V   : PERPECAHAN JEMAAT GKIP DI DAERAH PAPUA

  1. Realita Masalah

Penelitian ini berjudul Fenomena Perpindahan Jemaat Sebagai Simbol Perlawanan Terhadap Gereja Konvensional studi kasus pada Gereja GKIP di daerah Papua. Sejak awal perpindahannya, GKIP banyak mengalami gejolak perubahan staknat. Perubahan tersebut dapat kita lihat dari tata cara dalam beribadah, yaitu dari yang bersifat tradisi atau liturgis, kini ada yang bersifat karismatis dan bebas. Studi kasus ini bertujuan melakukan penelitian karena ada beberapa orang mengikuti atau menjadi anggota jemaat gereja GKIP di daerah Papua. Adapun yang menjadi tertarik dalam penelitian ini adalah dimana GKIP memiliki anggota jemaat yang sangat tradisional. Adalah Gerakan elaborasi antara tradisional dan kargoisme yang mana memberikan penghargaan terhadap agama sebagai sesuatu adikodrati (suci dan berkuasa melakukan sesuatu di luar kemampuan manusia. Gerakan ini menyadarkan gereja-gereja GKIP di Papua untuk menuju gereja mapan yang cenderung menjadi kaku (dalam hal ajaran, ibadah dan organisasi) dan lebih mementingkan rasio (akal budi) dan emosi manusia. Gerakan ini menyadarkan gereja-gereja mapan yang cenderung menjadi kaku dalam hal ajaran, ibadah dan organisasi dan lebih mementingkan rasio akal budi dari pada emosi manusia Gereja GKIP hadir untuk lebih peka terhadap tantangan zaman globalisasi yang lebih mengutamakann efesinesi dan informasi. Hal ini memudahkan orang untuk mengetahui apa yang ditawarkan oleh GKIP melalui iklan, spanduk, selebaran, website, dll. Orang juga mudah terlibat di dalamnya baik di dalam hal keanggotaan maupun kepemimipinan dengan cara yang tidak terbeli-belit dalam waktu yang relatif singkat Gerakan ini memang dapat menjawab kebutuhan manusia di dunia modern dan sekuler yaitu kebutuhan akan penghargaan sebagai manusia person.

  1. Analisa Masalah

Agama adalah suatu kepercayaan atau keyakinan kepada yang dianggap suci ataupun kudus dan bersifat supranatural yang dapat memberikan perlindungan, kekuatan, ketentraman jiwa dan raga dan tentunya didalam masyarakat banyak ditemukan aliran agama. Fungsi agama sendiri adalah untuk menjembatani ketegangan-ketegangan yang terjadi didalam masyarakat serta menumbuhkan solidaritas sosial dan menjaga kelangsungan sistem masyarakat yang menjagai dari bentuk-bentuk ancaman dari para pelaku penyimpangan atau para pemberontak ataupun juga dari bencana-bencana alam. Agama dengan demikian merupakan suatu sumber bagi keteraturan sosial dan moral yang mengikat para anggota kelompok masyarakat pada suatu proyek sosial bersama, seperangkat sasaran sosial dan kaidah Bersama. Northcott, Michael 200: 260).

Secara sosiologis, pengertian agama tidak terfokus kepada ajaran atau dogma semata, tetapi juga berbicara mengenai masyarakat sebagai pelaksana dan pengembang nilai-nilai agama. Agama adalah suatu bentuk konstruksi sosial. Karl Marx, seperti halnya durkheim juga menganggap agama sebagai produk sosial dan sebagai suatu anasir tatanan sosial didalam masyarakat-masyarakat pra-modern. Northcott, Michael 200: 260).

 

 

  1. Refleksi Teologis

          Hal pengajaran sesat sesungguhnya tidak mengherankan, karena Yesus sendiri berkata dalam Lukas 17:1 dan Matius 18:7 bahwa  tidak mungkin tidak akan ada penyesatan, memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah dunia dan orang yang mengadakannya. Ungkapan Yesus tersebut dalam Alkitab terjemahan Bahasa Indonesia Masa Kini diterjemahkan sebagai “Alangkah celakanya dunia ini karena hal-hal yang menyebabkan orang berdosa. Memang hal-hal seperti itu akan selalu ada, tetapi celakalah orang yang menyebabkannya” (Matius 18:7). Hal ini memberikan informasi penting sekaligus peringatan dan awasan bagi orang Kristen sejati bahwa hal berdosa yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan, kekeliruan, kesalahan yang membuat orang tersesat selalu akan terjadi.

          Berdasarkan Efesus 4:14 bahwa penyimpangan dalam kekristenan juga terjadi karena permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan. Namun, Paulus menegaskan bahwa pengetahuan tentang Anak Allah, kedewasaan, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus membuat orang percaya tidak lagi anak-anak yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran yang menyesatkan itu (Efesus 4:13).  Hal ini juga mengingatkan orang Kristen bahwa akan selalu ada orang jahat, yang licik dan penuh kepalsuan, yang akan selalu berusaha membelokkan ajaran-ajaran kekristenan kepada kehendak si iblis agar manusia jauh dari Tuhan dan mengalami kebinasaan.

  1. Aplikasi dalam kehidupan saat ini

Pada akhir dasawarsa abad ke-20, ternyata agama-agama kembali mengambil peran dalam kehidupan manusia. Kebangkitan agama tersebut bukan hanya terjadi pada agama tertentu, melainkan hampir dialami seluruh agama di dunia. Atau dengan kata lain kebangkitan agama adalah sebuah fenomena global. Fenomena kebangkitan agama ini bukan berarti kembalinya kejayaan agama-agama “klasik” dan “tradisional” seperti yang pernah terjadi pada masa pra-modern. Kebangkitan agama yang sebenarnya mengacu pada religiositas atau kesadaran keagamaan manusia (Naisbitt Jhon 2000). Religiositas baru ini relatif mengambil bentuk yang non-tradisional sebagai akibat perlawanan terhadap kecenderungan, institusionalisme dan formalisme yang menjadi ciri kebanyakan agama-agama mapan. Agama mapan terlalu banyak kompromi dengan modernisasi dan sekularisasi hingga didominasi peraturan, hirarki, dan birokrasi yang berrsifat memudarnya spritualisme dan vitalitas agama.

Salah satu bentuk kekuatan dan kekuasaan agama di dunia adalah lembaga gereja. Gereja merupakan agen agama yang paling konkrit didunia, sebuah lembaga yang memiliki norma, nilai dan seperangkat peraturan-peraturan yang mengatur hidup jemaat secara khusus. Gereja adalah wujud nyata dari keberadaan Tuhan dalam agama Kristen. Troeltsch menyimpulkan bahwa lembaga gereja adalah lembaga yang dianugerahi kemuliaan dan keselamatan sebagai karya penebusan. Ia mampu menerima massa dan menyesuaikan dirinya dengan dunia (O’Dea, 1996:131). (tradisional) mengalami kesulitan untuk survive, ternyata muncul gereja-gereja dengan corak baru, yang lebih bebas dari tradisi. Kemuncululan gereja-gereja dengan corak baru ini berbarengan dengan berkembangnya fenomena multidimensional yang dikenal dengan nama post modernism Kool Van, 2007:11

Aliran kekristenan ini menggugat monopoli institusi-institusi mapan yang lama (gereja-gereja mainstream dengan kredo-kredo dan aturan-aturan birokratisnya) tidak merisaukan kemajemukan dan mendasarkan keanggotaanya pada keputusan dan komitmen sukarela oleh pribadi yang bersangkutan Kool Van, 2007:13

David Martin seorang sosiolog mengamati bahwa, ciri fundamentalisme kristen adalah penekanan yang berlebihan terhadap kesempurnaan dan kewibawaan alkitab (mereka cukup bebas untuk bersikap fleksibel (tergantung kehendak roh), kreatif dan inovatif . Hal ini memang dapat diamati dari gaya ibadah, musik-musik yang dimainkan sampai pada hal pemberitaan dimana kotbah mereka cenderung mengandung aspek retorika, kotbah-kotbah yang segar mudah ditangkap, memberi inspirasi, menguatkan iman dan lahirnya gerekan teologi pembebasan. Pelayanan dan jabatan yang tidak terdapat dalam gereja-gereja konvnsional atau tradisional (misalnya pendeta, pendeta muda part-time, evangelis, dll. Dikalangan masyarakat yang pindah ke GKIP khususnya didaerah Papua, muncul fenomena baru yaitu penrpindahan penganut gereja aliran konvensional ke gereja tradisional. Fenomena ini lahir didukung karena adanya kebangkitan agama-agama yang merupakan isu menarik pada menjelang milenium akhir kedua.

 

[1] Tim Penyusus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003) 588.

[2] G. Riemer, Cermin Injil, (Jakarta: YKBK, 1995), 72

[3] Charles C. Ryrie, Teologi Dasar 2 (Yogyakarta: ANDI, 2006), 15.

[4] David J. Bosch, Tranformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (New York: Orbis Books, 1991), 197

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *