Studi Kasus Pastoral

Tinjauan atas Beberapa Buku Teologi Guna Memenuhi Tugas Bacaan 1500 Halaman

Tinjauan atas Beberapa Buku Teologi Guna Memenuhi Tugas Bacaan 1500 Halaman

Oleh: Wahyoe Rita Wulandari

Buku Psikologi Hidup Rohani 1[1] dan Psikologi Hidup Rohani 2[2]

2 Korintus 5:17 berkata bahwa “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang”. Tetapi, banyak orang yang ada di dalam Kristus hidupnya tidak menampakkan diri sebagai “ciptaan baru”. Mereka masih berkubang dalam diri yang hidup sebagai ciptaan lama. Ini tidak berlaku hanya kepada para petobat baru atau jemaat awam tetapi juga berlaku bagi para pekerja gereja dan bahkan gembala jemaat. Dari tahun ke tahun, kita mendengar kisah gembala jemaat yang jatuh dalam dosa, entah itu dosa seksual, keuangan maupun jabatan. Mereka “berkotbah tanpa menghayatinya”[3]. Itu buruk, kebiasaan ciptaan lama. Tetapi ada juga sebagian yang buruk tapi “tampak baik”. Di sini kita menghadapi fenomena fariseisme[4] yang “tampaknya baik” (kebaikan palsu) tapi yang bukan “baik sesungguhnya” (kebaikan sejati); atau “tampaknya ciptaan baru” tetapi bukan “ciptaan baru yang sesungguhnya”.

Banyak orang Kristen tidak mencapai tujuan hidupnya sebagaimana yang telah dicapai oleh rasul Paulus. Dalam Galatia 2:20, Paulus berkata “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” Kebanyakan dari orang Kristen, bukan “Kristus yang hidup didalam aku”, tetapi “ego kodrati yang hidup di dalam aku”. Dengan demikian, yang tampak bukanlah realitas Kerajaan Allah sebagaimana Kristus nyatakan, tetapi realitas duniawi yang penuh pertarungan guna memenuhi kebutuhan bio-psikologis dan kepentingan diri sendiri.

Mardi melihat bahwa pokok persoalannya bukanlah pada Allah dan anugerah-Nya tetapi pada manusia dan kebebasan efektifnya yang “tidak subur”. Dalam perumpamaan tentang penabur (Mat 13: 1-23) dikemukakan adanya dua unsur dinamis yang perlu diperhatikan dalam hidup rohani. Yang pertama ialah benih yang harus bertumbuh yaitu Sabda Allah, yang kedua yaitu jenis tanah tempat Sabda dapat bertubuh atau tidak. Unsur dinamis yang pertama adalah karya anugerah Allah khususnya dalam Yesus Kristus (gratia operans), dan unsur dinamis yang kedua yaitu disposisi tiap orang (gratia cooperans) di mana diharapkan menjadi bait Allah tempat Sabda bertumbuh (disebut setidak-tidaknya ada empat jenis tanah/disposisi). Warta Injil tersebut dengan tegas menandaskan bahwa bukannya Sabda Tuhanlah yang harus disesuaikan dengan jenis tanahnya atau disposisi hati tiap orang, melainkan hati setiap orang harus bertumbuh sedemikian rupa sehingga memiliki disposisi yang sesuai, selaras, subur serta mencukupi untuk menerima, menghayati dan menumbuhkan Sabda Allah. Tegasnya pribadi manusialah yang pertama-tama perlu diubah agar Sabda itu bertumbuh. Inilah yang diperlukan untuk datangnya Kerajaan Allah dengan buah yang berlipat ganda. Kalau tanahnya tidak subur, Sabda takkan tumbuh di dalamnya,[5] dan manusia “dapat tuli dan buta terhadap bisikan rahmat”.[6]

Proyek besar Mardi dalam kedua bukunya Psikologi Hidup Rohani menawarkan pendekatan yang integral-dan-objektif untuk menyuburkan “tanah/disposisi” pribadi kita. Proyek besar ini melanjutkan apa yang telah dikerjakan oleh Maddi, S.R, dalam bukunya Personality Theories. A Comparative Analysis dan oleh Rulla, L.M. (dkk.), dalam bukunya Anthropology of the Christian Vocation.[7] Dari hasil riset psikologi Rulla selama belasan tahun, kita mendapatkan data yang menunjukkan pokok persoalan mengapa “tanah/disposisi” manusia menjadi “tidak subur”. Dipilih psikologi-konsistensi Rulla karena psikologi ini memberi tempat pada dimensi transenden, baik yang filosofis maupun yang teologis dengan tujuan adikodrati. Berdasarkan integrasi yang bersesuaian antara psikologi, filsafat dan teologi, maka teori yang dibangun dan ditawarkan Mardi disebut sebagai teori konsistensi transendensi-diri teosentris (atau kristosentris). Penerapan teori ini diharapkan dapat menyuburkan tanah/disposisi pribadi kita sehingga kebebasan efektif kita dapat membatinkan nilai-nilai objektif pewahyuan Allah di dalam Yesus Kritus secara konsisten. Dengan demikian, lahirlah pribadi-pribadi Kristen yang dapat berkata bersama rasul Paulus bahwa “bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”. Demi mengalirnya pemaparan teori tersebut dalam tinjauan singkat tulisan ini, kita bisa mulai dari teologi, kemudian filsafat dan akhirnya psikologi.

Di bidang teologi secara padat dapat dimasukkan di sini tentang asas dan dasar hidup manusia bahwa semua manusia dipanggil ke dalam suatu dialog cinta dengan Allah di dalam Kristus dan dengan Tubuh Mistik-Nya berkat karya Roh Kudus. Manusia diciptakan untuk mengetahui, mencintai dan mengabdi kepada Allah yang diwartakan oleh Yesus Kristus dalam hidup-Nya, dan mencintai sesama sebagaimana ia mencintai diri sendiri. Hanya Allah sajalah Tuhan; manusia harus mencintai Allah dengan sepenuh hati, dengan seluruh jiwa, dengan sepenuh budi dan kekuatan (Mrk 12:28-31). Akan tetapi disposisi manusia ini amat rapuh sehingga dengan kekuatan sendiri ia tidak mampu dan terus-menerus membutuhkan penebusan. Ia terpecah dalam dirinya dan cenderung kepada dosa, selalu mengalami pertentangan antara roh dan daging dalam dirinya (Gal 5:16-17) sehingga ia tidak mampu melakukan apa yang baik yang ia inginkan, malahan melakukan dosa yang tidak ia inginkan

(Rom 7:15). Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia Kristen mempunyai finalitas atau tujuan tertinggi hidupnya, bahkan diciptakan dengan kemampuan dan disposisi yang terarah pada tujuan tertentu. Kriteria untuk mencapai tujuan adalah nilai-nilai Kristus yang bagi umat kristiani menjadi referensi hidup sehingga dalam seluruh hidupnya ia akan berusaha dalam kerjasama dengan rahmat Allah untuk mencari kesatuan dengan Tuhan dengan mengikuti jejak Kristus dan mentransformasikan diri ke dalam hidup Kristus yang memiliki semangat hati yang miskin, murni dan taat. Tujuan hidup tidak hanya berdimensi teleologis yang berupa finalitas tertinggi yang teosentris tetapi juga dimensi asiologis yang berupa tata nilai objektif yang kristosentris.

Filsafat, melalui cara kerja transenden, justru sampai pada kesadaran bahwa manusia memiliki kemampuan untuk transendensi-diri di bidang pengetahuan, moral dan cinta, dan mengarah terus-menerus pada transendensi-diri yang tertinggi yaitu transendensi-diri teosentris. Tidak semua filsuf dalam antropologinya sampai pada finalitas teosentris ini. P. Tillich misalnya mengamati bahwa “ultimate concern” itu tidak selalu mengandung konotasi teosentris tetapi sekedar egosentris atau sosial-filantropis. Filsafat juga melihat bahwa kebebasan dan kemampuan manusia tidak sempurna hingga mudah terhambat dalam perjalanan menuju kesempurnaan kemanusiaan. Ada dialektika dasar antara cita-cita transendensi-diri dan keterbatasan kemampuan yang real dari disposisinya, antara self-transcending dan self-transcended.

Psikologi yang dapat seiring sejalan dengan gagasan antropologi teologi dan filsafat di atas adalah teori konsistensi transendensi-diri, yang melihat bahwa daya-daya motivasi terarah ke finalitas teleologis dalam struktur pribadi (Dimensi I, II dan III yang dewasa) sebagai disposisi untuk mewujudkan finalitas asiologis yang berupa nilai-nilai dan kebutuhan psikologis dalam sikap-sikapnya. Namun hadirnya psikodinamika bawah sadar membuat pribađí tidak konsisten dalam mencapai finalitas. Pribadi mempunyai disposisi yang mendorong untuk terus bertumbuh (germinative) tetapi juga mempunyai disposisi yang amat rapuh (vulnerable). Oleh karena itu selalu terjadi inkonsistensi dan konflik antara Diri-ideal dan Diri-aktual. Struktur pribadi, khususnya dimensi II, adalah dimensi paling penting yang menjadi akar fariseisme karena inkonsistensi bawah sadar. Untuk mendalami hal tersebut, ada baiknya kita membahas ketiga dimensi dengan singkat.

Dimensi I muncul dari tindakan struktur sadar yaitu interaksi antara Diri Ideal dan Diri Aktual yang sadar (tampak).[8] Karena keduanya adalah unsur sadar, maka tindakannya berada di bawah kendali kesadarannya, sehingga dalam Dimensi I ini terletak daerah kebebasan dan tanggungjawab sadar dalam mentransendensi-diri; atau sebaliknya tidak bertanggungjawab bila secara sadar menolak transendensi-diri, menolak Allah. Oleh karena itu dalam Dimensi I ini terletak bidang keutamaan dan kedosaan, bidang tanggungjawab moral. Mutu kesucian dan keburukan pendosa terlihat di sini, karena keputusan tindakannya dimotivasi oleh unsur sadar (sadar untuk melakukan keutamaan berarti hidup suci atau sadar untuk menolak keutamaan berarti berdosa). Jadi Dimensi I adalah dimensi konsistensi sadar yang tidak defensif karena Diri Aktual yang sadar de facto sesuai dengan Diri Ideal.

Dimensi II berasal dari interaksi struktur sadar dan bawah sadar, yaitu keseimbangan, kesesuaian atau ketidaksesuaian yang terjadi antara Diri Ideal dan Diri Aktual yang sadar ditambah dengan ketidaksesuaian antara Diri Ideal dan Diri Aktual bawah sadar (laten). Dengan kata lain dapat berupa Konsistensi defensif dan Inkonsistensi bawah sadar. Konsistensi defensif karena sikap hidup dipakai untuk membela diri (fungsi defensif) dan bukan utuk transendensi-diri. Inkonsistensi bawah sadar karena dinamika bawah sadar membelokkan pribadi ke arah defensif. Karena menjadi tempat keseimbangan daya-daya sadar dan bawah sadar yang kemudian mempengaruhi kebebasan efektif untuk transendensi-diri, maka Dimensi II menjadi bidang kebaikan sejati (kalau dimotivasi oleh nilai transendensi-diri) atau kebaikan palsu (kalau dimotivasi oleh unsur bawah sadar atau unsur sadar yang tidak sesuai dengan transendensi-diri) hingga perilaku dapat dipakai untuk memerankan fungsi yang lain, maka hanya tampaknya saja baik tetapi sebenarnya tidak sejati. Jelas bahwa dalam Dimensi II inilah Konsistensi defensif maupun Inkonsistensi bawah sadar dapat muncul. Konsistensi defensif dan Inkonsistensi bawah sadar ini terjadi bila Diri Aktual yang laten secara sentral bertentangan dengan Diri Ideal. Nilai-nilai instrumental justru karena menjadi sarana untuk mencapai nilai yang sejati, tidak selalu dihayati demikian entah karena dorongan bawah sadar atau karena dipakai untuk membela diri (defensif). Oleh karena itu dapat muncul kebaikan sejati atau kebaikan palsu.[9]

Ada kesinambungan antara Dimensi I dan Dimensi II. Kesinambungan tersebut menunjukkan taraf-taraf pribadi dari keadaan lebih dewasa ke taraf pribadi yang kurang dewasa. Semakin sedikit terjadi kontradiksi atau Inkonsistensi, pribadi menjadi lebih dewasa, lebih bebas dan lebih sadar, Semakin banyak Inkonsistensi, pribadi menjadi kurang dewasa, kurang bebas dan kurang sadar. Kurang dewasa dalam Dimensi I pada hakikatnya disadari, oleh karena itu berhubungan dengan dosa, sedangkan kurang dewasa dalam Dimensi II kebanyakan tidaklah disadari, maka berhubungan dengan kebaikan palsu. Kata sentral dalam Konsistensi dan Inkonsistensi dimaksudkan sebagai pengaruh yang penting dan dominan dalam mendorong motivasi dan sikap. Jadi, Konsistensi sentral berarti kesesuaian yang penting dan dominan dalam sistem motivasi seseorang dan yang de facto mengendalikan perilakunya. Sedangkan Inkonsistensi sentral berarti ketidak-sesuaian yang penting dan dominan dalam sistem motivasi seseorang yang de facto mengendalikan perilakunya.

Dimensi III: adalah wilayah normal atau patologi, yang terjadi karena dorongan motivasi untuk memenuhi nilai-nilai kodrati. Taraf kedewasaan di sini berhubungan dengan adanya kepenuhan fungsi-fungsi kodrati dari pribadi. Orang normal dalam Dimensi III ini berarti seluruh fungsi-fungsi kodratinya sebagai manusia berfungsi baik, artinya finalitas dari nilai kodratnya sebagai manusia lebih kurang tercapai. Meskipun ada dialektika antara Diri Ideal dan Diri Aktual yang dapat mendatangkan bermacam-macam ketegangan dalam diri, namun pribadi tidak sampai menjadi patologi atau gila. Sebaliknya, kalau dialektika tadi menghasilkan gangguan ringan, neurose atau bahkan disorganisasi, maka terjadilah taraf-taraf patologi. Tetapi patologi dalam Dimensi III ini pada hakikatnya bawah sadar sifatnya, oleh karena itu dialektika yang terjadi disebutnya konflik. Tentu saja hadirnya konflik dalam Dimensi III ini mempengaruhi Dimensi II dalam arti mempengaruhi bentuk-bentuk Inkonsistensi yang ada pada pribadi. Semakin berat gangguan pribadi dalam Dimensi III, semakin besar pula Inkonsistensi yang terjadi dalam Dimensi II; dan Inkonsistensi dalam Dimensi II ini dengan sendirinya mempengaruhi disposisi Dimensi I, lebih-lebih kemampuannya untuk mengalami, memahami, mempertimbangkan nilai, mengambil keputusan dan kehendak untuk melaksanakannya.[10]

Setelah mengetahui secara singkat ciri ketiga dimensi di atas, sekarang kita fokus pada dimensi II, khususnya berkaitan dengan pengaruh dimensi terhadap kebebasan efektif.[11] Kita mulai dengan pertanyaan: berapa besarkah pengaruh dimensi-dimensi terhadap panggilan dan hidup rohani? Panggilan adalah jawaban bebas terhadap sapaan dari Allah, dan hidup rohani adalah usaha terus-menerus untuk menghayati hidup Allah dengan menjadi tanah yang subur, maka kata kunci yang ada di dalamnya adalah disposisi atau keadaan tanahnya. Dimensi-dimensi bersama-sama adalah disposisi konkret dari masing-masing pribadi untuk menjawab panggilan. Seberapa matang disposisi ini akan mempengaruhi kebebasan seseorang untuk mentransendensi-diri dalam panggilan? Apakah pribadi de facto menghayati cintakasih atau kebaikan sejati dengan ujub tulus demi panggilan ataukah dengan motif lain, sehingga hanya tampaknya saja baik? Jawaban jujur terhadap hal ini oleh masing-masing pribadi baru menyangkut Dimensi I yaitu dimensi hidup sadarnya, tetapi belum menyertakan dinamika bawah sadar yang terjadi dalam diri yang hidup dalam Dimensi II. Tiap refleksi sadar yang terjadi dalam retret atau rekoleksi hanya menyentuh Dimensi I, tetapi bukan mekanisme bawah sadar yang terjadi dalam Dimensi II dan Dimensi III. Oleh karena itu seseorang tidak menyadari kalau ada Inkonsistensi dalam dirinya. Mungkin melalui refleksi dan pemeriksaan batin ia dapat melihat akibatnya, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan apa yang ia cita-citakan, perbuatan yang tidak dikehendaki tetapi toh terjadi tanpa diketahui sebab atau dinamikanya.

Apakah konsekuensi logisnya bila inkonsistensi bawah sadar dalam dimensi II tidak dilihat oleh psikolog maupun pembimbing rohani? Ada bermacam pandangan tentang hubungan antara psikologi dan perkembangan hidup rohani (transendensi-diri teosentris), yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Yang paling ekstrem menyatakan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara psikologi dan hidup rohani. Manusia dianggap seluruhnya bebas, oleh karena itu bila terjadi kekurangan dalam perkembangan hidup-rohani hal itu semata-mata disebabkan oleh kegagalan seseorang dalam menanggapi rahmat, jadi disebabkan oleh dosa (Dimensi I), dan inilah yang sering terjadi dalam spiritualisme (melihat kenyataan pribadi hanya atas dasar prinsip-prinsip spiritualitas). Ekstrem yang lain melihat bahwa antara psikologi dan hidup rohani terdapat hubungan yang erat bahkan sampai melihat bahwa pribadi tidak lagi mempunyai kebebasan karena dominasi unsur bawah sadar. Oleh karena itu kekurangan dalam perkembangan hidup rohani merupakan konsekuensi dari patologi (Dimensi III), dan inilah yang sering terjadi dalam psikologisme (melihat kenyataan pribadi hanya atas dasar prinsip-prinsip psikologi natural). Mardi menunjukkan bahwa antara kedua ekstrem tersebut masih ada kenyataan lain yaitu Dimensi II yang tidak merupakan daerah dosa (Dimensi I) maupun patologi (Dimensi III) di mana kebebasan pribadi tidak sama sekali hilang tetapi juga tidak sepenuhnya sempurna. Inkonsistensi bawah sadar yang membuat pribadi tidak berdosa tetapi juga tidak membuat patologi menjadi prevalensi utama dalam Dimensi II, dan besar kecilnya Inkonsistensi akan mempengaruhi taraf-taraf kebebasan efektif seseorang. Dimensi II ini hadir dalam diri tiap-tiap orang tanpa kecuali. Apabila demikian, maka kita tidak boleh menerima spiritualisme dan psikologisme begitu saja.

Di bawah ini, dalam bentuk sebuah kasus, kita akan melihat bagaimana mekanisme bawah sadar yang ada dalam Dimensi II membuat pribadi tidak konsisten. Akan kita lihat pengaruhnya, khususnya (1) kemampuan untuk bertumbuh dalam hidup rohani, (2) taraf kebebasan efektif seseorang dan (3) bentuk-bentuk pergaulannya dengan yang lain dalam hidup sosial atau dalam hidup komunitas.

Kasus[12]: Suster A, anak pertama dari keluarga yang tidak harmonis, baik ayah maupun ibunya mempunyai nama jelek di kalangan tetangga dan masyarakat sekitarnya. Sedari kecil ia disanjung dan sangat diharapkan untuk memperbaiki nama dan martabat seluruh keluarga. Khususnya ayahnya mendorong untuk berhasil dalam segalanya sehingga dapat menjadi kompensasi atas apa yang tak dapat diwujudkan oleh ayah dan ibunya. Hal ini kemudian menjadi motivasi Suster A untuk belajar dan mengembangkan segala bakat dan kemampuan semaksimal mungkin. Prestasi studi selalu terbaik, kemampuan hubungan sosial tinggi, banyak teman dan tetangga yang menyayangi dan menyanjungnya. Lebih dari itu ia menjadi kebanggan ayahnya. Namun dalam hati Suster A sebenarnya terjadi konflik batin karena ia merasa menjadi alat dan dimanfaatkan untuk keuntungan ayah lebih daripada demi kebaikan pribadinya. Pertentangan batin ini lama-kelamaan menumbuhkan kebutuhan bawah sadar yang kuat akan harga diri dan autonomi dengan menyisihkan sebagian kemampuan untuk dirinya. Tiap tuntutan dan permintaan orangtua hanya diluluskan sebagian, dan yang lain disimpan untuk dirinya.

Setelah masuk biara dengan pendidikan dan spesialisasi yang sukses, ia menjadi tokoh penting dalam Kongregasi, disegani dan diterima karena memang bermutu dan baik. Tetapi ia sendiri selalu merasakan pertentangan batin dan kadang-kadang ketegangan memuncak tanpa ia sendiri mengerti sebabnya. Semua yang ia perbuat biasanya berhasil, tetapi para formator sebelumnya selalu mencatat bahwa ia tidak pernah dapat membaktikan sepenuhnya kemampuan dirinya. 10 talenta yang diberikan padanya hanya diwujudkan 7 atau 8 bagian saja. Ia sendiri selalu merasa bersalah karena tidak menggunakan seluruh kemampuannya untuk Kongregasi. Hal yang paling sulit baginya adalah menerima kenyataan bahwa Yesus dapat memberikan dirinya secara total untuk menyelamatkan umat manusia. Bentuk penyerahan diri secara total tak pernah dapat ia fahami. Ia tahu bahwa itu nilai terdalam dari hidup religiusnya juga, tetapi ia tidak pernah dapat menerimanya. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam doa-doanya, dalam mendalami spiritualitas. Ia berhasil dalam kepemimpinan dan karier sosial, tetapi kosong dalam kerohaniannya.

Dalam perjumpaannya dengan seorang psikolog, ia mencoba menjelaskan apa yang terjadi dalam dirinya. Pada akhirnya diketahui bahwa dalam pengertian “penyerahan diri” selalu terkandung secara bawah sadar perasaan diperalat dan dimanfaatkan untuk nama baik keluarga atau Kongregasi. Tiap tuntutan untuk menyelesaikan suatu soal, selalu terkandung perasaan dimanfaatkan dan diperalat oleh yang menuntut, oleh karena itu secara bawah sadar terjadi mekanisme untuk tidak pernah mau memberikan diri seluruhnya; sesuatu harus disimpan untuk diri sendiri. Kebutuhan bawah sadar untuk “tidak memberikan seluruhnya” dan untuk menyimpan sesuatu buat dirinya untuk menyelamatkan harga dirinya” ini bertumbuh tanpa ia sadari dan secara konkret berupa keengganan untuk memberikan seluruh semangatnya dalam doa, dalam menanggapi kebutuhan komunitas, dalam kedudukannya sebagai pimpinan, walaupun ia memiliki kemampuan untuk itu. Adanya mekanisme bawah sadar tadi membuat ia tak mampu mengadakan pembaharuan diri meskipun dengan segala usaha dan maksud baik untuk mengubah diri, dan baru setelah mekanisme bawah sadar ini dibuka di hadapan matanya oleh sang psikolog, ia dapat memahami mengapa segala pertentangan batin itu terjadi. Sejak saat ini, ia dapat memahami semangat penyerahan diri secara total tidak hanya dalam refleksi dan doanya, tetapi juga dalam dedikasi hidupnya untuk Kongregasi.

(1) Kemampuan untuk bertumbuh dalam hidup rohani.

Contoh kasus sederhana ini memperjelas apa yang kami sebut di atas dengan istilah Konsistensi Psikologis di mana kebutuhan psikologis bawah sa dar (autonomi) bertentangan dengan nilai yang ia ikhrarkan (penyerahan diri secara total) maupun sikap hidupnya (untuk menjadi suster yang baik). Akibat dinamika bawah sadar sejauh ia sadari adalah pertentangan batin dan ketidakmampuannya untuk memahami nilai “penyerahan diri” tetapi mekanisme bawah sadar sendiri tidak ia kenali justru karena bawah sadar. Baru setelah mekanisme itu dibuka di hadapan matanya, ia dapat mengerti dan sejak saat itu pembaharuan hidup-rohani menjadi mungkin. Bagian dari diri yang terkena mekanisme bawah sadar itu membelokkan seluruh disposisinya untuk memahami Allah dalam doa, Yesus Kristus dan nilai-nilai-Nya, bahkan spiritualitas dan hidup Kongregasi sebagai unsur luar yang memanfaatkan dan memperalatnya. Begitu seterusnya, hidup rohani tidak dapat berkembang dengan baik sebelum rintangan bawah sadar dibawa ke kesadarannya. Ekstrem yang mungkin terjadi adalah penafsiran yang subjektif terhadap semua nilai rohani, hidup membiara dan Injil, karena sudah mempunyai filter tertentu untuk melihatnya. Filter ini harus dibersihkan dahulu agar dapat melihat kenyataan dengan lebih baik.

(2) Taraf kebebasan efektif seseorang .

Masih atas dasar contoh sederhana di atas, dapat diamati bagaimana tanggung jawab Suster A terbelokkan oleh Konsistensi psikologis. Kemampuannya untuk mengerti dan mendengarkan Sabda Tuhan dalam refleksi dan doa ternodai: Allah, Yesus Kristus, Kongregasi dan orang lain dilihat sebagai yang memperalat dirinya, sehingga membuat hidup rohani menjadi kosong. Dalam bekerja, menanggapi kebutuhan dan memimpin Kongregasi ia tidak dapat memberikan diri dan kemampuan sepenuhnya, karena sesuatu harus disimpan untuk diri sendiri. Hal itu tentu saja akan mempengaruhi penghayatan semangat ketaatan, kemiskinan dan keperawanan. Kehendak dan kemauannya untuk memperbaharui diri besar, tetapi kebebasan efektifnya terbatasi oleh dinamika bawah sadarnya. Baru sesudah dilihat dengan gamblang apa yang terjadi secara bawah sadar, pembaharuan hidup menjadi mungkin secara realistis.

(3) Bentuk-bentuk pergaulannya dengan yang lain dalam hidup sosial atau dalam hidup komunitas.

Kebutuhan psikologis bawah sadar berupa autonomi yang bertentangan dengan penyerahan diri total dalam contoh di atas tentu saja mewarnai sikap dan perilakunya dalam hidup bersama. Khususnya nilai cintakasih kristiani ternoda, karena tiap kali harus melayani atau memperhatikan orang lain, selalu merasa “dimanfaatkan” dan “diperalat”. Oleh karena itu juga tidak mudah menghayati cintakasih ini sesuai dengan ajaran Kristus, karena sebagian selalu disimpan untuk diri sendiri. Sikap-sikap inilah yang dalam psikologi disebut sikap defensif, karena secara bawah sadar dipakai untuk membela diri dari ketakutan kalau autonomi dan harga diri hilang. Dalam refleksi dan pemeriksaan batin ia dapat merasakan pertentangan batin dan ketidakpuasan hidup rohani, tetapi ia tidak tahu kalau diam-diam dibelokkan bukannya untuk mengikuti Yesus Sang Guru, melainkan menjadikan autonomi dan harga diri sebagai guru yang baru.

Dalam pembicaraan singkat ini dapat kita lihat bagaimana prevalensi Konsistensi psikologis dari Dimensi II dapat mempengaruhi seluruh disposisi Suster A untuk hidup rohani (transendensi-diri teosentris). Juga menjadi jelas bahwa kelemahan dan kekurangan dalam perkembangan hidup rohani yang oleh dinamika bawah sadar ini bukanlah suatu dosa dalam Dimensi I (karena tidak disadari) tetapi juga bukan patologi dari Dimensi III (tidak ada baik gangguan ringan ataupun neurosis apalagi disorganisasi). Akan tetapi, kehadirannya benar-benar membelokkan pertumbuhan pribadi, setidak-tidaknya mempengaruhi kesucian subjektif yaitu tahap kesucian dan keutamaan (transendensi-diri teosentris) yang mestinya dapat dicapai dengan seluruh talenta yang diberikan padanya.

Apa yang terjadi dalam kasus Suster A juga ditemukan dalam penelitian Rulla. Hasil riset menunjukkan bahwa (1) dimensi II mempunyai kemampuan lebih tinggi untuk mengantisipasi mutu ketekunan di kemudian hari; (2) dimensi II memberikan statistik bahwa orang dapat mempunyai cita-cita yang tinggi tanpa melaksanakannya karena tidak mempunyai disposisi yang sesuai; (3) dimensi II sebagai disposisi menjadi akar krisis panggilan karena menyebabkan terjadinya kerapuhan dalam keseimbangan antara disposisi dimensi I dan II, dan oleh karena itu mengaburkan nilai-nilai panggilan; (4) disposisi pribadi dalam dimensi II-lah yang paling menentukan pertumbuhan atau kemerosotan sikap terhadap panggilan. Dalam dimensi II, ada 62% yang tidak bertumbuh, sedangkan dalam dimensi I 54% dan dimensi III 56,63%.[13] (5) Dimensi II adalah dimensi yang paling menentukan untuk internalisasi atau pembatinan nilai-nilai objektif pewahyuan Allah di dalam Yesus Kristus. Dimensi II menjadi sebab utama penolakan internalisasi.[14] Dimensi II mempunyai probabilitas paling tinggi untuk internalisasi.[15] 60%-80% subjek yang diteliti ternyata tidak siap/kurang punya disposisi untuk internalisasi nilai-nilai panggilan karena ditunggangi inkonsistensi bawah sadar khususnya disposisi dimensi II.

Beberapa pokok pikiran di atas sering ditulis ulang oleh Mardi dalam buku keduanya tentang Psikologi Hidup Rohani. Pembaca yang sudah menggumuli persoalan integrasi antara teologi, filsafat dan psikologi mungkin terasa bosan membacanya, karena itu lagi itu lagi. Tetapi, bagi pembaca yang baru menggumulinya, menurut peninjau, pengulangan yang dilakukan oleh Mardi adalah sesuatu yang penting dalam proses pembelajaran guna pengendapan dan sensitifitas atas persoalan hidup rohani. Teori konsistensi transendensi-diri teosentris dipakai dalam melihat kasus yang berbeda-beda seperti kasus hidup membiara[16], seleksi kandidat dan bimbingan formasi[17], pembedaan roh dan pertumbuhan pribadi[18], dan masalah dalam keluarga dan anak[19]. Dalam teori itu, oleh karena pengaruh psikodinamika dimensi II tampak begitu dalam dan luas, maka seharusnya para pembimbing memahami dengan baik seluk-beluk psikodinamika dimensi II.

Sekalipun berangkat dari riset pada ruang lingkup formasi yang kecil, riset ini tidak mengabaikan hidup rohani kaum awam atau jemaat biasa. Oleh karena itu, menurut peninjau, penerapan teori konsistensi transendensi-diri teosentris dalam pembinaan hidup rohani berlaku untuk kita semua[20], umat Kristen, yang ingin bersama-sama rasul Paulus berkata, “Kristus yang hidup di dalam aku”. Hidup rohani sejati berdasarkan pembatinan dan penghayatan nilai-nilai Kristus, bukan berdasarkan fariseisme. Hidup rohani sejati dengan melakukan kebaikan yang sesungguhnya, bukan kebaikan palsu yang dimotivasi kepentingan dirinya sendiri.

Mardi sudah meninggal dunia. Dia tidak dapat merevisi atau meng-update bukunya. Sekalipun demikian, demi pengembangan ilmu yang multidisipliner, menurut peninjau, pemahaman akan dunia bawah sadar tidak cukup hanya sekedar sketsa tetapi perlu diulas lebih mendalam lagi sehingga para pembina atau pembimbing memiliki modal yang cukup untuk menggeluti disposisi dimensi II pribadi manusia. Selain itu, “tes proyeksi” untuk mengangkat pikiran bawah sadar ke kesadaran juga perlu dibahas lebih rinci lagi sampai para pembimbing atau pembina cukup mahir menggunakan “tes proyeksi” tersebut. Sayangnya, Mardi hanya bicara sepintas lalu soal “tes proyeksi” yang sangat penting ini.

Mengingat sifat “multidisipliner” dari psikologi hidup rohani, mungkin saat ini sudah tidak cukup lagi bahwa gereja digembalakan oleh seorang gembala lulusan teologi. Kalau gembala itu hanya paham teologi saja atau gagap psikologi, mungkin ada baiknya dalam praktik pelayanan dan penggembalaan sehari-hari, gembala ditemani oleh seorang psikolog atau psikiater yang profesional. Dengan demikian, penyuburan “tanah” atau disposisi pribadi jemaat dapat dilakukan lebih efektif. Tentu, praktik multidisipliner ini harus selalu didasari oleh kesadaran akan peran Roh Kudus yang memimpin kita untuk hidup dalam kebenaran.

Buku Dimensi Kelima: Menelusuri Makna Kehidupan[21]

Yang dimaksud dengan dimensi kelima adalah dimensi spiritual. Dalam buku terjemahan, kata “spiritual” tidak ada tetapi diganti dengan “makna”. Penerjemahan itu tidak salah karena menurut Hick, makna hidup yang optimis (“optimisme kosmik”) dan berpengharapan itu perlu diletakkan dalam horizon yang lebih besar pada yang spiritual, religius dan transenden. Gambaran besar atas realitas transenden yang transkategorial lebih besar daripada gambaran besar naturalistik dan keyakinan agama tradisional. Ada realitas di luar ruang lingkup kategori pemikiran kita. Di dalam realitas transenden yang transkategorial, kita menjumpai keterbatasan bahasa. Bahasa yang lahir dalam lingkup duniawi, ketika dipakai untuk realitas transenden memiliki kandungan makna non-literal. Ada kesalahan kategori jika dimaknai secara literal. Yang Transenden ketika dibahasakan bersifat metaforis, hanya bisa menjelaskan “dampak”[22] dari Yang Transenden dan bukan menjelaskan Yang Transenden pada diri-Nya sendiri. Pembaca yang akrab dengan filsafat Immanuel Kant akan memahami bahwa Hick berada dalam tradisi realisme kritis Kant.[23] Prinsip realisme kritis adalah bahwa ada realitas yang berada di luar kita tetapi kita tidak pernah menyadari realitas itu sebagaimana pada dirinya sendiri, tetapi menyadarinya sebagaimana realitas itu tampak dalam kategori konseptual yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu, kita akan melihat “wajah” dan mendengar “suara” Yang Transenden dengan berbeda-beda.

Ada beberapa jendela pada Yang Transenden: jendela-jendela dalam ilmu pengetahuan fisik, jendela-jendela dalam ilmu pengetahuan sosial, jendela-jendela dalam dunia natural dan jendela-jendela dalam kehidupan manusia, yaitu hadirnya orang-orang suci atau mahatma. Tanda-tanda transendensi jauh lebih kuat ada dalam kebaikan orang biasa maupun orang suci. Orang suci dipahami sebagai subjek yang telah mengalami transformasi dari pemusatan pada diri sendiri menuju pemusatan pada Yang Transenden. Kesadaran religius orang suci membuatnya mampu mentransendensi-diri dan menjadi “transparan” terhadap realitas transenden yang bersifat spiritual. “Transparan” dimaknai sebagai kesatuan metaforis, bukan kesatuan literal. Pada jendela yang terakhir ini, Hick mengeksplorasi lebih jauh dan memberi contoh pada para mistikus yang pluralis (baik yang Kristen, yang beragama lain maupun yang tidak beragama)[24] dan pejuang kemanusiaan yang non-violence seperti Mahatma Gandhi, Vinoba Bhav, Martin Luther King, Archbishop Oscar Romero Dag Hammarskjöld, Nelson Mandela, Desmond Tutu dan Thich Nhat Hanth.[25] Ada banyak figur spiritual abad ke-20 yang mempesona. Mereka tidak menganggap diri mereka sebagai orang suci[26] tetapi saat kita bertemu dengan mereka, kita hampir tidak bisa menyangkal bahwa mereka hidup dengan merespon kepada realitas yang lebih tinggi ketimbang alam semesta. Bagi Hick, “satu orang suci yang masih hidup sama nilainya dengan sepuluh orang suci yang telah meninggal”[27].

Sebagai contoh, kita membicarakan tentang Gandhi. Menurut Gandhi, tidak mungkin memisahkan pikirannya dari kehidupannya. Ketika ia ditanya tentang pesannya, ia menjawab hidupnya adalah pesannya. Hal ini bukanlah bualan belaka, tapi sesuatu yang mesti diketahui oleh orang yang ingin mengkaji tentang dirinya. Dia telah berusaha meyakinkan orang-orang untuk menerima pandangan dasarnya selama dia hidup bersama mereka ketika menjalankan serangkaian apa yang dia sebut dengan ‘eksperimen-eksperimen bersama Kebenaran’ (experiments with Truth). Pengaruh besar Gandhi kepada rakyat adalah dengan mengajak mereka untuk mengubah pandangan dan cara secara moral, meskipun dia harus menghadapi risiko besar, bahkan akhirnya ia harus mengorbankan nyawanya sendiri. Ia berkata, “tindakan tidak akan berbohong” dan tak diragukan lagi tindakannya inilah yang membuat kata-katanya dipercaya dan menarik orang lain kepada komitmen politik. Integritas Gandhi laksana-batu, sangat konsisten. Dia berkata, “harus konsisten dengan kebenaran”.[28] Kekuatannya tidak hanya berada di dalam kehidupan Gandhi sendiri namun juga dalam kehidupan banyak orang yang terpengaruh olehnya.

Menurut peninjau, menarik sekali apa yang dipaparkan Hick secara teologis dan filosofis ini. Kalau Mardi dalam bukunya Psikologi Hidup Rohani memberi pendasaran teologis dari perspektif Kristen, Hick memberi pendasaran dari perpektif lintas iman. Sekalipun demikian, keduanya berbicara tentang “konsistensi transendensi diri teosentris/kebenaran”. Hick memberi contoh banyak “barisan orang suci” dari berbagai agama, dan salah satunya adalah Gandhi. Pada Gandhi, tampak penghayatan akan “konsistensi transendensi diri teosentris/kebenaran”. Dalam konteks ini, dialog antar agama tidak hanya pada ranah kata, tetapi juga pada ranah praksis hidup sehari-hari. Apa yang spiritual tampak dalam solidaritas perjuangan hidup sehari-hari. Kenikmatan akan “kesatuan dengan Yang Transenden” berdampak kuat pada “kesatuan antar umat manusia” dan bahkan “kesatuan dengan alam semesta”. Mengasihi Allah, mengasihi sesama manusia dan mengasihi alam adalah nilai objektif pewahyuan yang seharusnya dibatinkan dan dihayati dalam hidup beragama yang benar.

Buku Studi Kasus Pastoral I[29], Studi Kasus Pastoral II[30] dan Studi Kasus Pastoral III[31]

Studi Kasus Pastoral I Sumut

Bab I dari buku ini membahas tempat Metode Studi Kasus (MSK) dalam Teologi Pastoral. MSK dibahas tidak secara khusus tetapi bersamaan dengan kasus yang dibahas. Dimulai dengan kasus seorang pendeta yang bernama Tugu. Ia menghadapi persoalan pemilihan, harus membangun yang mana terlebih dulu: tempat kebaktian, ruang pertemuan atau sekolah Kristen. Majelis Jemaat dan warga gereja mempunyai berbagai pendapat mengenai bangunan mana yang harus didahulukan. Pdt. Tugu diminta menyelesaikan jalan buntu yang disebabkan oleh kepelbagaian pendapat ini. Yang dihadapi oleh Bapak Tugu disebut “Kasus Pastoral”[32]. Kasus Pastoral ini memerlukan jawaban pastoral.

Bab II dan bab-bab berikutnya di dalam buku ini memperlihatkan dilema yang dihadapi orang Batak Kristen: memilih mana, Injil atau Adat/Tradisi/Budaya. Persoalan yang dihadapi digambarkan sebagai konfrontasi di antara Injil dan Adat Tradisi/Budaya, atau di antara iman Kristen dan dunia ini. Dilema itu konkretnya demikian: kalau mengikuti Injil, orang merasa bukan Batak atau tidak dianggap Batak lagi. Kalau mengikuti Adat/ Tradisi/Budaya, orang merasa bukan Kristen atau tidak dianggap Kristen lagi. Seringkali orang keluar dari dilema ini dengan memilih mengikuti Adat/Tradisi/Budaya. Biarlah dianggap bukan Kristen, daripada dianggap bukan Batak. Usaha-usaha yang dilakukan dalam bagian Aksi umumnya membalikkan prinsip itu menjadi: biarlah tidak dianggap Batak asal tetap setia pada Injil.

Pembalikan prinsip itu tampaknya disebabkan oleh latar belakang pemikiran Lutheranisme ortodoks, yang membagi realitas atas dua bagian: yang satu adalah kerajaan Allah dan yang lain kerajaan Dunia. Dua-duanya tidak punya sangkut-paut satu sama lain. Tetapi manusia termasuk dalam kedua-duanya. Ia seperti makhluk amfibi yang bisa hidup di air maupun di darat. Ilustrasinya: si X sebagai warga gereja termasuk dalam kerajaan Allah dan hal itu ia tunjukkan di hari Minggu dengan pergi ke gereja atau pun dengan menjalankan tugasnya sebagai anggota majelis gereja (sintua). Tetapi sebagai warga Batak ia termasuk dalam kerajaan Dunia dan hal itu ia tunjukkan di hari Senin sampai hari Sabtu dengan menjadi salah seorang penyelenggara adat. Lambat atau cepat terjadi tabrakan atau konfrontasi antara tuntutan-tuntutan kedua kerajaan itu.

Mungkin tulisan-tulisan yang langsung berasal dari tangan Luther lebih dapat membantu. Meskipun Luther berbicara mengenai dua bidang yang tidak punya sangkut-paut satu sama lain, manusia berada dalam pergumulan untuk mewujudkan sekaligus iman dan kehidupannya yang autentik di dunia ini: Makna Sola Fide tidak boleh diartikan sebagai “persetan dengan dunia ini”. Luther justru melawan usaha untuk memisahkan iman dari dunia ini. Menurut peninjau, agak aneh bahwa dalam rangka membahas hubungan iman dan budaya buku klasik dari H. Richard Niebuhr, Christ and Culture[33] yang membahas dengan panjang lebar paling sedikit lima sikap sah yang dapat diperlihatkan oleh orang Kristen dalam sejarah gereja terhadap kebudayaan, tidak menjadi bahan referensi dalam usaha menyelesaikan kasus mana pun dalam buku MSK yang pertama ini. Dengan belajar dari pengalaman saudara-saudara seiman sepanjang sejarah gereja, kita bisa menghindarkan diri dari kekeliruan-kekeliruan dan pertentangan-pertentangan serta dilema-dilema semu yang mungkin dapat muncul.

Para penulis kasus adalah pelayan-pelayan gereja yang berasal dari lapangan. Tampaknya mereka tidak secara sadar memikirkan tentang Lutheranisme ortodoks! Tetapi begitulah, seringkali kita di dunia Timur sudah sedemikian menghayati pokok-pokok ajaran pendahulu-pendahulu kita dari dunia Barat, sehingga terjadi internalisasi dan tahu-tahu sudah menjadi gerak refleks mental dari pemikiran teologis atau religius kita. Kita tidak mulai berteologi dengan kepala kosong, tetapi dengan yang ada pada kita, termasuk yang kita warisi dari Barat. Tetapi setelah menyadari dan justru oleh karena menyadari bahwa kepala kita tidak kosong, kita bisa ke luar dari kerangka atau model pemikiran yang kita warisi itu.

Studi Kasus Pastoral II NTT

Bab I merupakan Pendahuluan, yang diberi judul “Metode Studi Kasus Sebagai Alat Kontekstualisasi Teologi Pastoral”. Maksud tujuannnya bukan lagi hanya “Pastoral”, melainkan juga “Kontekstual”.

Bab II menguraikan masalah Kepemimpinan. Di situ dibicarakan tentang pokok “hilang muka” dan “menyelamatkan muka”, singkatnya faktor malu yang sangat memegang peranan di dunia Timur. Kalau kita mencoba memeriksa buku-buku teks dari dunia Barat mengenai soal “malu” maka usaha ini mungkin sia-sia saja, oleh karena dunia pastoral Barat lebih menekankan pada rasa salah daripada rasa malu. Yang terakhir ini dianggap suatu perasaan yang inferior, sisa-sisa dari pola pikir primitif. Kesadaran bahwa rasa malu tidak inferior dibandingkan dengan rasa salah dan bahwa rasa malu tidak begitu saja dapat dihisabkan ke dalam rasa salah baru akhir-akhir ini muncul lagi dalam tulisan-tulisan teologis Barat. Sayang bahwa setelah berhasil mengungkapkan mengenai “hilang muka” dan “menyelamatkan muka”, dalam Analisis dan Interpretasi tidak ada refleksi teologis mengenai “malu”, padahal dalam Alkitab banyak disinggung mengenai faktor ini, khususnya dalam kitab Mazmur, yang sering sekali berisi doa orang beriman kepada Tuhan: “Janganlah kiranya aku mendapat malu!”

Dalam Analisis dan Interpretasi kita harus berani melepaskan diri dari kacamata Barat dan memakai kacamata kita sendiri, sehingga Alkitab tiba-tiba bermakna baru bagi kita. Hal ini sudah dikemukakan juga dalam lokakarya NTT. Seorang pendeta dari Rote yang belum lama ini belajar di Princeton (USA) menceritakan bahwa orang di sana bingung menghadapi uraian terperinci mengenai hukum-hukum ritual dalam kitab Imamat. Tetapi dia tidak, karena dia melihat kesamaan dengan adat di Rote. Dunia Alkitab dekat dengan dunia Timur dan inilah modal kita dalam berteologi yang mengkontekstualkan.

Bab III membicarakan Penggembalaan. Kasusnya mengenai 15 rumah tangga Protestan yang pindah menjadi Pantekosta karena merasa bahwa tuntutan-tuntutan adat dan Majelis Jemaat terlalu berat untuk dipenuhi. Kita hanya bisa memahami kasus ini, kalau kita sadar bahwa “tua-tua jemaat” biasanya adalah tua-tua adat” sekaligus. Sama seperti di Sumatera Utara, gereja di NTT telah menjadi gereja masyarakat yang menghisabkan struktur-struktur dari masyarakat menjadi strukturnya sendiri, sehingga masalah-masalah yang ada dan menentukan sering bukan yang teologis, melainkan yang nonteologis. Oleh karena tuntutan adat dan gereja belum dipenuhi anak-anak dari 15 rumah tangga di atas tidak mendapat perkenan untuk dibaptis dan anggota sidi tidak dapat ikut perjamuan kudus. Analisis ternyata hanya menitik-beratkan pada gejala yang tampak, yaitu perpindahan dari satu denominasi ke denominasi lain, yang dianggap janggal dalam suatu daerah, tempat denominasi sebelumnya menjadi mayoritas. Diam-diam ternyata orang Kristen juga menganut pandangan sama dengan agama mayoritas di Indonesia yang tidak setuju kalau anggotanya pindah ke keyakinan lain, kalau kebetulan orang Kristen menjadi mayoritas di suatu daerah. Ketegangan yang sekarang ini terjadi di wilayah Timor Barat di antara warga GMIT dan warga Katolik juga disebabkan karena warga GMIT mulai merasa bahwa mayoritas mereka terancam oleh pengaruh Katolik di daratan Timor oleh berbagai faktor. Interpretasi teologis agak lemah. Tentu boleh saja menunjuk perbedaan bahwa gereja Pantekosta ternyata lebih menerapkan prinsip imamat am orang percaya daripada gereja Protestan yang dalam praktik ternyata amat pendeta sentris. Juga boleh saja kita menyinggung adat-istiadat/ “hukum-hukum” dan menyelesaikannya dengan mengatakan iman lebih penting dari tradisi dan bahwa “Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk Sabat”. Tetapi sorotan teologis sebaiknya diarahkan pada faktor Pluralisme Religius yang sudah masuk ke NTT seba dampak dari modernisasi.

Di dalam bab VII mengenai Kesimpulan dikemukakan mengenai 3 polaritas dalam hidup masyarakat NTT: tradisi adat-istiadat, tradisi agama nontradisional (Kristen) dan dampak modernisasi. Ketiganya terwakili dalam lembaga keluarga, gereja dan pemerintah. Kalau begitu jawaban pihak yang pindah aliran (dalam kasus disebut “pindah agama”) bahwa “Undang-undang negara menjamin kebebasan beragama” harus diinterpretasikan sebagai sesuatu yang positif. Biasanya kita mengemukakan hal ini sebagai positif kalau berhadapan dengan agama mayoritas dalam skala nasional, tetapi sudah tiba waktunya kita menerapkan nilai ini juga ke dalam skala daerah dan berhenti mempraktikkan standar ganda. Kalau suatu lembaga keagamaan seperti gereja sudah begitu kaku dan penuh tuntutan-tuntutan, maka sulit diharapkan bahwa gereja akan menjadi alat pembebasan atau paling sedikit, penganjur toleransi.

Kasus yang paling menarik terdapat dalam bab IV mengenai Adat dan Agama Suku, konkretnya mengenai “Kematian Pendeta Matheos”. Dalam bab I dikemukakan bahwa bentuk asli kasus initidak menyebut peranan “suanggi”. Hanya dikatakan bahwa Pdt. Matheos telah bekerja terlalu keras, jatuh sakit lalu mati. Baru kemudian si pengarang kasus menceritakan tentang “suanggi” dengan suara berbisik”. Si pengarang segan membahasnya karena merasa hal itu “kurang baik”, bukan hanya dalam segi sopan-santun, melainkan juga sebagai bahan pembicaraan gerejawi, karena hal-hal seperti itu seharusnya tidak ada dan tidak perlu dipersoalkan sejak Injil masuk. Rupanya di sini juga kita berhadapan dengan masalah reputasi seseorang. Masakan seorang pelayan gereja membicarakan “suanggi” dalam suatu lokakarya? Tetapi baiklah kita menyoroti kasusnya.

Pdt. Matheos berusia pertengahan dan masih bujangan. Ia melayani sebuah jemaat besar dan juga merangkap Ketua Klasis. Tugas-tugas gereja di bidang organisasi dilaksanakannya dengan baik. Ia juga memperhatikan perkembangan masyarakat di bidang sosial, misalnya dengan membuat program sawah percontohan. Tetapi di samping itu Pdt. Matheos memberi perhatian yang lebih besar lagi pada peningkatan mutu kerohanian jemaat. Penghambat mutu kerohanian ini adalah sinkretisme yang pelakunya terdiri dari sebagian besar anggota Majelis Jemaat. Pdt. Matheos melaksanakan tugas ini dengan gaya militer. Ia membentuk “Tim Penghancuran Kuasa-kuasa Jahat” yang mengadakan “Kebaktian penyerangan” ke pusat-pusat pemujaan agama asli dengan cara “Doa Tembak”. Pdt. Matheos menjabat sebagai “Komandan”. Pelaksanaan “doa tembak” ini dilakukan dengan mempergunakan semacam senjata mainan yang terbuat dari kayu dan disandang dengan gaya militer. Namun setelah berjalan beberapa lama Pdt. Matheos jatuh sakit. Menurut dia sakit tatikam (di NTT itu berarti diguna-gunai atau istilah sini “disantet”). Ketika sakitnya bertambah parah, anggota tim berdoa berjam-jam. Istilahnya berdoa sambil “tanam lutut”. Tetapi hasilnya nihil. Tiga hari kemudian sang komandan meninggal dunia. Masyarakat gempar dan menganggap bahwa kematian Pdt. Matheos disebabkan oleh “suanggi” (dukun santet).

Dalam Interpretasi dikemukakan bahwa kalau dilihat dari model “peperangan gereja”, maka kematian Pdt. Matheos bisa ditafsirkan sebagai kemenangan “suanggi” yang mewakili dunia agama suku/asli dan kekalahan Pdt. Matheos yang mewakili dunia agama Kristen. Tetapi supaya tidak kelihatan demikian, pengarang kasus mengusulkan agar “model peperangan” tidak dipakai karena mungkin tidak cocok dengan keadaan dan kebutuhan nyata dari jemaat. Menurut pengarang kasus, gereja di NTT harus terlebih dahulu menyelidiki dengan penuh kesabaran dan semangat kerendahan hati suatu cara pendekatan yang relevan dan metode yang tidak menyebabkan warga merasa terancam. Bagi penduduk di sini, konsep “suanggi” dan adat-istiadatnya secara lengkap dipandang sebagai “perlindungan” baginya”. Kutipan ini menurut sangat penting direnungkan oleh siapa saja yang ingin membangun suatu teologi yang mengkontekstualkan.

Tidak ada gunanya mengatakan “suanggi” itu omong kosong, sebab dunia NTT tidak atau belum seluruhnya mengalami sekularisasi dan “demitologisasi”. Secara normatif memang banyak orang Kristen Indonesia yang menolak “suanggi” dan semacamnya. Penolakan ini sering bukan didasarkan atas pertimbangan teologis, melainkan atas pertimbangan ilmiah model abad 19 yang sangat positivistik sifatnya. Pdt. Matheos tidak menganggap “suanggi” sebagai omong kosong. Itu musuh yang harus digempur. Pertimbangan Pdt. Matheos jelas teologis. Kalau begitu salahnya di mana? Di dalam mengambil pertimbangan teologis yang keliru, seperti telah dikemukakan oleh pengarang kasus di atas.

Studi Kasus Pastoral III Jawa

Bab I dari buku III ini langsung masuk dalam tema umum, yakni “Perubahan menantang Iman”. Perubahan merupakan gejala yang tampak di mana-mana dalam kehidupan sehari-hari. Dulu petani menggunakan kerbau dan cangkul untuk bersawah. Sekarang anaknya memakai “kerbau besi” alias traktor. Dulu di kota-kota besar, warung soto bertebaran di mana-mana, sekarang mencari satu saja sulitnya setengah mati. Tempatnya sudah digantikan oleh toko-toko swalayan yang di dalamnya ada restoran self-service bergaya “warung”, tetapi dengan harga 10 kali lipat dari warung soto pak Amat yang dahulu, dan tidak enak lagi sebab dibuat secara massal. Mesin tik digantikan oleh komputer. Pengelola kursus-kursus ketrampilan mengetik 10 jari banyak yang gulung tikar karena kehilangan peminat, yang pindah ke kursus-kursus komputer, tetapi dengan membayar 10x lipat daripada waktu belajar

mengetik. Bagi banyak orang di Indonesia perubahan berarti “bayar 10x lipat dari biasanya”. Ini aneh sebab penganjur-penganjur modernisasi umumnya mengatakan bahwa perubahan akan membawa kemudahan dan dalam jangka panjang, kemurahan”. Seberapa panjangnya, kepada kita tidak diberitahu. Daftar panjang dari perubahan psikologis-sosiologis-kultural sebagai dampak perubahan fisik dapat saja dibuat, tetapi pasti tidak cukup menggambarkan liku-liku dan kompleksitas gejolak “perubahan yang sedang melanda insan, keluarga, masyarakat dan gereja di Jawa “.

Yang menarik adalah perumusan dalam menentukan nisbah antara perubahan dan iman, “perubahan menantang iman”. Itu berarti diharapkan sesuatu dari iman agar dapat menanggapi perubahan tersebut. Biasanya orang tidak merumuskannya seberani itu. Iman biasanya dianggap sebagai sesuatu yang tetap dan tidak berubah. “Yesus Kristus tidak berubah sampai selama-lamanya”. Kalau Yesus Kristus tidak berubah, semua yang lain juga tidak boleh berubah, termasuk iman. Lupa bahwa bagi setiap generasi pertanyaan Yesus kepada Petrus, “Tetapi menurut kamu siapakah Aku ini?” selalu menuntut jawaban autentik-eksistensial. Jawaban seperti ini adalah jawaban iman, tetapi justru karena autentik-eksistensial, maka tidak bisa sama dengan jawaban sebelumnya, juga tidak sama dengan mengulangi jawaban Petrus! Hal terakhir ini sering tidak disadari orang. Yesus Kristus tidak berubah, tetapi perumusan iman mau tidak mau berubah sesuai dengan tantangan perubahan-perubahan situasi dan kondisi di sekitar kita.

Bab II mengenai Perubahan Sosial, menguraikan pergumulan Rina, seorang dokter wanita yang setelah setahun sukses dalam menggalakkan program Keluarga Berencana (KB) dan berhasil meningkatkan jumlah akseptor, tiba-tiba berbalik menentang program ini berdasarkan alasan iman Kristen, yang katanya menentang pembatasan kelahiran. Pembalikan ini menimbulkan keresahan terutama pada warga-warga jemaat yang merasa bahwa orang Kristen perlu menjaga nama baik di hadapan pemerintah. Ada beberapa konflik batin yang berkecamuk dalam diri Dr. Rina. Pertama-tama sebagai orang yang berprofesi sebagai dokter, ia tentu ingin menolong sesama manusia. Tetapi oleh karena keyakinannya bahwa Tuhan tidak menghendaki pembatasan kelahiran, melainkan memerintahkan manusia agar berkembang-biak memenuhi bumi sebagai tanda berkat dan anugerahNya, maka ia tidak dapat memenuhi hasratnya sesuai dengan profesi yang telah diambilnya. Di pihak lain umumnya masyarakat telah menerima program KB sebagai bagian yang wajar dari dinamika hidup sehari-hari. Pendapat “banyak anak banyak rejeki” sudah lama ditinggalkan orang, terutama oleh mereka yang mengalami kesulitan-kesulitan dalam kehidupan di kota-kota besar. Tidak mudah menelusuri sekian banyak dinamika dalam kasus Dr. Rina, tetapi jalan keluar yang diberikan adalah: pertama, ia harus menginterpretasikan kembali firman Tuhan dan melihatnya di dalam konteks, baik konteks cerita yang mengandung firman tersebut maupun dalam konteks Dr. Rina sendiri di masa kini. Perintah Tuhan pada manusia agar berkembang biak diberikan dalam kerangka penciptaan dunia, yang waktu itu baru berisi dua orang (Adam dan Hawa). Padahal sekarang ini dunia sudah penuh sesak. Di mana ada sepenggal tanah, di situ ada orang yang menetap tanpa peduli apakah layak didiami atau tidak. Dalam situasi semacam ini perintah di atas tidak akan membawa kesejahteraan dan keselarasan, tetapi justru kekacauan. Sama halnya orang tua yang memerintahkan anak supaya makan agar tidak lapar: Perintah ini tentu saja tidak ada gunanya kalau anak sedang kenyang. Kedua, ia harus melihat bagaimana menempatkan imannya secara dinamis dalam kaitan dengan dunia.

Mengapa orang Kristen sering sulit menghadapi masalah-masalah di dalam iman? Oleh karena pemahaman tradisional mengenai iman yang selalu dilihat hanya dalam rangka “dunia yang tidak kelihatan”. Sehingga kalau ada hal-hal di dalam dunia yang kelihatan, yang tidak cocok dengan hal-hal yang ada di dalam dunia yang tidak kelihatan, jalan yang diambil adalah memutuskan hubungan dengan dunia yang kelihatan. Peranan pendeta di dalam dunia yang sedang berubah cepat ini pun berkurang sekali. Ia dihormati tetapi tidak ditaati, oleh karena tidak bersangkut-paut dengan dunia yang kelihatan. Bukan kebetulan bahwa dalam Deskripsi tidak disebut-sebut mengenai peranan pendeta. Padahal seperti yang disebutkan dalam penutup uraian kasus, pendeta seharusnya seorang intelektual Kristen yang diharapkan untuk menangani krisis-krisis semacam yang dialami oleh Dr. Rina. Maka gejala yang kelihatan dewasa ini, yaitu pendeta yang sibuk ke sana ke mari mengurus jemaatnya dalam acara-acara rutin semata-mata, sebetulnya merupakan gejala kesibukan semu, suatu tabir yang menunjukkan kegagalan pendeta menyiapkan jemaat untuk menangani perubahan-perubahan sosial. Kesibukan semu ini harus digantikan dengan kesibukan yang sejati, yang dapat menolong orang-orang seperti Dr. Rina. Dan akhirnya ketiga, kasus Dr. Rina harus dilihat dalam kerangka pemahaman Jawa mengenai keselarasan. Kita sudah melihat bagaimana jalan keluar pertama di atas juga dibicarakan dalam kerangka keselarasan. Di sinilah letak persoalan, sebab bagi banyak orang keselarasan berarti jangan berubah, sebab berubah akan merusak keselarasan. Baik dalam masalah kependudukan maupun dalam masalah keresahan orang-orang di sekitar Dr. Rina harus diselesaikan dalam rangka keselarasan atau harmoni ini. Tetapi kita tidak bertolak dari harmoni itu sendiri, melainkan dari terganggunya harmoni, yang harus dikembalikan lagi seperti semula. Jadi kita tidak menerima harmoni dalam pengertian yang statik, melainkan yang dinamik.

Bab III berbicara mengenai Keluarga, khususnya yang terancam perceraian. Bagaimanakah gereja menilai permintaan perceraian? Apakah akan dikutuk begitu saja atau perlu ditangani secara pastoral dengan memperhitungkan perubahan-perubahan nilai yang terjadi ? “Perceraian tidak dapat disetujui“. Namun di pihak lain gereja dianjurkan agar memikirkan pelayanan pada korban korban “bila perceraian itu harus terjadi”. Kita diperhadapkan pada peranan tradisional yang dijalankan gereja dalam berbagai masalah krusial: ia membatasi diri pada melayani korban-korban. Tentu saja hal ini pada dirinya baik, oleh karena menuruti perumpamaan orang Samaria yang baik hati, yang menolong korban perampokan. Tetapi dalam zaman yang berubah cepat jumlah korban biasanya banyak dan untuk penanganannya dibutuhkan biaya besar. Bayangkan saja kalau perceraian terjadi dan gereja misalnya harus membayarkan pengacara bagi istri yang diceraikan. Daripada hanya melayani korban, bagaimana kalau gereja juga aktif melayani sedemikian rupa sehingga pelayanannya mencegah jatuhnya korban? Dalam kasus ternyata si suami, Bpk. Slamet, yang ingin bercerai karena istri sudah lumpuh dan tidak dapat melayani suami seperti biasa lagi. Juga dikemukakan bahwa dulunya ketika pasangan ini menikah mereka belum Kristen. Keterangan ini tampaknya diberikan untuk menguatkan bahwa keinginan bercerai dari pak Slamet disebabkan karena masih terpengaruh ajaran keyakinan yang dianut dahulu, yang agak terbuka terhadap perceraian. Maka arah aksi seharusnya ditujukan oleh gereja kepada si suami secara khusus dan tidak diberikan secara umum seperti dalam Aksi. Dalam perundang-undangan perkawinan negri kita perceraian tidak lagi mudah. Ini suatu hasil perubahan akibat modernisasi. Masalahnya tidak sama dengan dunia Barat di mana perceraian cenderung dipermudah. Maka keputusan berdasarkan iman Kristen seyogyanya diambil dalam rangka konteks perubahan di Indonesia dan bukan di tempat lain.

Dalam bab VII diceritakan tentang ibu Tresno Sudarmo yang mengalami situasi yang sulit oleh karena anak gadisnya yang masih duduk di kelas III SMP ternyata telah hamil dan tidak ada dari teman-teman laki-laki putrinya yang mau bertanggung-jawab. Suami ibu Tresno yang adalah tokoh gereja dan masyarakat, jatuh sakit parah oleh karena ulah anaknya sehingga harus dirawat di rumah sakit. Ibu Tresno mendapat banyak saran. Ada yang menganjurkan pengguguran, ada yang mengusulkan agar si putri diungsikan ke tempat lain, tetapi ada juga yang menyalahkan ibu Tresno dan suaminya karena terlalu aktif di gereja maupun masyarakat, sehingga mengabaikan pengawasan terhadap anaknya sendiri. Dalam Analisis telah diperlihatkan dengan baik bahwa sebagai orang Jawa, ibu Tresno merasa sangat malu dengan kejadian yang telah menimpa anaknya. Dasar dari rasa malu ini adalah pemahaman bahwa ia telah melanggar prinsip “rukun”. Sebagai orang yang memiliki sifat rumangsan (peka terhadap pandangan orang lain/masyarakat) ia merasa bahwa perbuatan anaknya mengganggu harmoni masyarakat. Gangguan pada harmoni ini dapat dicegah dengan menjalankan a.l. usulan agar si gadis diungsikan ke tempat lain atau kandungan digugurkan. Harmoni kembali apabila ada korban! Untunglah bahwa usulan-usulan ini tidak atau belum diikuti. Selain itu kekacauan batin yang dialami ibu Tresno adalah kesadaran bahwa nama istri tokoh gereja dan masyarakat ia seharusnya bisa dijadikan baiknya telah rusak. Sebagai seorang yang menjadi panutan dan teladan. Kalau anak sendiri tidak bisa diajak meneladani orang tua, apatah lagi dengan orang lain?

Tetapi dalam Interpretasi maupun Aksi tindak lanjut dalam rangka mengatasi rasa malu dari ibu Tresno tidak diberikan. Tampaknya di mana-mana di Indonesia kita sebagai pelayan gereja dalam menjalankan konseling pastoral tidak siap menghadapi masalah rasa malu, padahal itulah yang kontekstual. Kebanyakan bekal pastoral kita berkaitan dengan rasa salah, bukan dengan rasa malu. Bukannya bahwa menyadarkan orang untuk menerima kenyataan itu salah. Tetapi tidak cukup hanya itu saja. Sebagai orang Jawa ibu Tresno membutuhkan sesuatu yang khas sebagai jalan untuk “menetralisir” rasa malu tanpa perlu mengorbankan orang lain. Seperti diketahui kehidupan orang Jawa dikuasai oleh simbolik dan itu nyata dalam ritual-ritual yang mengatur daur kehidupan manusia. Andaikata ibu Tresno menjadi penganut kepercayaan, ia sudah akan melewati suatu ritual pembersihan diri. Pertanyaannya adalah apakah gereja menyediakan alternatif bagi kebutuhan spiritual semacam itu?

Mau tidak mau gereja perlu memikirkan ritual tertentu bagi kasus semacam ini, yang bisa menyentuh masalah rasa. Dalam pemahaman Jawa rasa adalah pengertian yang lebih mendalam mengenai diri sendiri. Pengertian ini bukanlah hasil suatu aktivitas rasional, melainkan buah renungan meditatif. Ritual dapat berfungsi sebagai doa yang diperagakan, bukan dalam arti “dipamerkan” melainkan bahwa doa itu tampak dalam gerak tubuh secara puitis. Hal ini mungkin aneh kedengarannya bagi kita yang sebagian besar mewarisi tradisi Calvinisme orthodoks yang seringkali amat rasionalistik. Tetapi tradisi ini justru dalam era perubahan perlu ditinjau ulang. Era perubahan selalu mendatangkan rasa ketidakpastian yang eksistensial. Itu berarti sulit dicari sebabnya yang rasional. Justru di saat-saat ini orang membutuhkan ritual. Begitu baru kita bisa mengerti mengapa banyak orang anggota gereja Protestan yang lari ke gereja Pantekosta untuk dibaptis ulang. Gejala ini merupakan Isyarat bagi kita agar kita merumuskan ulang perangkat iman kita dalam rangka menanggapi perubahan. Mengadakan ritual di zaman modern ini bukannya berarti mau kembali ke zaman kuno melainkan justru mau kerasan dengan zaman modern ini.

Bab VIII Bagian Kesimpulan mengingatkan kita bahwa krisis selalu mempunyai dua segi. Bisa dilihat sebagai kesempatan untuk memperkembangkan diri tetapi bisa juga dilihat sebagai ancaman sehingga orang malah menjadi semakin kerdil. Perubahan yang terjadi di Jawa memang merupakan krisis, tetapi justru di sini kesempatan bagi orang Kristen untuk memperkembangkan diri, dalam hal ini merumuskan kembali perangkat iman, sehingga pada gilirannya dapat menantang perubahan. Jadi kalau tadinya dalam bab I dikemukakan tentang perubahan yang menantang iman, maka di sini iman yang telah menanggapi perubahan pada gilirannya dapat menantang perubahan. Itu berarti bahwa iman akan berperan dalam mempengaruhi perubahan sehingga sesuai atau paling tidak dekat dengan kehendak Tuhan.

Dari ketiga buku Studi Kasus Pastoral yang telah kita bahas di atas kita dapat melihat bahwa metode studi kasus adalah metode berteologi kontekstual yang konkret dari kasus ke kasus. Kasus yang lahir dari konteks lokal yang kecil dideskripsikan lalu dianalisis dalam konteks kultural yang lebih luas. Hasil analisis didialogkan dengan interpretasi teologis dengan menggali dari Alkitab dan tradisi gereja yang ada dan akhirnya ditindaklanjutin dalam aksi pastoral. Dengan melihat lingkaran hermeneutik atau lingkaran pastoral ini, kita melihat bahwa pokok persoalan MSK bukanlah sekedar memahami kasus tetapi mengubah kasus menjadi kesempatan untuk menghayati kebenaran Injil. Di sini, seringkali kebenaran Injil harus berdialog dengan budaya yang ada, baik budaya warisan teologi Barat maupun budaya lokal yang ada. Jemaat yang ingin berteologi kontekstual dalam pastoralnya butuh peran dan bantuan dari para ahli, entah tafsir alkitabiah, teologi sistematika, atau pun dari disiplin lainnya, guna pemahaman akan konteks, analisa dan interpretasi yang benar.

Sampai saat ini MSK dipakai oleh banyak gereja. Dan yang menggembirakan adalah bahwa MSK saat ini dipakai dengan berbasis data.[34] Penelitian ilmiah dilakukan secara serius dan hasilnya dijadikan panduan dalam langkah analisis, interpretasi dan aksi pastoral. Di sini, menulis sebuah kasus pastoral tidak bisa lagi didasarkan oleh “katanya… katanya”. Dengan data yang benar, maka aksi pastoral akan lebih efektif dan mengena. Sekalipun demikian, peninjau menyadari bahwa berbicara “riset statistik yang ilmiah” bukanlah hal yang mudah. Jangankan di jemaat awam, di dalam mahasiswa teologi pun sulit. Dalam mata kuliah lain, mahasiswa teologi bergelut dengan “kata”, sedangkan dalam riset ilmiah ini mahasiswa bergelut dengan “angka”.

  1. F. Mardi Prasetya, Psikologi Hidup Rohani 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1995), Cet. ke-2. Cetakan pertama 1993. Dalam catatan kaki akan disingkat menjadi: Mardi, (1) 1995, h… Jumlah Halaman: 276.
  2. F. Mardi Prasetya, Psikologi Hidup Rohani 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1994), Cet. ke-3. Cetakan pertama 1992. Bagian teoretis pada buku pertama diulang sebagian di buku kedua ini. Oleh karena itu, mungkin, Kanisius menerbitkan terlebih dahulu buku kedua yang memang lebih lengkap dan lebih tebal. Dalam catatan kaki akan disingkat menjadi: Mardi, (2) 1994, h… Jumlah Halaman: 383. Jadi, total bacaan pada kedua buku Psikologi Hidup Rohani ini adalah 659 halaman.
  3. Mardi, (1) 1995, h. 124.
  4. Mardi, (1) 1995, h. 96, 98, 115, 132 . Dan Mardi, (2) 1994, h. 11, 82, 89, 153.
  5. Mardi, (2) 1994, h. 139.
  6. Mardi, (1) 1995, h. 90.
  7. Mardi, (1) 1995, h. 88.
  8. Mardi, (1) 1995, h. 131.
  9. Mardi, (1) 1995, h. 132.
  10. Mardi, (1) 1995, h. 149.
  11. Mardi, (1) 1995, h. 158-165. Karena Dimensi I adalah dimensi sadar dalam hidup pribadi, maka melalui refleksi, penelitian batin dan mawas diri dengan jujur ia akan dapat melihatnya sendiri tanpa kesulitan, sehingga tidak perlu secara khusus dilihat di sini. Dimensi III adalah wilayah normal atau patologi. Patologi membatasi pribadi khususnya dalam usaha transendensi-diri dalam nilai-nilai kodrati. patologi yang masih ringan tarafnya dapat memperberat atau menentukan bentuk prevalensi Inkonsistensi dalam Dimensi II. Bila hal ini yang terjadi, maka Dimensi III dapat menjadi sumber Inkonsistensi dan Konsistensi defensif dalam Dimensi II, dan akhirnya akan menentukan juga seluruh disposisi pribadi.
  12. Mardi, (1) 1995, h. 161-162 dan Mardi, (2) 1994, h. 91-93. Kasus ini dipilih karena muncul dari ketidakdewasaan dimensi II. Setiap dimensi mempunyai masalah-masalah yang khas. Pada Mardi, (2) 1994, h. 157-169, kita dapat melihat contoh-contoh kasus dalam dimensi I dan III. Bahkan, selain dalam dimensi-dimensi, diberikan juga contoh kasus dalam proses perkembangan pribadi.
  13. Mardi, (1) 1995, h. 205.
  14. Mardi, (1) 1995, h. 209.
  15. Mardi, (1) 1995, h. 210.
  16. Mardi, (2) 1994, h. 185-201. Di bagian “Hidup Selibat” ada uraian yang seperti terputus. Di situ ada “masalah dari dimensi I” tetapi tidak dibahas masalah dari dimensi II dan III. Dan uraian selanjutnya lebih banyak bicara tentang nilai-nilai objektif seperti pembahasan dalam “arti salib” dan dasar biblis bagi kepemimpinan sebagai kebapaan dan keibuan rohani. Sekalipun demikian, kita akan lebih memahami dengan baik uraian Mardi jika ditempatkan dalam kerangka teori konsistensi transendensi diri teosentris yang memberi perhatian serius pada disposisi dimensi II.
  17. Mardi, (2) 1994, h. 237-308.
  18. Mardi, (2) 1994, h. 309-348.
  19. Mardi, (2) 1994, h. 349-370.
  20. F. Mardi Prasetya, Unsur-unsur Hakiki dalam Pembinaan 1 (Yogyakarta: Kanisius, 2000) dan Unsur-unsur Hakiki dalam Pembinaan 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2000).
  21. John Hick, Dimensi Kelima: Menelusuri Makna Kehidupan, terj. T. Hermansyah dari The Fifth Dimension An Exploration of The Spiritual Realm, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001). Jumlah halaman 342.
  22. Ibid., h. 39.
  23. Ibid., h. 28, 109. Dibahas lebih lanjut dalam Bab 5.
  24. Yang tidak beragama mengalami transendensi diri di luar konsep-konsep agama tradisional.
  25. John Hick, h. 223.
  26. Gandhi berkata, “saya tidak merasa sebagai orang suci dalam bentuk apa pun”. John Hick, h. 227.
  27. John Hick, h. 215.
  28. John Hick, h. 237.
  29. SEAGST Institue of Advanced Pastoral Studies dan Panitia Metode Studi Kasus SUMUT, Studi Kasus Pastoral I SUMUT (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985). Jumlah halaman: 184.
  30. SEAGST Institue of Advanced Pastoral Studies dan Panitia Metode Studi Kasus SUMUT, Studi Kasus Pastoral II NTT (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990). Jumlah halaman: 215.
  31. SEAGST Institue of Advanced Pastoral Studies dan Panitia Metode Studi Kasus SUMUT, Studi Kasus Pastoral III JAWA (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990). Jumlah halaman: 268. Jadi, total bacaan pada ketiga buku Studi Kasus Pastoral ini adalah 667 halaman. Dalam bagian Studi Kasus Pastoral ini, peninjau juga memakai sumber dari E.G. Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1997), h 59-82.
  32. Dalam sejarah agama Kristen pengertian “Kasus”sudah lama dipakai. Kalau dalam jemaat terjadi persoalan, kita biasanya mengatakan ada “kasus”. Arti dan fungsi “Kasus” dalam hubungannya dengan penggembalaan jemaat mendapat makna khas dalam “Gerakan Pastoral Klinis” yang muncul di Amerika Utara kira-kira 60 tahun yang lalu. Menyusul keterangan tentang MSK, yang bukan masalah teknis pemecahan masalah atau pun buku penolong dan petunjuk yang serba praktis. Metode ini menuntut refleksi yang mendalam, yang mencakup berbagai dimensi manusia, misalnya psikologi, sosiologi, antropologi dan filsafat-ideologi. Lebih-lebih lagi, dari pelbagai menghubungkan pelbagai dimensi tersebut, yang pada akhirnya refleksi ini seseorang harus membuat refleksi teologis yang meraba apakah kehendak Tuhan dalam masalah ini dan tindakan apakah yang kiranya harus dan dapat dilakukan untuk menghadapi serta mengatasi masalah ini.
  33. Untuk ringkasannya dapat dilihat dalam Malcom Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Theologis bagi Pekerjaan Orang Kristen dalam Masyarakat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), cet. ke-3, h. 181-201. Untuk kajian yang lebih dalam, lihat D.A. Carson, Kristus dan Kebudayaan: Sebuah Kajian Baru, terj. Junedy Lee, (Surabaya: Momentum, 2018).
  34. S. Gitowiratmo, Gagasan Dasar Pastoral Berbasis Data (Yogyakarta: Kanisius, 2017). Lihat “lingkaran pastoral” h. 55.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *