Tinjauan atas 10 Artikel dalam Jurnal-jurnal Teologi
Tinjauan atas 10 Artikel dalam Jurnal-jurnal Teologi
Oleh: Wahyoe Rita Wulandari
Jurnal Pertama: [1] Anugerah yang Meresahkan: Menggumuli Teks-Teks Kekerasan di PL
Anugerah dibangun atas dasar teks-teks positif atau teks-teks kasih. Terkait anugerah, Perjanjian Lama (PL) memakai kata hanam, hesed, dan rahum; sedangkan Perjanjian Baru (PB) memakai kata charis. Pertanyaannya: jika anugerah hanya dikonstruksi dari teks-teks yang berkonotasi positif, lalu bagaimana dengan teks-teks negatif atau teks-teks kekerasan? Pada umumnya, orang mengeluarkan teks-teks kekerasan dari teologi anugerah. Berbeda dengan itu, Tony, penulis artikel ini, mencoba mengkonstruksi teologi anugerah dari teks-teks kekerasan. Ia menawarkan cara yang berbeda untuk membaca teks-teks kekerasan di dalam PL, yaitu dengan mengakui bahwa teks-teks kekerasan mengambil bentuk anugerah yang berbeda dari anugerah pada umumnya.
Anugerah dari teks-teks kekerasan meresahkan para pembacanya karena berpotensi (1) menginspirasi kekerasan, (2) memandatkan kekerasan, (3) melegalkan kekerasan, (4) melahirkan ketidakpercayaan kepada gereja dan Alkitab, (5) melahirkan ateisme pada kekristenan, dan (6) mereduksi otoritas PL. Berikut adalah uraian singkat mengenai keenam potensi tersebut dari berbagai perspektif.
- Menginspirasi Kekerasan
Renard mengungkapkan bahwa teks-teks kekerasan di dalam PL menjadi salah satu polemik, karena memotivasi terciptanya kekerasan. Teks-teks itu bagaikan ruang inspirasi bagi para pelaku kekerasan. Teks kekerasan seolah telah menjadi senjata yang digunakan untuk menghakimi orang lain. Senjata itu mengontrol orang lain seturut tujuannya.
2. Memandatkan Kekerasan
Mandat kekerasan terbagi menjadi dua bentuk, yakni Allah yang memandatkan kekerasan dan manusia yang memandatkan kekerasan agar Allah merealisasikannya. Untuk bentuk pertama, kita melihat Allah sebagai Raja yang memerintah manusia untuk saling membunuh. Allah memprovokasi bangsa Israel untuk melakukan genosida terhadap bangsa lain. Allah memandatkan bangsa Israel untuk “… menumpas mereka sama sekali. Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan mereka dan janganlah engkau mengasihani mereka” (Ul. 7:2b). Bahkan, apa pun yang bernafas di bangsa itu tidak boleh dibiarkan hidup (Ul. 20:16b). Untuk bentuk kedua, Allah memberi ruang bagi bangsa Israel untuk melaporkan segala keluh kesah mereka, lalu Allah akan membalas keluh kesah mereka (Mzm. 12, 58, 69, 83, 94, 109, 129, 137, 139). Mazmur-mazmur ini berpolemik karena merupakan doa-doa dari bangsa Israel untuk membalas dendam.
3. Melegitimasi Kekerasan
Eric Seibert, dalam artikelnya “Recent Reseach on Divine Violence in the Old Testament”, menuturkan bahwa manusia membenarkan kekerasan yang dilakukannya dengan merujuk kepada teks-teks kekerasan. Kekerasan yang dirujuk dari teks-teks Alkitab dipandang legal karena Alkitab adalah sumber pedoman kehidupan orang Kristen. Teks-teks kekerasan memiliki suara pembenaran atas tindakan buruknya. Bagi Eryl Davies, Alkitab telah menjadi sumber pembenaran terhadap tindakan buruk. Orang melakukan tindakan buruk mencari pembenaran melalui Alkitab.
4. Anti-Ekklesia: Melahirkan Ketidakpercayaan Kepada Gereja Dan Alkitab
Thomas Paine (1737–1809) merupakan salah satu perintis gerakan anti-ekklesia atau anti-gereja. Paine sama sekali tidak menganjurkan seseorang untuk bergereja. Baginya, lebih baik orang itu memercayai akalnya sendiri. Ia menuduh Alkitab sebagai sumber kekerasan. Alkitab tidak memiliki otoritas untuk berbicara bagi kehidupannya. Bahkan, secara berani bagai orang yang murka terhadap Alkitab. Secara radikal, ia mengeklaim Alkitab bukan diinspirasi Allah, melainkan setan.
5. Melahirkan Ateisme Pada Kekristenan
Richard Dawkins mengeklaim bahwa Allah di dalam PL adalah promotor kekerasan. Dawkins secara terang-terangan mengemukakan bahwa karakter Allah di dalam PL bobrok. PL adalah sumber ateisme bagi kekristenan. Klaimnya ini berimbas luas hingga dua juta orang memilih mempercayai pernyataannya. Akhirnya, mun-cul ateisme-ateisme yang memandang rendah Allah di dalam PL.
6. Mereduksi Otoritas PL
Adam Hamilton berpendapat bahwa bahwa teks-teks kekerasan tidak berdiri setara dengan teks-teks PL lainnya. Dengan demikian, teks-teks itu tidak bisa serta-merta diinklusikan kepada bagian dari teks yang diinspirasi atau dipengaruhi Allah.
Beberapa perspektif di atas sama sekali tidak mengindikasikan hadirnya anugerah di teks-teks kekerasan. Malah sebaliknya, teks-teks itu dipertanyakan otoritasnya, dihujat, dihakimi, dan dituduh bermasalah. Kesimpulan implisitnya, teks-teks itu tidak berharga dan bermanfaat. Teks-teks itu tidak mudah untuk kita pahami, karena pelbagai polemik yang mengitarinya. Hingga akhirnya, teks-teks itu memicu kegelisahan dan keresahan ketika membacanya.
Selanjutnya, Tony menguraikan beberapa langkah untuk memberi tempat bagi teks-teks kekerasan di ruangan yang penuh dengan anugerah. Dia mendapat inspirasi dari Seibert. Seibert memberi beberapa kiat membaca teks-teks kekerasan di dalam PL: pertama, menamai teks kekerasan; kedua, menganalisis teks kekerasan; ketiga, meninjau teks kekerasan; keempat, menggunakan teks kekerasan secara konstruktif; kelima, melampaui kekerasan.
- Menamai Teks Kekerasan
Tanda keprihatinan kita terhadap teks-teks kekerasan adalah dengan menamai ulang teks-teks tersebut. Dengan menamai, kita memberi ruang bagi teks kekerasan sebagai anugerah yang dinyatakan Allah bagi kita. Anugerah yang kita terima dengan penuh kegelisahan dan keresahan, karena kita perlu mempertanggung-jawabkan kepedulian kita terhadap iman yang kita anut itu di tengah reputasi buruk teks-teks kekerasan itu.
2. Menganalisis Teks Kekerasan
Kalmanofsky memulainya dengan tahap “menginterpretasi”. Ia menilai bahwa proses menafsir merupakan tahap analisis yang signifikan bagi korban kekerasan. Dengan menginterpretasi teks-teks kekerasan, para korban akan dibantu untuk dikuatkan dan diteguhkan berdasarkan teks-teks tersebut. Teks-teks kekerasan berjumpa dengan para korban kekerasan dan mengajak mereka untuk pergi menuju proses pemulihan.
3. Meninjau Teks Kekerasan
Fiorenza menegaskan bahwa dengan hermeneutik kecurigaan, kita terdorong untuk mengkritisi setiap keadaan di sekitar kita dan perspektif yang muncul saat kita membaca Alkitab. Ia menolak penafsiran terhadap teks-teks Alkitab yang meminggirkan dan mendiskriminasi perempuan. Perspektif tafsir anti-kekerasan ini juga bisa hadir melalui “membaca teks-teks kekerasan bersama para korban”. Para pembaca membawa anugerah dari teks-teks kekerasan. Kita semakin melihat bahwa tempat anugerah bagi teks-teks kekerasan semakin terbuka lebar. Teks-teks itu tidak perlu direndahkan dan disepelekan
4. Menggunakan Teks Kekerasan Secara Konstruktif
Mbuwayesango meneliti teks-teks kekerasan terhadap perempuan Afrika dan menyatakan bahwa hermeneutika kecurigaan membantu kita untuk menafsir ulang teks Alkitab demi melahirkan suatu kebudayaan yang lebih baik. Budaya tersebut dapat menjadi lokus berteologi bagi perempuan Afrika demi menolak kekerasan terhadap perempuan dengan menciptakan budaya lainnya, yakni budaya anti-kekerasan. Dengan tafsir ini, kita mengkritik dan menolak kekerasan di PL sekaligus diajak untuk belajar untuk tidak mengimitasi kekerasan-kekerasan tersebut.
5. Melampaui Kekerasan
Kita tiba pada keresahan-keresahan dari anugerah ini. Keresahan itu mencoba mengingatkan kita untuk tidak mengulang atau mengimitasi peristiwa kekerasan tersebut tetapi melawan kekerasan serupa, melampauinya dengan praktik tanpa kekerasan.
Menurut peninjau, apa yang ditawarkan oleh penulis artikel ini sangat radikal karena berasal dari perspektif korban kekerasan. Dari perspektif ini yang dituju adalah pembebasan. Pembebasan tidak mungkin diraih dengan melanggengkan atau mengimitasi kekerasan. Oleh karena itu, teks-teks kekerasan dalam PL dikritisi dengan hermeneutika kecurigaan dan digali sifat anti kekerasannya. Dan dalam praktik kultural yang anti kekerasan, kita mensyukuri anugerah yang meresahkan, yakni anugerah yang berada dalam ketegangan antara pembebasan yang anti kekerasan dan perbudakan yang penuh kekerasan.
Jurnal Kedua:[2] Keseimbangan Antara Ranah Akademis dan Ranah Pastoral dalam Model Penafsiran Prof. Dr. Ignatius Suharyo
Pada saat artikel ini ditulis, Prof. Dr. Ignatius Suharyo masih menjabat sebagai Uskup Agung Jakarta. Kemudian, sejak 1 September 2019, dia menjabat sebagai Kardinal untuk gereja Katolik di Indonesia. Selain jabatan tersebut, Suharyo adalah seorang dosen tafsir Perjanjian Baru dan penulis beberapa buku tentang tafsir dan tentang kekristenan. Artikel ini membahas salah satu buku Suharyo, Pengantar Injil Sinoptik[3], dalam tema tentang “keseimbangan antara ranah akademis dan ranah pastoral dalam model penafsiran Suharyo”. Materi yang termuat dalam buku tersebut berguna baik untuk keperluan akademis atau studi, maupun untuk keperluan pastoral atau pembinaan iman umat.
Bhanu Viktorahadi, penulis artikel ini, mengkaji dua persoalan terkait materi dan model pembelajaran yang dipraktikkan Suharyo. Pertama, sejauh mana keselarasan atau kesesuaian materi ajar dan model pembelajaran yang dipraktikkan itu dengan dokumen-dokumen resmi Gereja terkait dengan penafsiran teks Kitab Suci dalam Gereja Katolik. Kedua, sejauh mana materi ajar dan model pembelajaran yang dipraktikkan itu memberikan sumbangan praktis-konkret untuk pembacaan teks Kitab Suci bagi Gereja Katolik secara umum.
Bagian paling awal dari buku teks Pengantar Injil Sinoptik telah memuat maksud dan tujuan yang selaras dengan prinsip-prinsip penafsiran teks Kitab Suci untuk Gereja Katolik sebagaimana terdapat dalam sejumlah dokumen resmi Gereja Katolik. Dalam pengantar, Suharyo juga menyampaikan harapannya, yaitu semoga tulisan itu dapat menjadi salah satu sumbangan, meski kecil sekalipun, dalam usaha semakin memerankan Kitab Suci dalam kehidupan umat beriman. Dua ranah yang senantiasa menjadi konteks dalam penafsiran Gereja tidak pernah dapat dipisahkan secara tegas, yaitu ranah akademis dan ranah pastoral. Berikut akan disampaikan (1) beberapa dokumen Gereja terkait aktivitas menafsir teks-teks Kitab Suci serta (2) praksis, aktualisasi dan seni pembacaan Kitab Suci.
- Dokumen Gereja Terkait Aktivitas Menafsir Teks-Teks Kitab Suci
a) Konstitusi Dogmatik Tentang Wahyu Ilahi Dei Verbum (1965)
Konsili mendesak supaya semua umat beriman melakukan pembacaan Kitab Suci secara pribadi sebagai seorang beriman. Tujuannya, supaya mereka bisa sampai pada pengenalan yang lebih mendalam akan pribadi Yesus Kristus. Konsili juga menjelaskan bahwa pembacaan Kitab Suci dalam ranah Pastoral dilakukan dalam dua cara. Pertama, konteks liturgi. Kedua, konteks doa atau olah rohani. Pentingnya keseimbangan antara membaca teks Kitab Suci secara akademis dengan membaca teks Kitab Suci secara pastoral. Pembacaan secara akademis menjadi dasar bagi pembacaan secara pastoral atau rohani. Sebaliknya, pembacaan secara pastoral atau rohani menjadi aktualisasi sekaligus relevansi pembacaan teks Kitab Suci secara akademis.
b) The Interpretation of the Bible in the Church (IBC 1993)
Pengafsiran atau eksegese Katolik tak memiliki metode penafsiran yang eksklusif. Eksegese Katolik selalu bertitik tolak dari dasar historis kritis yang bebas dari prasangka-prasangka filosofis atau hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran iman. Oleh karena itu, eksegese Katolik memanfaatkan dengan sebaik-baiknya semua metode yang ada dengan mencari di dalam tiap-tiap metode tersebut ‘benihbenih sabda’.
Dokumen Providentissimus Deus menyampaikan sikap tegas itu dengan menyatakan bahwa sarana mempertahankan diri yang pertama didapatkan adalah dengan mempelajari bahasa-bahasa kuno dari Timur dan juga pelaksanaan kritik. Dokumen Divino Afflante Spiritu, menegaskan pentingnya memiliki pengetahuan yang adekuat atas bahasa-bahasa teks Kitab Suci supaya Gereja sanggup mempertahankan diri dari aneka macam serangan. Kedua ensiklik menolak pemisahan antara yang manusiawi dan yang Ilahi. Selain itu, kedua ensiklik juga menolak pemisahan antara penelitian ilmiah dan penghargaan terhadap iman serta pemisahan antara makna sastrawi dan makna rohani. Dengan demikian, keduanya sungguh-sungguh berada dalam harmoni yang sempurna dengan misteri inkarnasi.
c) The Jewish People and their Sacred Scripture in the Christian Bible (JPPS 2003)
Dokumen ini bermaksud memajukan hubungan dekat antara Gereja Katolik dengan Yudaisme sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II. Semangat ini terumus dalam Pernyataan Konsili Vatikan II tentang hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristiani, Nostra Ætate. Dokumen Nostra Ætate menyadari sedemikian besar pusaka rohani yang diperoleh sebagai warisan bersama umat Kristiani dan bangsa Yahudi.
d) The Inspiration and Truth of Sacred Scripture (ITSS 2014)
Dokumen ini menjelaskan bahwa inspirasi dan kebenaran Kitab Suci dipahami dalam proses bahwa Sabda itu berasal dari Allah dan disabdakan oleh Allah untuk keselamatan manusia dan dunia. Diharapkan dengan menyadari Kitab Suci sebagai inspirasi dan sumber kebenaran iman, umat bisa menyambut dan menerima Sabda Allah dalam semua kandungan teologis, kristologis, soteriologis, dan eklesiologis sesuai dengan konteks di mana teks Kitab Suci itu dibaca dan ditafsirkan.
2. Praksis, Aktualisasi dan Seni Pembacaan Kitab Suci
Kitab Suci itu terbuka (open-ended). Oleh karena itu, supaya maknanya dapat ditarik Kitab Suci harus ditafsirkan. Jika tidak ditafsirkan, seseorang tidak melakukan apa pun dengan menggunakan teks Kitab Suci. Tidak mungkin seseorang melakukan yang disampaikan Kitab Suci tanpa menafsirkannya. Dalam menafsirkan teks Kitab Suci, pertama-tama seseorang harus menggali dan menemukan maknanya untuk dinamika kehidupan saat ini, di tempat ini, dan untuk orang-orang di zaman ini.
Suharyo tidak hanya menunjukkan sikap tegasnya dalam mengarahkan penafsiran teks-teks Kitab Suci supaya selaras dengan Magisterium Gereja. Ia juga sangat memperhatikan substansi dari masing-masing kitab yang diuraikannya dalam buku teks. Ia merancang dan membangun sistematika yang membantu pembaca, baik kaum akademisi maupun umat pada umumnya supaya memeroleh pengetahuan komprehensif dari kitab yang diuraikan dan dijelaskannya itu. Pembacaan secara akademis menjadi dasar bagi pembacaan secara pastoral atau rohani. Sebaliknya, pembacaan secara pastoral atau rohani menjadi aktualisasi sekaligus relevansi pembacaan teks Kitab Suci secara akademis. Menjaga keseimbangan antara yang pastoral dan yang akademis adalah sebuah seni pembacaan Kitab Suci.
Davis dan Hay menguraikan seni membaca Kitab Suci secara Kristiani ini dalam sembilan butir. Pertama, dengan jujur Kitab Suci mengisahkan tindakan Allah dalam menciptakan, menghakimi, dan menyelamatkan dunia. Kedua, Kitab Suci harus dipahami secara benar dalam terang ajaran iman Gereja sebagai narasi dramatis yang koheren dari Allah Tritunggal. Ketiga, penafsiran yang setia dari Kitab Suci membutuhkan komitmen terhadap keseluruhan narasinya. Yang dimaksud adalah bahwa Perjanjian Baru tidak dapat dipahami dengan benar tanpa adanya pemahaman komprehensif akan Perjanjian Lama. Kondisi sebaliknya juga berlaku. Perjanjian Lama tidak dapat dipahami tanpa pemahaman komprehensif akan Perjanjian Baru. Keempat, makna teks-teks Kitab Suci terus terbuka. Artinya, tidak ada makna tunggal yang bersifat terbatas yang hanya dimi liki penulis aslinya. Sesuai dengan tradisi Yahudi dan Kristen, ditegaskan bahwa Kitab Suci memiliki banyak pemahaman yang bersifat kompleks seturut dengan dinamika kehendak Allah sebagai penulis seluruh drama Kitab Suci tersebut. Kelima, empat Injil kanonik mengisahkan kebenaran tentang Yesus. Keenam, penafsiran yang setia dari teks Kitab Suci mengundang dan mengandaikan partisipasi dalam komunitas yang diwujudkan melalui tindakan penebusan yang dilakukan Allah dalam dan melalui Gereja. Ketujuh, orang-orang kudus (santo-santa) Gereja memberikan bimbingan untuk menafsirkan dan melakukan Kitab Suci secara tepat dan pantas. Kedelapan, setiap orang beriman Kristiani harus membaca Kitab Suci dalam semangat dialog dengan orang lain (terutama dengan orang-orang Yahudi). Kesembilan, Gereja hidup dalam ketegangan antara kondisi sudah dan belum dari kerajaan Allah. Konsekuensinya, Kitab Suci memanggil Gereja untuk terus-menerus melakukan diskresi atas teks-teks Kitab Suci dalam terang karya Roh Kudus terkait dinamika kehidupan sedang berlangsung di dunia saat ini
Menurut peninjau, model penafsiran Suharyo yang berpijak pada tradisi gereja dan menjaga keseimbangan antara yang pastoral dan akademis adalah model yang benar dan sangat bermanfaat untuk umat beriman tatkala membaca Kitab Suci karena menjaga ortodoksi dan ortopraksi secara seimbang. Terlebih lagi, semangat menolak anti-semitisme, mendorong umat beriman untuk menghargai dan berdialog dengan tradisi Yahudi sebagai akar agama Kristen. Perspektif Katolik ini menyadarkan umat Kristen untuk menolak anti-semitisme dan mulai membaca Kitab Suci, terutama Perjanjian Lama, secara dialogis dengan tradisi Yahudi.
Jurnal Ketiga:[4] Roh Kudus dan Good Governance dalam Konteks Gereja Pentakostal-Karismatik
Beberapa cerita miring tentang kehidupan para pemimpin rohani gerejagereja Pentakostal-Karismatik dalam gaya hidup, penggunaan uang, dan harta kepemilikan gereja telah menjadi sorotan publik secara luas dan hal ini bukan suatu rahasia lagi. Perseteruan mengenai aset harta gereja, siapa yang berkuasa mengatur keuangan gereja, penentuan regenerasi kepemimpinan selanjutnya yang menguasai aset gereja, distribusi atau penguasaan income atau laba gereja, dan berbagai problem keuangan lainnya menjadi cerita yang tidak pernah selesai dan sering kali terulang dalam sejarah gereja-gereja Pentakostal-Karismatik. Hal-hal ini menjadi bagian-bagian dari sisi gelap kepemimpinan Pentakostal-Karismatik.
Untuk mengatasi sisi gelap ini, dalam tulisannya yang lain,[5] Minggus menawarkan model socialized charismatic leadership dengan konsep teologis tentang gereja (ekklesia) sebagai tubuh Kristus dan persekutuan Roh Kudus. Model socialized charismatic leadership didasari oleh perilaku pemimpin yang egaliter; pemimpin yang melayani kepentingan bersama; dan pemimpin mengembangkan serta memberdayakan pengikut-pengikutnya. Kepemimpinan dalam konteks ekklesia sebagai tubuh Kristus dan persekutuan Roh mengajarkan untuk lebih memperhatikan kelompok-kelompok kecil yang paling lemah, yang kurang terhormat, yang tidak elok, dan yang tidak diperhitungkan, karena semua anggota terikat dalam kesatuan tubuh Kristus dan persekutuan Roh Kudus.
Dalam tulisannya kali ini, untuk mengatasi sisi gelap ini, Minggus menawarkan konsep good governance. Salah satu pertanyaan pokoknya adalah “Bagaimana teologi mengenai karya dan pengalaman bersama Roh Kudus dapat dihubungkan dengan konsep good governance?” Adapun tesis Minggus sendiri berkaitan dengan pertanyaan itu adalah “bahwa pelaksanaan good governance sangat penting untuk mengatur kehidupan organisasi gereja gereja Pentakostal-Karismatik yang menekankan karya dan pengalaman bersama Roh Kudus sebagai upaya pertanggungjawaban dalam mengatur kehidupan gereja yang sehat dan benar.” Penulis mengusulkan untuk mengambil beberapa bagian secara selektif mengenai prinsip-prinsip good government untuk diaplikasikan dalam konteks teologi Pentakostal-Karismatik yang menekankan karya dan pengalaman bersama Roh Kudus.
Beberapa prinsip good governance yang diambil secara selektif adalah sebagai berikut: pertama, prinsip partisipasi. Artinya memberikan ruang setara baik untuk laki-laki maupun perempuan dalam memberikan suara untuk pengambilan keputusan atau konsensus bersama baik secara langsung maupun melalui perwakilan mereka. Hal ini didasari pada kebebasan berkumpul dan berbicara sesuai kapasitas mereka secara konstruktif yang bertujuan untuk menciptakan dan mengaktualkan visi bersama. Prinsip kedua yaitu akuntabilitas, yang menekankan segi tanggungjawab secara publik atau tanggungjawab pemangku kepentingan atas tugas-tugas yang diemban oleh orang-orang yang menerapkan good governance. Prinsip kedua ini juga terkait dengan transparansi informasi yang dapat diakses dan terbuka untuk dimonitor oleh orang-orang yang berkepentingan. Prinsip ketiga terkait nilai-nilai otoritas yang mendemonstrasikan good governance melalui mendukung standar-standar utama tindakan dan perilaku etis seperti anti-korupsi, adil, ugahari, jujur, melawan ketamakan diri dan seterusnya.
Persoalan yang sering muncul dalam gereja-gereja Pentakostal-Karismatik yang dapat menjadi kendala bagi good governance adalah sistem pemerintahan gereja yang berfokus kepada figur seorang pemimpin rohani yang membuat keputusan-keputusan pengaturan aset dan keuangan gereja yang bertumpu kepadanya. Para pemimpin rohaninya yang terjebak ke dalam model personalized charismatic leadership berakibat mudah berfokus pada kepentingan, kekuasaan, perluasan kekuasaan diri pemimpin dan bahkan acapkali bersikap eksploitatif. Model personalized charismatic leadership sangat sedikit sekali memberikan ruang bagi partisipasi yang lainnya entah itu melalui perwakilan jemaat ataupun jemaat sendiri. Prinsip akuntabilitas yang mengedepankan tanggungjawab secara publik acapkali dengan mudahnya diabaikan. Pendapatan besar yang bertumpu kepada para pemimpin rohani atau pendiri biasanya diikuti dengan minimnya laporan transparansi kepada publik (baca: jemaat). Itu riskan sekali terjadinya korupsi dan penggunaan uang untuk kepentingan sendiri. Gaya hidup mereka pada akhirnya berlawanan dengan nilai-nilai otoritatif yang mengedepankan tindakan dan perilaku etis seperti sikap adil, ugahari, jujur, melawan ketamakan diri dan seterusnya. Akibatnya dalam gereja-gereja yang seperti dipaparkan di atas ini sulit tercapai good governance.
Roh Kudus adalah Roh yang menciptakan suatu komunitas persekutuan bersama yang memberi ruang bagi partisipasi yang luas untuk semua orang percaya, baik laki-laki maupun perempuan (Kis. 2:17; 2Kor. 13:14; Fil. 2:1). Partisipasi bersama yang solider dan setiakawan akan mewujudkan kesejahteraan lebih luas termasuk dalam kehidupan ekonomi dan di dalamnya keadilan income atau laba. Sistem struktur gereja yang mengikuti dinamika karya Roh Kudus akan membuka diri dalam kebersamaan dengan tujuan untuk pembaruan dan pembangunan kesejahteraan bersama sebagai manifestasi bahwa mereka terikat dalam suatu persekutuan Roh. Segala perbuatan kegelapan yang tersembunyi dengan agenda berpusat pada model diri atau sekelompok orang saja akan enyah dalam terang hidup yang akuntabel dan transparan yang terbuka untuk dikritik dan dikoreksi secara konstruktif dalam konteks kehidupan persekutuan Roh. Prinsip-prinsip hidup yang partisipatif dan akuntabel, juga di dalamnya transparan adalah tuntutan bagi sebuah organisasi untuk terciptanya good governance. Prinsip-prinsip ini juga merupakan buah-buah Roh selain yang disebut dalam Galatia 5:22-23. Perilaku-perilaku yang tidak adil, glamour, culas, dan tamak atau serakah adalah perbuatan daging yang bertentangan dengan karya Roh Kudus (Gal. 5:19- 21). Karya dan pengalaman bersama Roh Kudus tidak saja terkait dengan kehidupan rohani dan karunia-karunia rohani dalam kehidupan pribadi orang percaya perorangan dan komunal, tetapi juga terkait dengan kesalehan sosial dan dosa sosial. Artinya Roh Kudus mentransformasi kehidupan orang percaya dan komunal untuk menyatakan karya-karya dalam konteks kehidupan sosial yang luas misalnya perlawanan terhadap dosa-dosa sosial seperti korupsi, keserakahan, ketidakadilan, totalitarian, dehumanisasi dalam segala bentuk, dan seterusnya.
Menurut peninjau, tawaran kepada model kepemimpinan yang socialized dan model kepemerintahan yang good governance adalah baik, baik dari sisi organisasional maupun dari sisi teologis. Dari sisi organisasional, prinsip partisipasi, akuntabilitas-transparansi dan otoritas keadilan membuat sebuah organisasi sehat. Dari sisi teologis, hidup berbagi dalam keberpihakan kepada yang kecil adalah bukti hadirnya kuasa dan pimpinan Roh Kudus. Yang menarik dari tulisan Minggus adalah bahwa tawaran yang dia ajukan ini bukanlah hal yang abstrak. Tawaran ini konkret, bisa dan sudah dipraktikkan oleh seorang pendeta yang bernama Tan Hok Tjoan, pendiri Gereja Isa Almasih. Tan Hok Tjoan menerapkan model kepemimpinan yang socialized atau kepemimpinan jamak. Segala pengaturan keuangan gereja diatur dalam kepemimpinan jamak yang partisipatif, dan akuntabel dan transparan melalui koreksi dan pengawasan bersama dengan majelis
Jurnal Keempat:[6] Apakah Keilahian Yesus merupakan Ciptaan Paulus?: Penyelidikan terhadap Tradisi Gereja Purba dalam Surat Paulus
Salah satu dari tiga pertanyaan besar yang diajukan para sarjana mengenai awal mula kekristenan adalah: Apakah kekristenan yang muncul di abad kedua sebagai agama non-Yahudi, secara esensial sama seperti versi abad pertamanya ataukah secara signifikan berbeda jenisnya? Pertanyaan ini muncul sehubungan dengan tuduhan dari orang-orang tidak percaya bahwa kekristenan pada saat ini telah menyimpang jauh dari ajaran Yesus. Tokoh yang dituduh membelokkan ajaran Yesus ini adalah Paulus.
William Wrede memberi label pada Paulus sebagai “the second founder of Christianity.” Wilhelm Bousset berpendapat asal mula Kristologi Paulus adalah agama helenistik sedangkan menurut Richard Reitzenstein berasal dari Gnostisisme. Hyam Maccoby menyebut Paulus adalah seorang petualang dan pengkhayal terbesar yang mendirikan kekristenan. Dengan dipengaruhi ide pemikiran dan agama-agama misteri Yunani, Paulus menemukan mitos keilahian Yesus, penebusan Yesus, dan perjamuan kudus. Paulus adalah kaum marjinal di dalam Yudaisme, seorang pemikir Helenis yang cermat yang kemudian menafsirkan Yesus di dalam kerangka pemikiran Yunani dan Gnostisisme sehingga sukses menciptakan seorang “Yesus” yang adalah produk imajinasi religius dan filosofisnya yang aneh, seorang “Yesus” yang adalah cult-god. Menurut A. N. Wilson, Paulus telah mengimplantasi ide mesianik Yahudi ke dalam konsep ilah-ilah non-Yahudi dan menghasilkan figur Mesias mistik yang adalah hasil kejeniusan pemikiran Paulus sendiri. Ia mengatakan Paulus telah mendistorsi injil yang diberitakan Yesus dan menyulapnya menjadi kultus baru yang aneh bernama Cross-tianity.
Dari pemaparan di atas terlihat bahwa hal yang paling kontroversial mengenai isu hubungan Paulus dan Yesus ini adalah konsep keilahian Yesus. Yesus dianggap tidak pernah memandang diri-Nya sedemikian tinggi sehingga setara dengan Allah, melainkan hanya sebagai seorang nabi Yahudi penganut Yudaisme yang mengajak orang Yahudi untuk kembali menyembah YHWH. Paulus dianggap telah mengubah Yesus menjadi Kristus, Tuhan dan Anak Allah yang setara dengan Allah. Ia dituduh telah mengubah agama Yesus menjadi agama tentang Yesus. Ini masalah pokok yang ingin dibahas di dalam artikel ini: Apakah konsep keilahian Yesus dari Paulus merupakan ciptaannya sendiri atau berbasiskan tradisi gereja purba? Pertanyaan ini akan dijawab dengan menyelidiki tradisi-tradisi gereja purba yang terdapat di dalam surat-surat Paulus.
Di dalam surat-suratnya, Paulus banyak mengutip atau mengacu kepada tradisi gereja purba. Ada beberapa petunjuk literer yang dapat menjadi indikasi adanya pengutipan tradisi. Petunjuk secara tata bahasa adalah: pertama, penggunaan formula tradisi (paralambanw [menerima] dan paradidomi [menyampaikan]); kedua, penggunaan o`ti recitativum yang mengawali sebuah kutipan; ketiga, penggunaan konstruksi partisip atau sebuah klausa relatif untuk memperkenalkan materi tradisi; keempat, adanya struktur paralel (parallelismus membrorum) yang mencerminkan kaidah puisi Yahudi; kelima, lebih memilih pemakaian partisip daripada finite verbs yang mengindikasikan materi itu berasal dari sumber oral dan bukan bagian dari lingkup literer di mana materi itu muncul sekarang; keenam, sering menggunakan kata ganti relatif o`j (“who”) untuk memulai perikop. Pada bagian berikutnya akan diselidiki beberapa perikop dari surat Paulus yang mengandung tradisi mengenai keilahian Yesus.
- Roma 1:3-4
Di dalam kedua ayat ini terdapat formula tradisi gereja purba—himne atau kredo—pra-Paulus. Yesus yang dimengerti Paulus berdasarkan tradisi gereja purba di bagian ini adalah Anak Allah yang di dalam praeksistensinya memiliki relasi khusus dengan Allah, menjadi manusia sebagai Mesias dari keturunan Daud, dan pada saat kebangkitanNya, diangkat oleh Allah pada posisi, status dan otoritas yang baru sebagai Tuhan yang berotoritas atas seluruh ciptaan, untuk menggenapi rencana keselamatan Allah bagi Israel.
2. 1 Korintus 15:3-5
Paulus menulis 15:3-5 sebagai bagian pertama dari argumentasinya yang tujuannya bukan untuk membuktikan terjadinya kebangkitan Kristus melainkan untuk menegaskan kembali kredo gereja purba. Pemahaman Paulus tentang Yesus yang berdasarkan tradisi gereja purba di bagian ini adalah Mesias yang menggenapi rencana keselamatan Allah bagi umat manusia dengan mati menebus dosa-dosa umat manusia, dan dibangkitkan oleh Allah yang kemudian menaklukkan segala sesuatu di bawah kekuasaan Sang Mesias sebagai Raja penguasa jagat raya ini
3. 1 Korintus 8:4-6
Paulus mengadaptasi formula kredo gereja purba sebelum dia. Adanya penggunaan tradisi monoteistik dan Shema Yahudi oleh gereja purba yang secara aklamasi mengakui Yesus sebagai Tuhan dan, mengasosiasikannya secara eksklusif dengan Allah yang esa dari PL dan tradisi Yahudi, sebagai agen Allah yang unik. Konteks tradisi kredo ini adalah liturgi dari praktik devosi gereja purba yang kemungkinan berlatar belakang Yahudi Helenistik. Berdasarkan tradisi gereja purba, Paulus memahami Yesus sebagai Tuhan yang keberadaan-Nya setara dengan YHWH, Allah Israel yang esa. Melalui Yesus—Sang Hikmat dan Firman, Allah melaksanakan karya penciptaan alam semesta dan karya penebusan orang-orang percaya.
4. Filipi 2:6-11
Kemungkinan besar latar belakang yang paling tepat untuk perikop ini adalah Hamba YHWH dalam Yesaya 40-55 yang dilihat Paulus dan gereja purba telah digenapi di dalam diri Yesus. Kebanyakan penafsir mengasumsikan perikop ini sebagai himne atau nyanyian gereja purba yang dipakai dalam liturgi ibadah gereja purba dan berisi tradisi kredo gereja purba mengenai keilahian Yesus. Paulus memahami Yesus, yang setara dengan Allah dari sejak kekekalan, menunjukkan keilahian-Nya yang sejati bukan dengan menggunakannya untuk kepentingan diri sendiri, melainkan melihatnya sebagai tugas untuk memenuhi rencana keselamatan Allah dengan cara merendahkan diri-Nya menjadi manusia dan taat sampai mati di kayu salib. Paulus melihat alasan Allah sangat meninggikan Yesus dengan memberi-Nya nama Allah dan otoritas yang setara dengan Allah adalah karena Allah sendiri mengakui bahwa apa yang telah Yesus lakukan mengekspresikan keilahian yang sejati.
5. Roma 10:9-10
Di 10:9 Paulus mengutip dua formula tradisi kredo gereja purba yang dengan aklamasi mengakui “Yesus adalah Tuhan” dan bahwa “Allah membangkitkan Dia dari antara orang mati.” Paulus memahami Yesus, yang telah dibangkitkan Allah dari kematian, sebagai Tuhan yang telah menggenapi hukum Taurat sehingga Ia menjadi jalan satu-satunya bagi manusia untuk memperoleh pembenaran (status benar) di hadapan Allah dengan cara memiliki sikap hati percaya kepada-Nya sebagai Tuhan yang patut menerima segala kasih, hormat, kesetiaan dan ketaatan dari manusia.
6. 1 Korintus 16:22
Formula berbahasa Aram ini jelas adalah tradisi dari kekristenan Yahudi yang sangat awal atau tua karena berbahasa Aram. Tradisi ini digunakan dalam perjamuan kudus dan berbentuk sebuah doa yang ditujukan kepada Yesus untuk memohon kehadiran-Nya di dalam ibadah tersebut dan juga mengharapkan kedatangan-Nya secara eskatologis. Pemahaman Paulus tentang Yesus sebagai Tuhan bukan hasil ciptaannya sendiri, melainkan berdasarkan pada tradisi gereja purba.
7. Roma 8:15 dan Galatia 4:6
Kemungkinan besar formula “ya Abba, ya Bapa” ini berasal dari tradisi doa yang biasa diucapkan dalam liturgi ibadah gereja purba dan juga dipakai dalam upacara pembaptisan yang paralel dengan pembaptisan Yesus dalam injil. Paulus memahami Yesus sebagai Anak Allah yang memiliki relasi khusus dengan Allah dan ke-Anak-an Yesus itu memungkinkan orang yang percaya di dalam Yesus untuk menjadi anak-anak Allah yang juga memiliki relasi intim dengan Allah.
Konsep Paulus mengenai keilahian Yesus diperoleh dari tradisi gereja purba yang dikutipnya dalam surat-suratnya sebab tradisi tersebut telah menjadi semacam sumber pemikiran atau prasuposisi teologis yang dipakainya untuk menjawab permasalahan jemaat yang sedang dihadapinya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep Paulus mengenai keilahian Yesus adalah berdasarkan tradisi gereja purba, bukan hasil ciptaannya sendiri.
Peninjau setuju dengan pendapat penulis bahwa konsep Paulus mengenai keilahian Yesus adalah berdasarkan tradisi gereja purba. Dan dari beberapa perikop dari surat Paulus yang dibahas, tampak bahwa tradisi gereja itu berakar pada Taurat, bahasa dan kebudayaan Yahudi. Justru karena berakar pada keyahudian, Paulus sampai pada kesimpulan akan keilahian Yesus.
Jurnal Kelima:[7] Media Sosial Sebagai Ruang Sakral: Gereja yang Bertransformasi bagi Perkembangan Spiritualitas Generasi Z dalam Era Digital
Generasi Z adalah generasi pertama yang dilahirkan ke dalam kehidupan di mana teknologi internet sudah ada. Generasi Z lahir di dunia digital dengan teknologi lengkap, seperti ponsel, perangkat gaming dan internet. Mereka menghabiskan waktu luang mereka untuk menjelajahi web. Gen Z lebih suka tinggal di dalam ruangan untuk bermain online daripada pergi keluar dan bermain di luar ruangan, seperti melakukan permainan-permainan tradisional. Yang pastinya generasi Z merupakan pengguna aktif sosial media, mereka sering membagikan pengalaman atau kegiatan sehari-harinya di media sosial yang dimiliki. Kita ketahui bahwa media sosial sebagai kumpulan perangkat lunak yang memungkinkan individu maupun komunitas untuk berkumpul, berbagi, berkomunikasi dan dalam kasus tertentu saling berkolaborasi atau bermain.
Bagaimana dengan perkembangan spiritualitas generasi Z? Peter Menconi menjelaskan dalam bukunya The Intergenerational Church, bahwa mayoritas generasi Z masih percaya kepada Tuhan dengan tekanan pada spiritualitas, bukan pada organisasional. Generasi Z sudah tidak rutin lagi beribadah di gereja dan bahkan meninggalkan gereja. Pandangan mereka tentang Tuhan tidak hanya pasca-modern tetapi juga pasca-Kristen, yaitu banyak generasi Z merangkul pemahaman pluralistik tentang Tuhan dan spiritualitas yang memberi ruang bagi banyak ekspresi valid yang menjadi keyakinan dan berpikir rasional yaitu banyak jalan menuju Tuhan.
Pada masa kini, kita juga sering berpikir dan masih mengakui bahwa ruang sakral hanyalah ruang keagamaan, seperti gedung gereja atau tempat-tempat ibadah yang digunakan sebagai tempat ibadah, berdoa, bernyanyi atau diskusi berbaur kerohanian. Yang satu sakral sedangkan yang lain tidak. Pemikiran yang mendikotomi antara sakral dan tidak sakral ini sudah tidak relevan untuk generasi Z yang sudah meninggalkan gereja dan hidup dalam ruang media sosial. Gereja perlu bertransformasi yaitu terbuka terhadap teknologi dan memanfaatkan ruang digital atau media sosial sebagai ruang sakral.
Yang suci tidak dapat dikurung hanya di dalam biara, tetapi harus tersedia di mana saja dan bagi siapa saja di dalam kehidupan. Pemahaman ini mengurangi dikotomi antara yang sakral dan yang sekuler, spiritual dan duniawi. Kita perlu melepaskan klasifikasi biner dan dikotomis kita sebagai anggota atau bukan anggota, berafiliasi atau tidak, nyata atau virtual, dan beralih ke pendekatan yang lebih berjaringan, mengakui bahwa orang-orang terhubung dan menjadi bagian dari gereja-gereja kita dalam berbagai cara. Kita perlu sadar, “jemaat,” bukan hanya mereka yang menghadiri ibadah pada hari minggu pagi, tetapi siapa saja yang tinggal di dalam jejaring media sosial yang ada.
Lingkungan bukan hanya yang ada dalam dunia nyata, tetapi juga adalah platform media sosial jaringan, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Keith Anderson, dalam bukunya The Digital Cathedral, menyarankan para pemimpin gereja tidak hanya sibuk mengurusi pekerjaan di dalam dan antar gereja, tetapi juga harus bersedia melihat keluar dari gedung gereja. Yang “sakral” dapat juga kita lakukan dengan menggunakan media sosial, menelusuri Instagram, Facebook, Twitter, Whatsapp yaitu melakukan percakapan di lingkungan sekitar. Dengan media sosial gereja dapat membagikan injil, sharing, berdiskusi dengan siapa saja juga dengan komunitas.
Pada masa kini, fungsi media sosial sangat mirip dengan sebuah katedral. Katedral adalah tempat di mana banyak orang biasanya melakukan kegiatan ritual ibadah keagamaan. Media sosial dapat menyediakan ruang yang serupa untuk berbagi iman satu sama lain. Media sosial juga dapat berfungsi sebagai katedral. Oleh sebab itu, perjumpaan antar umat tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Tuhan bukan hanya melulu tinggal di gedung gereja dan kita hanya menemukan-Nya disana. Tetapi Tuhan dapat kita temukan di luar gedung gereja seperti di jalan, dunia digital yaitu media sosial sebagai ruang suci untuk kenyamanan, kasih sayang, dan doa.
Dari penjelasan di atas, kita bisa melihat bahwa melakukan pelayanan ibadah bukan melulu di dalam gereja, tetapi di mana saja, bisa di luar gedung, di jalan, di pasar, di kafe juga media sosial. Walau demikian, bukan berarti jadi meninggalkan gedung gereja atau meniadakan tatap muka, sebab keduanya saling berkaitan dan saling membutuhkan. Artinya, bahwa media sosial penting dan sakral tapi tidak juga melupakan tatap muka. Sebab jika hanya dengan media sosial itu tidaklah cukup, harus ada konkret. Virtual dan real harus balance.
Peninjau melihat bahwa paradigma jejaring atau relasional yang dikemukakan oleh penulis artikel ini sangat kontekstual dan mengena untuk generasi masa kini, generasi Z. Tempat sakral tidak bisa dipahami secara dikotomis-biner lagi, bahwa ini sakral itu profan. Yang sakral ada baik di dalam gedung gereja, maupun di luar gedung gereja seperti di jejaring media sosial. Tuhan hadir baik di dalam gereja maupun di jejaring media sosial. Hidup beragama tidak bisa dipahami secara eksklusif lagi seraya Tuhan itu hanya milik agama kita, tetapi secara pluralis bahwa Tuhan hadir juga dalam agama-agama lain. Kita beragama dalam relasi dengan mereka yang beragama lain, pasca-modern pasca-Kristen, being interreligious.
Jurnal Keenam:[8] Hospitalitas Pendidikan Kristiani dalam Masyarakat Majemuk
Alih-alih menjadi kekayaan yang mempersatukan, keberagaman identitas agama, tidak jarang digunakan sebagai alat pemisah. Potensinya seringkali disalahgunakan dalam praktik politik, yang tidak jarang berimplikasi pada penghinaan, penistaan, hingga tindakan yang tidak humanis. Sikap kemanusiaan menjadi sangat penting dalam memperlakukan orang yang dianggap berbeda identitas. Kasus kekerasaan atas nama agama tidak jarang berimplikasi pada sikap sadis yang tidak berperikemanusiaan.
Pendidikan Kristiani yang disampaikan atau diajarkan dalam konteks pluralitas menuntut kemampuan peserta didik menyikapi keberagaman yang ada di sekitarnya secara bijak. Pendidikan Kristiani yang dimaksud di sini tentunya bukan sekadar kurikulum yang diajarkan pada lingkup sekolah, melainkan juga di gereja dan keluarga, sehingga siapa pun yang menjadi penerima proses pendidikan ini akan memiliki sikap yang hospitalitas. Secara sederhana hospitalitas berarti “mengasihi orang asing sebagai sahabat”, atau “menyahabati orang asing.” Penulis, dalam artikel ini, menegaskan pentingnya dimensi hospitalitas pendidikan Kristiani dalam konteks hidup beragama di tengah pluralitas agama. Tesis pokoknya adalah, mengajarkan hospitalitas dalam pendidikan Kristiani merupakan hal yang sangat penting, supaya orang Kristen mampu menerapkan praksis hukum kasih secara menyeluruh, seperti yang ditegaskan melalui pengajaran Yesus dalam Lukas 10:25-37.
Istilah hospitalitas memang tidak secara eksplisit tertulis dalam Alkitab berbahasa Indonesia, melainkan menggunakan frasa “memberikan tumpangan”, yang dalam beberapa teks berbahasa Inggris, seperti KJV, NAS, dan NIV, menggunakan kata hospitality (Rm. 12:13; 1Tim. 3:2; Tit. 1:8; 1Pet 4:9). Kata yang diterjemahkan hospitality dalam bahasa Yunani memberikan penekanan yang tidak sekadar memberikan tumpangan. Kata philoxenia yang oleh KJV, NAS, dan NIV diterjemahkan hospitality, sejatinya menekankan pada dua kata yang mebentuk kata tersebut; philo (mengasihi) dan xenia (orang asing), yang pada akhirnya menjadi kata kunci dalam hospitalitas. Lukas 10:25-37 pun tidak memperlihatkan penggunaan kata itu secara literal, namun narasi Yesus pada teks tersebut memberikan penegasan kata “sesamamu” sebagai sikap dan praksis hospitalitas. Narasi yang menyajikan tokoh “asing”, yang terluka akibat aniaya perompak, tidak mendapatkan perhatian oleh dua tokoh yang mewakili kaum agamis, namun justru mendapatkan pertolongan dari seorang yang selama ini “diasingkan” oleh kaum agamis, bahkan orang Israel secara umum, yang notabene adalah pendengar Yesus pada saat itu. Tidak dijelaskan siapa yang menjadi korban dalam narasi tersebut, karena pada titik inilah hospitalitas dimengerti, yakni ketika unsur “asing” hadir dan menuntut perlakuan.
Identitas asing pada narasi hospitalitas, dalam Lukas 10:25-37, menegaskan tentang bagaimana melakukan kasih dan kebaikan kepada orang lain haruslah bersifat satu arah. Maksudnya, perilaku kasih itu tidak mempertimbangkan kepada siapa itu dilakukan, namun untuk atau demi apa hal itu dilakukan. Mengasihi orang asing, atau mengerabatinya, merupakan sebuah indikator, bahkan parameter, seseorang melakukan Hukum Kasih secara total. Inilah yang ditegaskan Yesus dalam narasi Lukas 10:25-37 tentang “Siapakah sesamamu?” Artinya, “sesamamu” bukanlah orang yang dikenal, apalagi dikenal sangat baik; bahkan, bukan orang yang disukai atau disenangi, karena untuk semua itu sikap hospitalitas menjadi bias. Sekali lagi, kata kunci “yang asing” menjadikannya berbeda dengan sikap kasih atau mengasihi.
Hospitalitas memberikan tempat bagi semua orang, yang asing sekalipun, menjadi sahabat, atau objek dalam kasih. Pendidikan Kristiani sejatinya merupakan pendidikan yang memberi ruang bagi “orang asing”, karena di dalam pendidikan Kristiani kasih menjadi dasar dalam mengajarkan iman Kristen. Ruang itu bukanlah tempat untuk yang asing menjadi sama, atau menjadi Kristen, namun menjadi objek kasih tanpa harus mempertimbangkan identitasnya.
Peninjau setuju dengan tawaran hospitalitas dalam agama Kristen, bukan hanya karena sifatnya yang kontekstual tapi juga alkitabiah. Konteks Indonesia yang plural membutuhkan perekat persatuan yang ada dalam hospitalitas. Alkitab memberi keradikalan dalam hospitalitas pada rasa ke-asing-annya. Hospitalitas adalah perbuatan kasih tanpa pamrih kepada yang asing. Kasih satu arah yang tidak berharap meminta imbalan. Di sini, kasih bukanlah alat mengkristenkan orang lain. Mengasihi dengan harapan orang asing itu masuk ke agama Kristen adalah kasih yang meminta imbalan.
Menurut peninjau, hospitalitas bukanlah penghayatan iman Kristen yang lemah. Hospitalitas menegaskan komitmen iman yang kuat dan pada saat bersamaan terbuka untuk “mengasihi orang asing sebagai sahabat”, atau “menyahabati orang asing”. Komitmen dan terbuka perlu ditekankan dalam pendidikan Kristen. Dengan demikian, anak didik selalu belajar dan menghargai perbedaan. Hospitalitas pendidikan Kristiani memberikan ruang totalitas dalam mengasihi sesama.
Jurnal Ketujuh:[9] Fakta El Gibor Dalam Kisah Gideon dan Pergumulan Kaum Miskin Asia : Suatu Konstruksi Teologi Kontekstual Asia
Ada empat langkah yang dilakukan penulis artikel ini dalam rangka berteologi kontekstual di Asia dengan fokus pada realitas kemiskinan Asia. Pertama, mendeskripsikan pergumulan kaum miskin Asia. Kedua, mengeksegesis fakta El Gibor dalam kisah Gideon dalam kaitannya dengan pergumulan kemiskinan. Ketiga, mereduksi kedua data tersebut sehingga dapat membangun konstruksi teologi kontekstual Asia. Dan keempat, menarik kesimpulan. Berikut adalah uraian singkat atas keempat langkah tersebut.
- Pergumulan Kaum Miskin Asia
Kemiskinan merupakan pergumulan sebagian besar rakyat Asia sampai hari Ini. Menurut Drewes dan Mojau dalam teologi dunia ketiga yaitu periode tahun 1960 sampai sekarang, kekristenan dalam konteks Asia diperhadapkan dengan masalah pergumulan orang miskin. Sudut pandang dari Drewes dan Mojou harus diakui sangat relevan kerena memang demikianlah realitas dari konteks Asia. Asia dengan 85 sampai 90% penduduk dunia yang miskin, adalah suatu benua dengan jumlah penduduk yang besar dan senantiasa terus bertambah.
Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah Indonesia sebagai sebuah negara. Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak‐anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan dikaitkan dengan keadaan seseorang yang tidak sejahtera atau serba kekurangan dalam kehidupan sosial ekonomi. Kaum miskin juga tergolong sebagai masyarakat marjinal yaitu buruh, petani miskin, nelayan, pedagang kecil, perempuan, anak-anak, masyarakat difable dan kaum miskin perkotaan.
Jika Yewangoe memahami kemiskinan sebagai penderitaan maka Koyama sebagaimana dikutip oleh Sugirtharajah memahami kemiskinan sebagai “rakyat yang dimeranakan.” Bagi Koyama kelimpahruahan dan suatu tingkat kemiskinan yang tidak manusiawi kini ada bersamasama di dalam dunia ini. Rakyat dimeranakan. Dimeranakan oleh kelaparan, siksaan, perampasan hak-hak; dimeranakan oleh penghisapan ekonomi, diskriminasi ras dan etnis, penindasan seksual; dimeranakan oleh kesepian, keterasingan dan perpecahan.
2. Pergumulan Kaum Miskin di Alkitab dalam Fakta El Gibor
Istilah El gibbowr terdiri dari dua kata: El dan gibbowr. Nama “El”, yang sangat mungkin berasal dari kata ul, berarti menjadi yang pertama, menjadi tuan, dan juga berarti kuat dan berkuasa. “El” adalah penyebutan tertua untuk Allah bagi bangsa Semit dan biasanya dihubungkan dengan pemimpin-pemimpin tertentu. Memang “El” semula dikenal sebagai Allah di atas allah (The Supreme God) atau Allah Maha Tinggi (The Most High God) dan dalam Alkitab Ibrani digunakan untuk menyebut Allah Israel. Menjadi lebih menarik karena “El” dalam tradisi Alkitab sering digunakan sebagai pengganti nama Yahweh. Gibborw adalah istilah ‘kemiliteran’ yang berarti pengawal yang perkasa, pasuken elit, prajurit perang yang menang dalam peperangan dan pahlawan yang menyelamatkan. El Gibbowr adalah gambaran tentang Tuhan sebagai pejuang perkasa dan Sang Juara. Dia selalu menang, memiliki kekuatan besar, dan otoritas atas semuanya.
Bangsa Israel dalam zaman Gideon mengalami penindasan dari orang-orang Midian dan Amalek seperti terlihat dari catatan Kitab Hakim-Hakim 6:1-6. Bangsa Israel menderita selama penindasan 7 tahun oleh orang-orang Midian dan Amalek. Israel mengalami ketakutan terhadap orang-orang Midian sehingga membuat tempat-tempat perlindungan di pegunungan yaitu di gua-gua dan kubu-kubu. Dalam narasi pun diperlihatkan jelas oleh penulis bahwa Gideon sebagai bagian dari Isarel juga mengalami ketakutan. Dikisahkan bahwa Gideon mengirik gandum di tempat pengirikan anggur agar tersembunyi bagi orang-orang Midian. Selain itu, penindasan dari orang-orang Midian terhadap bangsa Isarel menjadikan mereka sangat melarat. Kemelaratan yang disebabkan oleh karena penindasan dari orang-orang Midian, membuat bangsa Israel berseru kepada Tuhan sehingga diutuslah seorang nabi sebagaimana terlihat dalam kisah Gideon khususnya dalam Hakim-hakim 6:7-9. Dalam situasi kemelaratan bangsa Israel, ungkapan sang nabi mengingatkan tentang sejarah perbuatan Allah terhadap bangsa itu. Dalam kisah Gideon dewa yang ditaklukan oleh Allah adalah dewa Baal yaitu dewa badai yang merupakan dewa paling hebat dalam tradisi Kanaan (Hakim-Hakim 6: 25-40). penaklukan Baal oleh Allah Gideon sekaligus merupakan penaklukan terhadap Midian dan juga tindakan memerdekakan Bangsa Isarel dari kemelaratan.
3. Konstruksi Teologi Kontekstual Asia
Asia dan Israel zaman Gideon sama-sama mengalami pergumulan kemiskinan yang mencakup dimensi ekonomis, sosiologis, psikologis dan mesianis. Dalam dimensi ekonomis terlihat bahwa masalah kemiskinan menyebabkan mereka hidup dalam lingkaran ketidakberdayaan. Dalam dimensi sosiologis terlihat bahwa masalah kemiskinan menyebabkan terjadinya kelas sosial dimana kaum kaya memperbudak kaum miskin demi semakin bertambah kaya. Dalam dimensi psikologis dan mesianis terlihat bahwa masalah kemiskinan menyebabkan kaum miskin merasa terasing, menderita dan merana bahkan merasa tidak memiliki martabat. Keinginan untuk lepas dari situasi ini kemudian menyebabkan kaum miskin Asia hidup dalam harapan mesianis sebagai salah satu alternatif pembebasan mereka dari kemiskinan.
Manusia dalam konteks pergumulan kaum miskin Asia dan kemelaratan Israel zaman Gideon terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kaum tertindas dan kaum penindas. Dalam konteks kisah Gideon para penindas adalah orang-orang Midian dan Amalek sedangkan yang tertindas adalah orang Israel. Penganiayaan yang menyebabkan Isarel melarat didasarkan pada kenyataan bahwa mereka telah berbuat dosa, dan meninggalkan kasih Allah. Dalam konteks Asia kaum tertindas adalah kaum miskin Asia yaitu mereka yang sakit, terlantar, kelaparan, kaum buruh, para pekerja seksual, masyarakat kumuh, anak-anak jalanan dll. Kaum penindas dalam konteks Asia adalah kaum elit atau kaya yang demi mencapai kepentingan-kepentinganya rela memperdaya atau menindas kaum miskin. Kaum tertindas dan penindas merupakan bagian dari manusia yang memerlukan Kasih Allah.
Allah adalah Allah yang memperjuangkan nasib kaum miskin Asia. Sebagaimana El Gibore dalam kisah Gideon tampil sebagai Allah yang melepaskan bangsa Israel dari kemelaratan karena penindasan orang-orang Midian, maka tema tentang Allah sebagai pejuang kemiskinan menjadi sangat kontekstual dalam realitas Asia. Persoalannya, bagaimana menghadirkan Allah yang memperjuangkan nasib orang miskin Asia? Menghadirkan Allah yang demikian menjadi tugas dari setiap manusia yang sudah mendapatkan anugerah pengampunan dari Allah. Program-program misi dan pelayanan gereja harus bersifat holistik yang menyentuh kaum miskin Asia. Misalnya: pelatihan ekonomi kreatif, program bimbingan belajar, pembukaan sekolah bagi kaum miskin, pelayanan kesehatan bagi kaum miskin, bimbingan konseling diluar gereja, dll.
4. Kesimpulan
Allah yang memperjuangkan nasib orang miskin harus dihadirkan dalam realitas Asia yang miskin dengan program-program misi dan pelayanan Gereja yang bersifat holistik. Tindakan yang demikian sekaligus memanifestasikan kasih Allah bagi dua kelompok manusia, baik yang miskin maupun yang kaya.
Berteologi kontekstual berangkat dan berakhir pada praksis, bukan pada teori. Konstruksi teologi kontekstual memberi orientasi misi dan pelayanan gereja bersifat holistik, menyentuh pembebasan baik bagi kaum miskin maupun kaum kaya. Menarik bahwa penulis menawarkan adanya “pelatihan ekonomi kreatif” bagi kaum miskin. Menurut peninjau, persoalannya tidak sekedar “kreatif” karena “kreatif” dalam dominasi sistem kapitalisme belum bersifat membebaskan. Perlu adanya ekonomi alternatif yang berbeda dari sistem global kapitalisme. Persoalan yang lebih mendasar adalah apakah gereja bisa menjadi agen-agen ekonomi alternatif jika yang disuarakan adalah perpuluhan bagi kantong “gembala”?
Jurnal Kedelapan:[10] Konsep Pengampunan Menurut Matius 18:21-35 dan Implikasinya bagi Gereja Masa Kini
Matius 18:21-35 berkata:
18:21 Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” 18:22 Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali. 18:23 Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. 18:24 Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. 18:25 Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. 18:26 Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan. 18:27 Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. 18:28 Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! 18:29 Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. 18:30 Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya.
18:31 Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. 18:32 Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. 18:33 Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? 18:34 Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. 18:35 Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.”
James Montgomery Boice menjelaskan dalam Tractate Joma bahwa Rabbi Jose Bin menulis sebagai berikut: “Jika seseorang saudaramu berdosa terhadap engkau satu kali, ampunilah dia, kedua kalinya ampunilah dia dan ketiga kalinya ampunilah dia.” Hal inilah yang mungkin menjadi acuan dasar Petrus, sehingga dia bertanya kepada Yesus. Pertanyaan Petrus bukan saja baik tetapi juga relevan, sampai sejauh mana batas diberikan sehubungan dengan pengampunan. Petrus merasa sangat murah hati pada waktu itu dengan menyebut sampai tujuh kali, karena peraturan yang berlaku menurut guru-guru Yahudi adalah tiga kali. Petrus menggandakan batas yang dia anggap baik, kemudian Tuhan menanggapi. Bukan sampai tujuh kali melainkan sampai tujuh puluh tujuh kali. Tanggapan Yesus dalam ayat 22 menyinggung Kejadian 4:24 dimana pembalasan Lamekh diubah menjadi prinsip pengampunan. Dalam konteks ini Yesus tidak mengatakan bahwa tujuh puluh tujuh kali adalah batas atas karena, seperti yang ditunjukkan perumpamaan berikutnya (ayat 23-35), semuanya telah diampuni jauh lebih banyak daripada yang akan mereka ampuni. Dengan perkataan itu Tuhan Yesus berkata bahwa pengampunan itu tidak terbatas berapa kali, melainkan tanpa batas.
Yesus memberikan kuasa atau kemampuan untuk mengampuni sebab orang percaya sudah memiliki Kristus. Pengampunan Kristus adalah dasar untuk membangun suatu gaya hidup yang rela mengampuni orang lain. Hati yang pengampun merupakan bukti bahwa orang itu sudah diselamatkan. Mengampuni berarti orang percaya harus mengampuni, karena mengampuni berarti berkorban karena mengasihi orang lain. mengampuni menyangkut banyak hal tetapi di atas segala-galanya mengampuni itu diperintahkan oleh Allah, dan mengampuni bukan soal mau atau tidak melainkan suatu keharusan.
Dalam Matius 18:23-27 menjelaskan tentang raja menaruh belas kasihan kepada hambanya, hutangnya dibebaskan. Dalam Matius 18:28-30 dijelaskan tentang hamba yang jahat itu tidak menaruh belas kasihan kepada temannya yang berhutang kepadanya. Hal ini jelas diberitahukan bahwa hamba itu tidak memahami apa telah yang dilakukan raja kepadanya. Hamba ini masih berpikir bahwa ia harus melunasi hutangnya dan bahwa dengan sesuatu cara ia dapat melunasinya. Itulah yang terjadi kemudian, sebagaimana yang dikatakan dalam ayat 28-30. Ayat-ayat ini menjelaskan betapa fatalnya tindakan hamba itu, di mana menyatakan ketidaksetiaannya dalam hal mengampuni. Ini adalah konsekuensinya karena tidak benar-benar memahami kenyataan dari pengampunan Allah terhadap diri sendiri.
Dalam ayat 31-34 dijelaskan bahwa ketika hamba-hamba yang lain melihat apa yang telah dilakukannya, betapa sedihnya kawan-kawan yang melihat perbuatan yang keji itu dan akhirnya melaporkan hal itu kepada raja. Ia memanggil hamba itu dan menegurnya serta menyerahkannya kepada algojo-algojo sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. Yesus menutup cerita ini dan berkata, “maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu” (Matius 18:21-35).
Pengampunan Allah (Mat. 18:21-25) merupakan pola panutan bagi kehidupan orang Kristen. Artinya pengalaman-pengalaman yang dijalani melalui pengampunan-Nya memungkinkan orang percaya mengikuti sikap-sikap hidup-Nya. Setiap orang percaya harus mempraktekkan sifat pengampuan yang dibuat Kristus bagi orang lain, karena sifat ini dipraktekkan oleh Yesus sendiri. Mengampuni orang yang bersalah dengan pengampunan yang tulus iklas sama seperti Yesus mengampuni dosa manusia. Implikasi baik bagi orang percaya adalah membangun suatu kehidupan yang utuh dengan memiliki sikap mengampuni kepada orang lain yang bersalah. Mengampuni orang secara sempurna, tanpa batas, dan terus menerus. Orang percaya dan gereja masa kini harus menunjukkan sifat pengampunan Kristus sebagai pengikut Kristus.
Ada kalimat penulis yang menurut peninjau sangat menarik yaitu “Hamba ini masih berpikir bahwa ia harus melunasi hutangnya dan bahwa dengan sesuatu cara ia dapat melunasinya.” Raja telah melunasi hutangnya, tetapi hamba yang jahat berpikir bahwa dirinya masih berhutang. Dan, untuk membayar hutangnya, dia melakukan suatu cara. Apa caranya? Ia menangkap dan mencekik kawannya itu. Ini adalah cara kekerasan. Selanjutnya, dia memenjarakan orang yang berhutang (kecil) kepadanya. Di dalam hati hamba yang jahat tidak ada pengampunan. Dia tidak bisa mengampuni dirinya sendiri sekalipun sudah diampuni oleh raja. Dan, dia juga tidak bisa mengampuni orang lain. Hati yang jahat yang tanpa pengampunan ini melahirkan kekerasan. Dalam sejarah gereja, ketika gereja diselimuti oleh hati yang tidak mengampuni, maka gereja muncul dengan wajah kekerasan yang tega membunuh orang-orang yang dianggap sesat atau dianggap sebagai musuhnya.
Selanjutnya, penulis mengutip apa yang dikatakan Richard Strauss bahwa, “Alangkah munafiknya telah diampuni begitu besar tetapi menolak untuk mengampuni yang kecil.” Dalam teks disebutkan, yang begitu besar itu adalah 10.000 talenta, sedangkan yang kecil 100 dinar; atau, hitungan kasarnya, yang begitu besar itu 1.5 triliun rupiah, sedangkan yang kecil hanya 5 juta rupiah.[11] Pengampunan yang Allah berikan begitu besar, sedangkan kita seringkali tidak mengampuni orang lain sekalipun kesalahannya kecil. Jika demikian, bagaimana kita bisa memahami apa yang dikatakan Yesus di kayu salib, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Bagaimana kita bisa mengampuni orang yang berniat membunuh kita kalau kesalahan kecil saja tidak bisa kita ampuni? Terakhir, kita perlu merenungkan masalah “mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu”. Apakah “mengampuni tapi proses hukum tetap berjalan” adalah pengampunan dengan segenap hati? Jangan-jangan, “proses hukum tetap berjalan” adalah cara kekerasan kita ketika ”menangkap dan mencekik” saudara kita. Demikiankah?
Jurnal Kesembilan:[12] Masa Depan Pluralisme Agama Di Indonesia Dengan Kebijakan Penodaan Agama
Tulisan ini akan fokus meneliti kebijakan penodaan agama dan turunannya untuk kemudian membuat prediksi bagaimanakah masa depan pluralisme agama di Indonesia jika kebijakan deskriminatif penodaan agama itu tetap dilestarikan. Tujuan tulisan ini adalah untuk merawat Pluralisme agama di Indonesia mengingat semua agama memiliki nilai-nilai eksklusif, dan secara bersamaan juga mengandung nilai-nilai inklusif.
Kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia yang berasal dari berbagai suku, budaya dan agama. Semua kelompok agama bahu-membahu di bawah kepemimpinan tokoh agama telah berusaha mengusir penjajah, dan semangat persatuan Indonesia itu sesungguhnya juga tidak terlepas dari semangat agama-agama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun demikian, dalam perjalanan sejarah, muncul partai-partai agama yang berusaha untuk menggantikan ideologi negara Pancasila dengan ideologi agama tertentu. Salah satu perjuangan partai keagamaan yang nyata-nyata berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai kelompok agama tertentu adalah Partai Masyumi.
Islam bukanlah agama yang dianut oleh seluruh daerah di Indonesia, walaupun Islam adalah agama terbesar di Indonesia. Adanya daerah-daerah yang mayoritas pemeluk agamanya bukan Islam, membuat Islam tidak mungkin, menjadi agama negara. Pancasila mengakui bahwa tidak ada satu agamapun yang dapat di jadikan agama negara, yang akhirnya agama bisa meguasai negara. Pancasila memisahkan agama dari negara. Pemisahan antara agama dan negara dalam NKRI juga berarti bahwa negara dan agama diakui memiliki kodrat yang berbeda sehingga negara tidak boleh mencampuri urusan agama dan agama tidak boleh menguasai negara. Agama terpisah dari negara karena pada kodratnya negara memang berbeda dengan agama. Wewenang keduanya berbeda. Namun negara tidak boleh menguasai negara, demikian juga agama tidak boleh meguasai negara. Indonesia dengan Pancasilanya menyatakan diri sebagai negara demokrasi yang bukan negara agama dan bukan negara sekuler.
Ada heterogenitas tafsir Pancasila yang didasarkan oleh pandangan agama-agama. Salah satu tafsir yang bersifat diskriminatif ada dalam Penetapan Presiden (PNPS) 1965 tentang penodaan agama. Kebijakan ini telah menjadi undang-undang bagi kebijakan di bawahnya. Maka berdasarkan teori perundang-undangan kebijakan PNPS 65 sebenarnya tidak memiliki pijakan hukum, bukan merupakan turunan dari UUD 1945, namun telah menjadi pijakan hukum bagi kebijakan dekriminatif seperti Kebijakan Peraturan Bersama dua Menteri (PBM) terkait pendirian rumah ibadah yang kini sedang digugat banyak orang karena peraturan bersama menteri juga tidak memiliki landasan hukum dalam perundang-undangan di indonesia.
Sejak ditetapkannya PNPS 1965 tentang penodaan agama, maka semua peraturan terkait agama, bahkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama juga mengacu pada PNPS 1965. PNPS 1965, yang hadir pada masa Presiden Soekarno dan terus dilestarikan hingga saat ini, diteguhkan dalam di dalam KUHP. Itulah sebabnya banyak kriminalisasi terkait agama di Indonesia, karena memang kebijakan penodaan agama adalah kebijakan diskriminatif, atau biasa disebut pasal karet, yang dapat digunakan kelompok yang kuat untuk menjerat siapa saja. Pasal 156a yang sering dijadikan rujukan hakim untuk memutus kasus penodaan agama berasal dari PNPS 1965 yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan Pancasila.
Kebijakan PNPS 1965 yang dirumuskan demi melindungi agama tertentu jelas tidak sesuai dengan rumusan sebuah kebijakan publik yang unggul dan nondiskriminatif. Tidak sedikit mereka menyaksikan agama dan kepercayaan yang dilindungi oleh kebijakan hak-hak asazi manusia harus mendekam di penjara karena terjerat pasa penodaan agama. Pasal penodaan agama yang tersohor dengan sebutan pasal karet telah menjadi isntrumen untuk menjerat mereka yang menjadi sasaran kelompok tertentu. Karena mereka yang dipidana menggunakan pasal ini umumnya didukung oleh kelompok tertentu yang kerap menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Kasus ini pernah menjerat Gubernur DKI Jakarta (Ahok) yang sukses dipidana melalui desakan massa besar yang membanjiri persidangan.
Berdasarkan kajian di atas jelaslah bahwa PNPS 1965 tentang penodaan agama dan kebijakan turunannya telah menghadirkan Indonesia sebagai negara yang mengutamakan kelompok tertentu yang secara langsung mendiskriminasikan agama-agama tertentu. Kebijakan penodaan agama telah mengancam masa depan pluralisme agama di Indonesia. Apabila kebijakan penodaan agama dan kebijakan turunannya tidak direvisi atau dicabut, maka kehidupan antar agama di Indonesia akan terus mengalami persoalan. Apalagi, penegak hukum kerap tidak mampu bersikap tegas dalam menangani konflik antar agama dengan alasan tidak adanya undang-undang kebebasan beragama yang mengatur kehidupan antaragama di Indonesia.
Masa depan pluralisme agama di Indonesia bergantung pada bagaimana kelompok-kelompok yang ada di Indonesia itu memaknai keberagaman yang ada di Indonesia berdasarkan Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Jika kelompok-kelompok yang berbeda di Indonesia menyadari bahwa Indonesia sebagai negara yang memisahkan antara agama dan negara sebagai sesuatu yang final maka sebuah rumusan kebijakan publik seperti PNPS 1965 harus dicabut, karena terbukti menghadirkan hegemoni bagu agama tertentu. Pemerintah Indonesia dan semua elemen bangsa perlu berani merevisi atau mencabut undang-undang penodaan agama yang telah membelenggu kebebasan beragama di Indonesia.
Peninjau berpendapat bahwa usulan merevisi atau mencabut PNPS 1965 dan produk hukum turunannya perlu disambut dengan baik. Banyak orang benar yang masuk penjara hanya karena urusan kecil, seperti penyebutan ayat, urusan volume toa masjid dan hasil survei tokoh. Dengan melakukan demo besar-besaran yang dilandasi oleh rasa tersinggung yang sangat subjektif, hukum didesak-paksa untuk menghukum orang benar. Hukum yang katanya adalah panglima, ternyata, oleh kekuatan politik dijadikan seperti satpam saja. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja karena “menyimpan bom” yang setiap waktu bisa meledak dan memecah persatuan bangsa ini. Masa depan persatuan Indonesia dalam pluralisme agama bergantung pada bagaimana kelompok-kelompok yang ada di Indonesia itu memaknai keberagaman yang ada di Indonesia berdasarkan Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika. PNPS 1965 dan produk hukum turunannya adalah wujud pemaknaan keberagaman yang diskriminatif, yang berlawanan dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, dan oleh karenanya perlu direvisi atau dicabut.
Jurnal Kesepuluh:[13] Kekerasan Terhadap Perempuan di Balik Industri Hiburan K-Pop
Dunia dalam era digital dan revolusi industri 4.0 mempelopori pesatnya perkembangan media hiburan. Industri hiburan sendiri juga memberikan kesempatan bagi siapa pun untuk bisa menjadi idola. Bagi perempuan yang mengambil profesi sebagai artis dan menjadi tokoh publik, industri hiburan justru memiliki kuat kuasa untuk menyentuh ranah ‘identitas’ mereka, melakukan perubahan yang signifikan, bahkan sampai mengatur dan mengambil alih kontrol hidup perempuan. Hal tersebut terjadi karena industri hiburan selalu membutuhkan “barang” segar untuk di-‘jual’ ke publik. Semua hal yang menyangkut kehidupan manusia dimodifikasikan agar ‘layak jual’ ; hiburan, informasi, gaya hidup, kesehatan, kepribadian, penampilan, fantasi, seks, sampai kematian. Semuanya menjadi barang dagangan/komoditi yang sengaja diciptakan untuk perputaran dan akumulasi kapital yang sebesar-besarnya
Industri K-pop yang kapitalistik dikenal memiliki aturan ketat untuk para bintang mereka, termasuk larangan berkencan, pelatihan sederhana dan diet, serta perjanjian kontrak yang memosisikan para artis dan agensi secara tidak adil. Khusus untuk perempuan, mereka terikat oleh aturan sosial feminitas yang kaku. Bahkan hanya karena tidak tersenyum di acara televisi, mereka dikucilkan. Industri K-pop tidak hanya menjual suara para idol, melainkan juga menjual wajah dan tubuh mereka serta benda-benda lainnya yang berkaitan dengan si penyanyi. Para model meningkatkan kualitas tampilan tubuhnya dengan alternatif-alternatif seperti melakukan operasi plastik, sulam bibir, diet ketat, ganti kulit, perbesar bola mata, dsb karena mereka merasa insecure pada bentuk tubuhnya sendiri. Tidak ada patokan deskripsi bagaimana seharusnya tubuh perempuan agar dinilai ideal. Namun, terdapat konsep, gambaran dan sudut pandang masing-masing dalam mata mereka tentang konsep tubuh yang ideal. Tubuh ideal menjadi tuntutan pemilik modal dan SOP perusahaan serta kepuasan publik.
Tidak sedikit pula para perempuan yang diam-diam mengalami tekanan batin karena beraneka ragam tuntutan dan kekerasan yang mereka terima. Kekerasan sendiri merupakan suatu usaha individu atau kelompok untuk memaksa kehendaknya terhadap orang atau kelompok lain melalui cara-cara non-verbal, verbal, atau fisik, yang meninggalkan luka secara fisik maupun psikologis. Beberapa tahun terakhir, bermuculan kasus dari kalangan artis muda yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sebagai korban cyber bullying, pelecehan seksual dari publik dan media sepanjang karirnya, serta korban tuntutan keras industri hiburan/entertain. Dalam 6 bulan terakhir saja, tercatat ada lima idol Korean Pop (K-POP) yang bunuh diri, ironisnya empat idol tersebut berjenis kelamin perempuan.
Jang Ja Yeon, salah satu aktris Korea yang berperan dalam drama legendaris Boys Before Flowers (BFF) ditemukan meninggal dunia di usia 29 tahun karena gantung diri di kediamannya, di daerah Bundang, Gyeonggi-do pada tanggal 7 Maret 2009 silam. Bukti yang ditemukan oleh tim penyelidik adalah sebuah surat tulisan tangan. Ja Yeon meninggalkan tujuh halaman catatan tulisan tangan, yang mengungkapkan bahwa ia mengalami penderitaan selama satu tahun menjadi korban kekerasan fisik dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh 31 pria sekaligus. Ia dipaksa oleh agensinya untuk melayani mereka melalui hubungan seks. Di antara ke-31 orang tersebut, ada produser film dan drama, petinggi perusahaan pers, manajer dan sutradara. Parahnya, satu dari ke-31 pria tersebut adalah Direktur Produksi drama Boys Before Flowers (BFF). Pada tanggal 14 Oktober 2019, seorang aktris cantik bernama Sulli (Choi Jin-ri), mantan anggota girlband f(x) ditemukan meninggal dunia di kediamannya di Seongnam, Gyeonggi, Korea Selatan. Sulli mengakhiri hidupnya di usia 25 tahun. Dugaan yang muncul, ia mengalami depresi berat. Berdasarkan penyelidikan pihak investigator, Sulli kerap menerima bulli-an dari nitizen melalui komentar-komentar baik di akun sosial media pribadinya maupun dalam situs-situs terkait. Selain itu, ia mengaku pernah mengalami sindrom popularitas ekstrim dan gangguan panik. Sahabat dekat Sulli, Goo Hara juga melakukan bunuh diri di rumahnya di kawasan Cheongam, Seoul. Pada Mei 2019, Goo Hara dirawat di rumah sakit setelah ditemukan tidak sadar di rumahnya. Ia kerap menerima komentar negatif dan jahat di media sosial.
Perempuan yang menjadi korban kekuasaan dan kekerasan kaum pria juga bisa berakar dari menyatunya antara will to live dan will to power para pemilik modal suatu industri hiburan. Tubuh perempuan menjadi tidak berarti sama sekali, menjadi barang dagangan, obyek yang dikuasai demi kesuksesan suatu industri hiburan dan konsumsi publik. Ironisnya, mereka dibiarkan berjuang ‘sendiri’ dalam sisi gelap industri hiburan setelah mengalami pelecehan seksual dan kekerasan fisik maupun verbal, sampai mati.
Dalam Alkitab, Tamar dalam 2 Samuel 13:1-39 menjadi korban kekerasan seksual oleh saudara lakilakinya sendiri yang bernama Amnon. Kekerasan yang menimpa Tamar, sebelumnya telah direncanakan sedemikian rupa untuk sekedar memuaskan hasrat seksual laki-laki. Amnon berbohong sakit kepada Daud agar Tamar diizinkan untuk melayani Amnon. Amnon tidak peduli dengan aturan yang berlaku pada saat itu yang mengacam nama baik Israel apabila ia memperkosa adiknya sendiri. Peristiwa perkosaan ini sangat menyakitkan bagi Tamar, dan lebih menyakitkan karena itu dilakukan oleh saudara laki-lakinya sendiri. Namun ia tidak mendapatkan pembelaan dari pihak manapun, baik dari ayah kandungnya maupun saudara kandungnya Absalom. Ia malah dibungkam oleh Absalom yang mengatakan bahwa hal itu toh dilakukan oleh saudaranya sendiri, yaitu Amnon. Sampai di akhir cerita, kita melihat bahwa tidak ada yang mendampinginya sama sekali. Ia dibiarkan dalam kesendirian dan kebisuan, dan merahasiakan kekerasan dan pelecehan seksual yang menimpa dirinya. Tindakan seperti ini tidak hanya melukai hati perempuan tetapi juga melukai hati Allah yang telah menciptakannya. Berdasarkan cerita Tamar ini, ketika beberapa industri hiburan menjadi begitu kejam dengan segala kekerasan yang dibiarkan terjadi oleh para pemilik modal secara diam-diam, terutama yang terjadi pada kaum perempuan, hal tersebut sangat melukai hati Allah.
Manusia diciptakan istimewa dengan kelebihannya masing-masing bukan untuk dijadikan budak hiburan semata atau alat pemuas mereka yang lebih berkuasa. Tidak ada satupun manusia yang juga layak untuk melakukan kekerasan terhadap sesamanya manusia. Allah sendiri yang menyatakan bahwa manusia diciptakan baik adanya. Berdasarkan pemikiran Christoph Barth, manusia tidak “memiliki” tubuh dan jiwa. Tetapi dia sendirilah jiwa itu, dan sebagai mahkluk berjiwa, manusia bersifat rohani. Ia hidup karena hembusan Roh Allah dan terbuka pada Roh Allah. Maka, dapat dikatakan di sini bahwa apabila seorang menyakiti sesamanya manusia dengan sengaja baik secara fisik maupun non-fisik, sama saja ia menyakiti Allah.
Peninjau melihat bahwa apa yang dilakukan kedua penulis ini telah berhasil membuka “kekerasan yang tersembunyi dan rahasia” di hadapan kita. Di depan layar, kita hanya melihat “manis”nya saja. Kita tidak pernah melihat “pahit” yang dirasakan para artis atau yang gagal jadi artis dalam industri hiburan yang kapitalistik. Kita baru terhentak kaget ketika artis yang kita puja karena ke-ideal-annya itu bunuh diri. Mengapa artis secantik dan seideal itu bunuh diri? Kita baru mulai bertanya-tanya. Dan, artikel ini berhasil menjawab sebagian pertanyaan-pertanyaan kita. Lebih dari itu, kita diajak untuk memahami hakikat kita manusia, laki-laki dan perempuan, sebagai gambar dan rupa Allah. Menyakiti gambar dan rupa Allah adalah menyakiti Allah juga. Kita semua, termasuk gereja sebagai lembaga, diundang untuk berjuang melawan “kekerasan yang tersembunyi dan rahasia” yang ada dalam budaya K-Pop yang digandrungi oleh generasi Z, anak-anak kita.
===========================
Link download 10 artikel yang dibahas:
1) Anugerah yang Meresahkan: Menggumuli Teks-Teks Kekerasan di PL
https://journal-theo.ukdw.ac.id/index.php/gemateologika/article/download/547/362/
2) Keseimbangan Antara Ranah Akademis dan Ranah Pastoral dalam Model Penafsiran Prof. Dr. Ignatius Suharyo
https://e-journal.usd.ac.id/index.php/jt/article/download/2218/pdf_1
3) Roh Kudus dan Good Governance dalam Konteks Gereja Pentakostal-Karismatik
http://www.theologiainloco.com/ojs/index.php/sttjournal/article/download/226/50/751
4) Apakah Keilahian Yesus merupakan Ciptaan Paulus?: Penyelidikan terhadap Tradisi Gereja Purba dalam Surat Paulus
http://repository.seabs.ac.id/bitstream/handle/123456789/206/Apakah%20Keilahian%20Yesus%20merupakan%20Ciptaan%20Paulus.pdf?sequence=1&isAllowed=y
5) Media Sosial Sebagai Ruang Sakral: Gereja yang Bertransformasi bagi Perkembangan Spiritualitas Generasi Z dalam Era Digital
https://e-journal.iaknambon.ac.id/index.php/KNS/article/download/284/171
6) Hospitalitas Pendidikan Kristiani dalam Masyarakat Majemuk
https://e-journal.sttberitahidup.ac.id/index.php/jbh/article/download/99/90
7) Fakta El Gibor Dalam Kisah Gideon dan Pergumulan Kaum Miskin Asia : Suatu Konstruksi Teologi Kontekstual Asia
https://sttberea.ac.id/e-journal/index.php/logia/article/download/23/13
8) Konsep Pengampunan Menurut Matius 18:21-35 dan Implikasinya bagi Gereja Masa Kini
https://sttkalimantan.ac.id/e-journal/index.php/huperetes/article/download/23/pdf
9) Masa Depan Pluralisme Agama Di Indonesia Dengan Kebijakan Penodaan Agama
http://sttb.ac.id/download/stulos/stulos-v18-no02/06%20Masa%20depan%20pluralisme%20agama%20di%20Indonesia.pdf
10) Kekerasan Terhadap Perempuan di Balik Industri Hiburan K-Pop
https://journal.sttsimpson.ac.id/index.php/JTKI/article/download/324/pdf
- Tony Wiyaret Fangidae, “Anugerah yang Meresahkan: Menggumuli Teks-Teks Kekerasan di PL”, Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian, Vol. 6 No. 2 (Oktober 2021). ↑
- Bhanu Viktorahadi, “Keseimbangan Antara Ranah Akademis dan Ranah Pastoral dalam Model Penafsiran Prof. Dr. Ignatius Suharyo”, Jurnal Teologi, Vol. 08 No. 01 (Mei 2019). ↑
- I. Suharyo Pr., Pengantar Injil Sinoptik (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989). ↑
- Minggus M. Pranoto, “Roh Kudus dan Good Governance dalam Konteks Gereja Pentakostal-Karismatik”, Jurnal Theologia in Loco, Vol. 3 No. 2 (Oktober 2021). ↑
- Minggus M. Pranoto, “Sisi Gelap Kepemimpinan Pentakostal-Karismatik”, Gema Teologika, Vol. 6 No. 2 (Oktober 2021). ↑
- David Alinurdin, “Apakah Keilahian Yesus merupakan Ciptaan Paulus?: Penyelidikan terhadap Tradisi Gereja Purba dalam Surat Paulus”, Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan, Vol. 11 No. 1 (April 2010). ↑
- Rumondang Lumban Gaol dan Resmi Hutasoit, “Media Sosial Sebagai Ruang Sakral: Gereja yang Bertransformasi bagi Perkembangan Spiritualitas Generasi Z dalam Era Digital”, Kenosis: Jurnal Kajian Teologi, Vol. 7 No. 1 (2021). ↑
- Serva Tuju, dkk., “Hospitalitas Pendidikan Kristiani dalam Masyarakat Majemuk”, Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol. 3 No. 2 (2021). ↑
- Deky Nofa Aliyanto, “Fakta El Gibor Dalam Kisah Gideon dan Pergumulan Kaum Miskin Asia : Suatu Konstruksi Teologi Kontekstual Asia”, Logia: Jurnal Teologi Pentakosta, Vol. 1 No. 1 (Desember 2019). ↑
- Herry Jeuke Nofrie Korengkeng, “Konsep Pengampunan Menurut Matius 18:21-35 dan Implikasinya bagi Gereja Masa Kini”, Huperetes: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen, Vol. 1 No. 2 (2020). ↑
- BP, “Mengampuni…”, https://www.sarapanpagi.org/mengampuni-vt699.html (diakses 26/1/2022, pukul 10:15 pm.) ↑
- Binsar Antoni Hutabarat, “Masa Depan Pluralisme Agama Di Indonesia Dengan Kebijakan Penodaan Agama”, Stulos, Vol. 18 No.2 (Juli 2020). ↑
- Felony Prista Oktamala dan Asnath Niwa Natar, “The Secret Violence: Sebuah Analisa Kekerasan Terhadap Perempuan Di Balik Industri Hiburan”, Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia, Vo. 1 No. 2 (2020). ↑