Studi Kasus Pastoral atas Lima Kasus Pastoral pada Pendeta
Penulis: Wahyoe Rita Wulandari
Kasus Pertama:
Pribadi Pendeta yaitu Masalah Gaya Hidup Mewah dan Narsistik
a) Realitas Masalah[1]
Seorang pendeta gereja Happy Family Center (HFC atau GBI HFC) di Surabaya, yang berinisial HL dan memiliki dua gelar doktor (D.Min., D.Th), bergaya hidup mewah. Dari akun instagram @pastorinstyle, foto HL diunggah dengan penampilannya yang mengenakan jam, baju, tumblr, hingga ikat pinggang mewah. Barang-barang itu memiliki harga yang cukup fantastis. Misalnya saja dari postingan @pastorinstyle pada 10 April 2019, terlihat HL mengenakan jam tangan bermerk Audemars Piguet Royal Offshoure seharga 205,598 USD atau hampir Rp 3 miliar.
HL juga nampak bergaya dengan jam tangan Rolex Submariner seharga 12,500 USD atau sekitar Rp 175 juta. Tak hanya satu, di postingan lain, HL terlihat menggunakan Rolex Submariner dengan tipe lainnya seharga 13,688 USD atau sekitar Rp 190 juta. Selain Rolex, HL juga nampak bergaya dengan jam deLaCour yang seharga 14,498 USD atau sekitar Rp 200 juta. Tak hanya jam tangan mewah, di foto lain, HL terlihat mengenakan ikat pinggang bermerk Loewe. Jika dilihat, sabuk tersebut memiliki harga 400 USD atau sekitar Rp 5,6 juta.
b) Analisa Masalah
Beberapa tahun HL melayani di Eropa dan studi di Amerika. Di Indonesia, sebagian besar hidupnya dia jalani di Surabaya, kota metropolitan terbesar kedua setelah Jakarta. Ini berarti, HL hidup di jantung perekonomian kapitalis. Kapitalisme sendiri dipahami sebaga sistem ekonomi yang bertujuan untuk meraih tanpa batas keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya produksi sekecil-kecilnya. Ke mana kapital mengalir, ke sana keputusan ekonomi bergerak. Alam dan manusia dijadikan sumber daya ke mana kapital itu mengalir. Asal kapital bertumbuh, maka yang lain bisa dikorbankan. Akibatnya, banyak eksploitasi manusia dan alam. Yang penting kapital bertumbuh, atau yang penting “Untung Saya Apa (USA)”.
Kapitalisme global adalah ekonomi libido[2] di mana yang diproduksi adalah demi hasrat narsistik yang tak mengenal batas. Masalah pokok ekonomi libido ini bukanlah memenuhi kebutuhan hidup yang terbatas tetapi memuaskan hasrat narsistik yang tak terbatas, sebuah gairah narsistik yang melayang seperti saat “disuntik ekstasi”. “Suntikan ekstasi” menolak rasa malu dan menjual rasa tidak malu. Orang membeli “rasa tidak malu” dengan harga yang mahal. Dan, apa yang dibeli ini dipertontonkan dengan bangga: “merasa bijaksana tatkala melakukan perbuatan cabul”[3].
Ekonomi libido kapitalistik melahirkan masyarakat tontonan. Apa yang dipertontonkan oleh pendeta HL adalah hasrat narsistik yang tak terpuaskan. Tidak ada lagi rasa malu dalam dirinya bahwa uang yang dipakai untuk gaya hidup mewahnya adalah sebagian dari uang persembahan dan perpuluhan. Uang yang seharusnya untuk kemuliaan Tuhan dan membantu sesama tetapi dipakai untuk pemuasan hasrat narsistiknya.
c) Refleksi Teologis
Gereja yang dilayani HL adalah gereja Happy Family Center. Dari gaya hidup mewahnya, “happy” dimaknai secara material dalam arti memiliki barang-barang mewah. Keluarga bahagia itu ya keluarga yang memiliki barang-barang merah. Di dalam Alkitab, bahagia bukanlah sesuatu yang buruk tetapi sesuatu yang baik. Bahagia itu adalah mengecap kebaikan Allah. Mazmur 34:9 mengatakan, “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya!”. Yang jadi masalah adalah ketika kebahagiaan itu diartikan hanya secara material, terlebih hanya memiliki barang-barang mewah. Janji berkat Allah yang dinyatakan di dalam Yesus Kristus bersifat holistik, spiritual dan material, di mana yang material dipakai untuk melayani Tuhan dan sesama seperti yang Yesus katakan dalam Matius 25:35-36, “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.” Berkat materi bukanlah untuk dipamerkan atau dipertontonkan, tetapi dibagikan kepada orang yang membutuhkan.
Gereja Happy Family Center, atau yang sejenisnya seperti Succesful Bethany Family, menekankan teologi anak Raja.[4] Mereka menganggap diri sebagai anak Raja yang patut menikmati kekayaan dan kelimpahan anak Raja menurut ukuran duniawi. Ini usaha memanipulasi Alkitab. Yesus Sang Raja sangat berbeda dengan raja duniawi. Kerajaan Allah yang dihadirkan-Nya adalah kerajaan kasih yang siap berkorban demi sesama, yang siap membagikan kekayaannya. Bagi Yesus, kekayaan yang tidak dibagi adalah Mamon.
d) Rencana Aksi
- Pribadi yang narsis adalah pribadi yang tidak dapat menyeimbangkan antara cinta diri dan cinta sesama.[5] Narsis yang ada dalam keseimbangan bisa menjadi narsis yang sehat. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan bukanlah menghancurkan nafsu pamer tetapi mentransformasi nafsu itu menjadi pertunjukkan yang kreatif. Pamer boleh, tetapi yang dipamerin bukanlah barang-barang mewah tetapi kebaikan menolong orang lain. Sambil pamer sambil berdoa kepada Tuhan dan menyerahkan segala puji-pujian untuk-Nya. Kalau ada pujian yang mampir untuk dirinya, dinikmati boleh, tapi jangan hanyut di dalamnya.
- Kita hidup di dalam sistem kapitalisme. Usaha-usaha alternatif perlu dilakukan oleh gereja guna mengurangi sifat kompetisi “orang makan orang”, pengutamaan pemuasan libido-ekonomi dan tujuan akumulasi kapital tanpa batas. Gereja jangan ikut secara total permainan bisnis kapitalisme tetapi berusama mengambil yang baik dari kapitalisme. Manajemen yang profesional perlu dilakukan termasuk sistem pembagian gaji untuk pendeta. Pendeta dapat gaji secara terbatas. Mungkin maksimal 5 kali dari UMR tempat dia melayani. Dengan demikian, dia bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya serta biaya-biaya untuk pengembangan kualitas dirinya, seperti membeli buku atau membayar biaya perpustakaan. Punya rumah dan mobil sepantasnya sesuai dengan kebutuhan hidup di tempat dia melayani.
- Ada kebijakan atau hukum gereja bahwa pendeta dan keluarganya tidak boleh pamer barang-barang mewah (khususnya di media sosial). Jemaat yang kaya juga dilarang memberi barang-barang mewah seharga miliaran kepada pendeta dan keluarganya.
Kasus Kedua:
Keluarga Pendeta yaitu Masalah Perselingkuhan
a) Realitas Masalah[6]
Seorang pendeta di Bekasi, berinisial AAP, menyelingkuhi bendahara gereja, LR. Kasus bermula saat AAP dipercaya menjadi pendeta di gereja tersebut, pada 1996. Di waktu yang sama, LR juga diangkat menjadi bendahara gereja. Dalam perjalanannya, komunikasi AAP dan LS tidak hanya berjalan secara profesional, tetapi juga melibatkan perasaan sehingga AAP menyatakan jatuh cinta kepada LS. Padahal AAP telah beristrikan EL yang dinikahinya pada 1989. Cinta membutakan AAP dan LR. Pada November 2006, mereka chek in di sebuah hotel di Bekasi dan terjadilah perselingkuhan.
Ternyata perbuatan itu dilakukan berulang-ulang. Berdasarkan kuitansi pembayaran hotel, mereka tidur satu kamar di hotel pada 8 Februari 2007, 2 Maret 2007, 14 Mei 2007, 25 Juni 2007, 31 Juli 2007. Perselingkuhan terus berlangsung selama 2008 hingga 2009. Anehnya, AAP tetap melayani di gereja, berselingkuh sembari bicara firman Tuhan, bahkan menggunakan uang gereja untuk membayar hotel untuk selingkuh. Seorang pendeta yang berhotbah tentang kebenaran dan pada saat bersamaan berselingkuh, merusak moral gereja. Sementara itu, Ketua Sinode gereja dan Ketua Jabodetabek 2 belum memberikan jawaban atas vonis MA 6 bulan penjara, lebih berat 1 bulan daripada vonis Pengadilan Tinggi.
b) Analisa Masalah
AAP sebagai pendeta dan LR sebagai bendahara gereja sama-sama diangkat pada waktu yang bersamaan yaitu pada tahun 1996. Ada rentang waktu sepuluh tahun dari pengangkatan hingga check in yang pertama kali. Kapan waktu persisnya terjadi komunikasi yang melibatkan perasaan tidak diketahui dengan pasti. Dari komunikasi ini, tumbuh perasaan cinta. Cinta mereka, pada tahun 2006, diwujudkan dalam hubungan seks di luar perkawinan. Dari tahun 2006 hingga 2009, mereka melakukan hubungan seks ini, sekalipun bukti kwitansi check in hanya ada sebanyak lima kali di tahun 2007.
Kita tidak diberitahu seberapa sering AAP dan LR berkomunikasi yang melibatkan perasaan. Pokok pembicaraannya pun tidak kita ketahui. Dari analisa budaya, kita mengenal ungkapan “Witing Tresno Jalaran Soko Kulino” yang berarti “Cinta tumbuh karena terbiasa”[7]. Terbiasa bertemu, terbiasa berinteraksi, terbiasa bersama-sama. Kalaupun mungkin semulanya cinta itu belum tumbuh, tetapi karena sering bertemu dan sering bersama-sama akhirnya cinta itu mulai tumbuh karena kebiasaan tersebut. Dari analisa hermeneutik-pastoral, komunikasi tidak hanya mengubah yang minta nasihat (konseli) tetapi juga mengubah yang memberi nasihat (konselor). Biasanya, yang jadi konselor adalah pendeta atau AAP, sedangkan jemaat, dalam hal ini LR sebagai konseli. Cerita LR membangun sebuah dunia kehidupan LR. Dunia LR memperluas horizon dunia AAP. Terjadilah peleburan horizon dunia mereka.[8] Mereka saling memahami dan menyatu baik secara spiritual-cinta maupun secara biologis-seks.
c) Refleksi Teologis
Ketika Allah selesai menciptakan dunia dengan segala isinya, lembaga yang kali pertama Ia ijinkan untuk beroperasi adalah lembaga perkawinan (konstitusi pernikahan).[9] Jelas bahwa persekutuan antara satu laki-laki dan satu perempuan, yatu pernikahan adalah suatu Lembaga yang Pertama kali ditetapkan Allah sejak mulanya dicatat dalam Kitab Kejadian. Kej 2:24 berkata, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Menurut Kitab-kitab Injil, persoalan seksual yang menjadi sasaran Yesus adalah perkawinan, perzinahan, hawa nafsu, perceraian, dan perkawinan kembali (Mat. 5:27-32; 15:19; 19:3-12; Mrk. 7:21; 10:2-12; Luk. 16:18). Dalam pasal-pasal ini Yesus memperluas pengertian perzinahan dan membatasi pembenaran atas perceraian. Di belakang kata-kata tersebut terdapat prinsip penghormatan, komitmen, dan kepedulian, khususnya bagi wanita, yang agaknya lebih mudah dimanfaatkan dan disiasiakan dalam budaya pada masa Yesus. Sementara tekanan utama Yesus bukanlah (secara sempit) atas seks dan seksualitas, namun Ia menghendaki adanya hubungan yang mendalam, bermakna, dan akrab.[10]
Penyelidikan Perjanjian Baru mengungkapkan penegasan atas monogami dan perkawinan. King James Version menggunakan kata fornication (perzinahan) untuk menggambarkan ketidaksucian atau segala jenis seks terlarang, termasuk hubungan seks di luar perkawinan seperti dalam perselingkuhan atau seks sebelum nikah. Hubungan seksual ditempatkan secara tegas dalam konteks perkawinan.
d) Rencana Aksi
- Cinta memang bisa datang kapan saja, entah saat kita belum menikah atau saat kita sudah menikah. Persoalan muncul ketika cinta datang pada saat sudah menikah. Ini menjadi persoalan karena dalam tradisi Kristen tidak mengenal poligami. Jemaat dilarang berpoligami apalagi pendeta. Oleh karena itu, hal-hal yang mengarah kepada komunikasi yang melibatkan perasaan harus dibatasi. Komunikasi yang berkaitan dengan pekerjaan tentu dilakukan di ruang terbuka, sedangkan komunikasi pastoral bisa dilakukan di ruang berkaca, tertutup tapi dapat dilihat jemaat lain. Artinya, konselor masih bisa bebas berkomunikasi dengan konseli tetapi dibatasi dalam kontak fisik baik berupa tatapan mata, pegangan tangan dan lain-lain. Kalau memungkinkan, perlu diadakan CCTV di dalam ruang konseling sehingga semua terekam dan profesionalitas terjaga.
- Konselor tidak harus pendeta. Jika pendeta laki-laki, maka dibutuhkan konselor pendamping yang perempuan sehingga kalau yang konseli itu perempuan maka bisa dilayani oleh konselor yang perempuan; demikian juga sebaliknya. Jika istri pendeta berkompetensi, maka dia bisa dilibatkan sebagai konselor pendamping. Dengan demikian, komunikasi antara pendeta dengan jemaat perempuan dibatasi.
- Pendeta yang bisa berselingkuh bertahun-tahun itu menunjukkan ketidakpekaan jemaat dan terutama istri atau suami pendeta. Istri atau suami pendeta perlu memberi ruang rasa curiga kepada pasangannya. “Curiga” di sini untuk saling menjaga, bukan untuk tidak percaya. Dan, jika telah diketahui adanya perselingkuhan pendeta dengan jemaat, maka secepatnya ditangani. Jangan sampai terjadi berlarut-larut peristiwa sambil berkotbah, sambil berbuat dosa.
Kasus Ketiga:
Panggilan Pelayanan yaitu Calon Pendeta Perempuan Memilih antara menjadi Pendeta atau Menikah
a) Realitas Masalah[11]
Empat tahun lalu, nona Asih berhasil menyelesaikan studi teologi dengan gelar sarjana muda teologi. Kini, ia menjadi Vikaris (Calon Pendeta) di sebuah jemaat di daerah pedesaan. Ia setia mengunjungi anggota-anggota jemaat secara teratur, merencanakan dan menulis pelajaran-pelajaran agama kristen untuk anak-anak, juga setiap minggu ia harus berkotbah dua kali. Jemaatnya mulai mengasihi serta mempercayainya.
Kira-kira satu setengah tahun yang lalu, nona Asih bertemu dengan pak Badu, bekas temannya di sekolah teologi. Mereka menyadari bahwa mereka telah saling jatuh cinta. Empat bulan yang lalu pak Badu memohon pada nona Asih untuk mempertimbangkan pernikahan mereka. Nona Asih sangat senang dan merasa bahagia sekali sebab ia berpikir bahwa ia juga sudah siap untuk pernikahan itu.
Dua bulan yang lalu Nona Asih diwawancarai oleh Panitia Penahbisan Pendeta. Kepadanya ditawarkan apakah ia mau ditahbiskan sebagai Pendeta. Sebelum nona Asih selesai dengan wawancara itu, dia diberitahu oleh seorang anggota panitia, begini: “Tentu nona Asih menyadari bahwa jika nona ditahbiskan sebagai pendeta; nona harus berjanji tidak akan pernah menikah”. Nona Asih betul-betul sedih tetapi juga agak marah. Ia tidak tahu bagaimana harus memberi jawaban yang baik. Ia ingin menikah dengan pak Badu tetapi ia juga ingin melayani Tuhan sebagai pendeta.
b) Analisa Masalah
Melayani Tuhan sebagai pendeta dan menikah dengan pria yang dicintainya adalah impian nona Asih. Baginya, ini bukanlah dua hal yang harus dipilih, menikah atau menjadi pendeta, tetapi menikah dan menjadi pendeta. Sekalipun demikian, peraturan gereja di mana nona Asih melayani mengharuskan dia memilih. Keharusan memilih ini membuat nona Asih sedih, marah dan tidak tahu. Ini sebuah keadaan “kacaubalau” yang melampaui sekedar pertimbangan akal budi, sebuah konflik batin yang dalam.
Sayang sekali, bahwa di dalam kasus ini, kita tidak mengetahui detail peraturan gereja tempat nona Asih melayani. Demikian juga, kita tidak mengetahui respon dari Badu. Jadi, kita tidak tahu apakah di dalam peraturan gereja ada pengecualian atau syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh calon pendeta perempuan. Kita juga tidak tahu apakah Badu mempunyai usulan tertentu atau rencana masa depan bersama nona Asih. Dalam konteks ini, mungkin yang lebih mudah adalah memodifikasi rencana Badu dibanding peraturan gereja.
Sekalipun banyak ketidakjelasan dalam kasus ini, kita melihat adanya ketidakadilan pembagian peran antara calon pendeta laki-laki dan calon pendeta perempuan. Yang laki-laki boleh menjadi pendeta dan menikah sedangkan yang perempuan tidak boleh menjadi pendeta dan menikah. Karena kasus nona Asih ini dibahas dalam buku studi kasus pastoral dalam konteks budaya Jawa, maka kita bisa menghubungkan adanya sistem patriarki[12] yang mendasari ketidakadilan pembagian peran tersebut. Patriarki Jawa memberikan kebebasan yang lebih kepada laki-laki dibanding perempuan. Kebebasan perempuan dalam ruang publik dibebebani dengan syarat-syarat yang lebih berat. Ini mendorong perempuan lebih banyak berkarya dalam ruang privat atau domestik.
c) Refleksi Teologis
Kultur patriarki bukan hanya ada di Jawa, tetapi di banyak bagian dunia lainnya termasuk di dunia Timur Dekat Kuno dan Israel. Alkitab juga lahir dalam kultur demikian. Sekalipun demikian, “patriarki”, atau lebih tepatnya hirarki Alkitab, lebih lentur karena memberi ruang kebebasan yang besar untuk perempuan berkarya di ruang publik. Secara hakikat, posisi laki-laki dan perempuan itu setara tapi memiliki fungsi yang berbeda. Laki-laki berfungsi sebagai kepala, tetapi perempuan lah yang menyokong kepala.
Sebelum Adam meminta seorang teman manusia, Allah Sang Pencipta telah menyediakannya. Allah memberi bagi Adam seorang עֵזֶר כְּנֶגְדֹּו – ‘EZER KENEG’DO[13] (Kejadian 2:18), penolong yang setia yaitu seorang co-warior (yg lebih bermakna dalam konteks militer). Alkitab tidak menggambarkan perempuan itu lemah, tetapi kuat. Perempuan bagi suaminya bukan sekedar “Mitra Penolong,” tetapi, menurut istilah Ibraninya, lebih seperti seorang co-warrior bagi seorang warrior. Kehidupan seperti sebuah “battle” yang perlu sebuah kerja-sama. Istri memiliki kekuatan menolong, juga kebebasan mengungkapkan pikirannya, bahkan mungkin dapat mengintervensi dalam hal yang ber-oposisi. Dalam ruang publik, perempuan boleh menjadi nabi, pendeta, pengajar, pengkotbah, diaken, penginjil atau jabatan lainnya dalam gereja, kecuali jabatan imam[14]. Melarang pendeta perempuan menikah itu kata budaya, bukan kata Alkitab. Ini bersifat praktis, bukan esensial. Oleh karena itu, ada baiknya peraturan gereja perlu lebih lentur sehingga perempuan mendapat hak kesederajatan sesuai dengan fungsinya. Ketika pendeta perempuan menjalankan fungsinya di rumah dan gereja dengan baik, pendeta perempuan layak mendapat keduanya.
d) Rencana Aksi
- Mengubah peraturan gereja tentu membutuhkan waktu yang panjang. Nona Asih tidak bisa mengubah peraturan tersebut demi kepentingannya untuk menikah dengan Badu. Yang masuk akal adalah mereka, Asih dan Badu, memodifikasi rencana masa depan mereka. Untuk sementara, Asih bisa membantu pelayanan Badu. Pada saat bersamaan, Asih bisa mencari informasi tentang gereja yang menerima pendeta perempuan yang menikah.
- Dalam proses pencarian gereja yang sesuai dengan impiannya, Asih perlu mendalami panggilannya kembali. Dia bisa memperhatikan beberapa hal berikut[15]:
- Apakah ia memiliki keinginan yang kuat dan dalam serta terus-menerus untuk menjadi pendeta.
- Apakah dia sudah menemukan karunia untuk pelayanannya.
- Apakah ada konfirmasi dari orang lain.
- Apakah banyak kesempatan yang meneguhkan panggilannya.
- Sekolah tinggi teologi perlu mempersiapkan calon pendeta dengan pengetahuan tentang peraturan gereja yang memadai. Tambak bahwa nona Asih terkejut mendengar bahwa di gerejanya itu pendeta perempuan tidak boleh menikah. Kalau calon pendeta sudah mengetahui peraturan gereja, maka dia bisa mempersiapkan diri atau memilih gereja yang memiliki peraturan yang memperbolehkan pendeta perempuan menikah. Dengan demikian, ini mencegah kasus Asih terulang kembali.
Kasus Keempat:
Tugas Pendeta di bidang Pastoral yaitu Masalah Pendeta Jarang Kunjungan
a) Realitas Masalah[16]
Selama tiga tahun lebih, Pdt. Sibuk sudah melayani jemaat Tuhan dengan baik di sebuah kota kabupaten yang kecil. Pdt. Sibuk disukai oleh jemaat dan masyarakat karena pergaulannya yang luwes dan simpatik. Jemaat itu berkembang dengan cukup baik.
Program-program kerja, baik dari Majelis, Komisi maupun dari pengurus Yayasan Sion bagian Pendidikan telah disusun secara jelas, terpadu dan terarah selama satu tahun dan tiap-tiap tahun dievaluasi pelaksanaannya untuk kemudian menyusun program kerja tahun berikutnya. Dengan demikian kegiatan-kegiatan pelayanan menjadi padat dan sarat. Pdt. Sibuk juga menjadi benar-benar sibuk mengurus proses pelaksanaan tiap-tiap mata program kerja, mulai dari Majelis, Komisi-komisi sampai juga pengurus Yayasan Sion bagian Pendidikan, mulai dari rapat-rapat, pelaksanaan sampai evaluasi. Pdt. Sibuk diharapkan selalu hadir dalam rapat-rapat Komisi-komisi agar memberi pengarahan-pengarahan yang dibutuhkan, selain itu juga tugas-tugas sebagai anggota pimpinan dalam Klasis dan Sinode. Dengan demikian terjadi penumpukan tugas-tugas pada Pdt. Sibuk, yaitu di bidang “organisasi gereja” melulu.
Akibatnya yang dirasakan oleh sebagian anggota jemaat yang tidak aktif (dan ini sebagian besar) ialah kurang mendapat perhatian dari pendeta, dan memang Pdt. Sibuk kurang memperhatikan soal-soal perkunjungan ke rumah-rumah jemaat, hanya anggota-anggota yang sakit dan diketahui bermasalah saja yang sempat dikunjungi.
b) Analisa Masalah
Pendeta Sibuk aktif di jemaat lokal yang dia gembalakan dan juga di tingkat klasis dan sinode. Demikan juga, dia bergaul dengan baik di tengah masyarakat. Tampaknya, pdt Sibuk jago berorganisasi dan bermasyarakat. Keahlian dan kesibukannya memang produktif. Jemaat dan masyarakat menyukainya. Sekalipun produktif dan pantas dibanggakan, sebagian jemaat kurang mendapat perhatian dari pendeta. Keaktifannya di organisasi gereja dan masyarakat menghabiskan banyak waktunya. Pdt. Sibuk jadi kurang memperhatikan soal-soal perkunjungan ke rumah-rumah jemaat. Ini mengakibatkan dia kurang dekat dengan sebagian jemaat.
Dari analisa manajemen waktu, pdt Sibuk belum memprioritaskan waktunya untuk melakukan hal-hal yang terpenting dan masih banyak melakukan pekerjaan yang bersifat mendesak. Dari analisa kepemimpinan, pdt Sibuk belum efektif mendelegasikan urusan-urusan gereja kepada pejabat gereja yang lain. Untuk yang lebih ringan seperti urusan sekolah Minggu atau senam untuk ibu-ibu, itu bisa diserahkan ke jemaat. Selain itu, di sini, jemaat banyak yang belum berpartisipasi dengan aktif. Ada banyak jabatan gereja yang dirangkap oleh satu orang. Cara kerja pdt Sibuk bukan one man show tetapi juga bukan tim yang baik.
Tanpa prioritas dan pendelegasian serta partisipasi aktif jemaat, pendeta Sibuk akan terjebak dalam lingkaran kesibukannya. Ini lama kelamaan bisa menimbulkan kejenuhan yang akhirnya mengakibatkan penurunan produktifitas atas pekerjaan pelayanannya.
c) Refleksi Teologis
Di dalam menghadirkan Kerajaan Allah, Yesus melakukan pelayanan yang dekat dengan pendosa.[17] Yesus mengampuni pendosa dan makan bersama dengan para pendosa (Markus 2:5-17). Yesus tidak hanya mengampuni dosa dengan kata-kata, tetapi juga makan bersama dengan para pendosa. Apa sebenarnya yang dilakukan oleh Yesus? Sehubungan dengan ini, dapat disebut tiga hal, yakni kedekatan Yesus dengan kaum perempuan, dengan para pemungut cukai, dan dengan kaum miskin. Para pemungut cukai tidak dianggap sebagai orang Yahudi, kaum perempuan dianggap sumber kenajisan dan godaan, dan kaum miskin tidak mampu menjalankan perintah agama. Namun oleh Yesus, mereka semua diterima. Mereka dekat dengan Yesus. Yesus makan bersama mereka. Yesus bercakap-cakap di depan publik dengan perempuan, dan memberikan sentuhan yang menyembuhkan. Akibatnya, oleh para ahli Kitab, Yesus dituduh blasphemei, menghujat Allah (Markus 2:7).
Yesus menghadapi masyarakat yang mengutamakan politics of holiness (sikap dan tindakan menjaga kekudusan) sampai menyingkirkan hal-hal lainnya. Yesus memperlihatkan bahwa politics of compassion (sikap dan tindakan bela rasa) jauh lebih mendesak daripada politik kekudusan. Para pelayan yang benar akan mengatasi tembok-tembok pemisah yang diciptakan manusia agar dapat mengerjakan kesembuhan dan pemulihan yang mengutuhkan.
Kedekatan dan bela rasa bukanlah sekedar masalah sosial dan psikologi. Ini adalah prioritas teologis ketika Yesus menghadirkan Kerajaan Allah di dunia ini. Kita tidak melihat prioritas teologis ini pada pelayanan pdt Sibuk.
d) Rencana Aksi
- Pelayanan yang dekat dengan pendosa, sebagai wujud partisipasi dalam Kerajaan Allah, dipraktikkan dalam bentuk kunjungan kepada jemaat. Ronda mengatakan, “Kerjakanlah perkunjungan sebagai pelayanan yang utama”.[18] Pelayanan utama dan terpenting bagi seorang gembala adalah pembesukan jemaat, yang dilakukan secara rutin atau ketika jemaat menghadapi masalah, sakit penyakit, musibah, dan pergumulan khusus. Kalau gembala tidak suka berkunjung, hendaknya dia tidak usah menjadi gembala atau melakukan tugas yang lain saja, seperti menjadi guru, dosen, atau pelayanan lain selain gembala. Gembala itu harus hadir di antara jemaatnya untuk berdoa, menghibur, membimbing, dan menguatkan.
- Untuk membuat layanan perkunjungan yang efektif, gembala harus membuat jadwal perkunjungan rutin, seperti 2-3 kali seminggu (bisa menggunakan kartu kunjungan terjadwal)[19], yang satu kali besuk bisa mencapai minimal lima keluarga (bergantung pada besarnya jemaat). Jika itu besar sekali, majelis atau badan pengurus jemaat (BPJ) dan bidang kategorial ikut terlibat dalam pembesukan. Jangan sampai urusan besuk itu hanya diserahkan kepada gembala. Memang ada gereja yang tidak menerima konsep itu karena berpandangan bahwa hanya gembalalah yang seharusnya membesuk. Itu keliru. Alkitab menjelaskan bahwa perkunjungan itu adalah tanggung jawab presbiter secara kolektif, yaitu gembala dan majelis. Perlu ada pendelegasian dalam kunjungan bersama.
- Perlunya persiapan dan pembekalan yang memadai bagi mahasiswa teologi yang adalah calon pendeta untuk melakukan kunjungan jemaat. Kebanyakan sekolah teologi mengajarkan mahasiswa bagaimana untuk berkhotbah, menafsir Alkitab, berteologi sistematik dan kontekstual, berfilsafat, dan mengelola gereja sebagai organisasi. Itu memang penting. Tetapi pelatihan, bagaimana mendengarkan, konseling dan perlawatan sangat sedikit diberikan. Beberapa dari kita lalai dan tidak peduli dengan kunjungan pastoral. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan ilmu konseling yang mendukung kunjungan jemaat.
Kasus Kelima:
Pendeta dalam Organisasi yaitu Masalah Konflik Antar Pendeta
a) Realitas Masalah[20]
Tahun 2000 Pdt. Prof. Dr. Abraham Alex Tanuseputra, Ph.D minta agar pdt Ir. Leonard Limato, M.A. menjadi sekretaris pribadinya. Dari sinilah Leonard punya hubungan yang panjang dengan Alex. Secara administrasi Leonard-lah yang tercatat sebagai pendiri Bethany. Leonard-lah yang ke notaris. Saat itu Pendeta Alex memilih tidak bergabung ke Bethany. Menurut Leonard, Alex ingin tetap di gereja Bethel. Barulah ketika Alex dipecat dari GBI (Gereja Bethel Indonesia) pada 2003, Alex resmi bergabung ke Bethany. Tahun itu juga, di sidang raya Sinode Bethany Pendeta Abraham Alex dipilih sebagai ketua sinode. Leonard tetap sebagai sekretaris.
Alex meninggal dunia pada tanggal 6 Agustus 2020. Ia meninggal hanya selisih dua minggu dari meninggalnya Leonard, 26 juli 2020. Keduanya adalah pendeta dan pemimpin besar Gereja Bethany yang bertengkar tanpa berkesudahan. Saling pecat, saling gugat ke pengadilan dan saling lapor polisi. Kuasa hukum Leonard, G. Handiwiyanto menjelaskan soal “pengusutan dana gereja yang tidak pernah dilaporkan Pdt Abraham Alex Tanuseputra” dan berharap Alex “mau mengembalikan uang jemaat sebesar Rp 4,7 triliun yang diduga digelapkannya”.[21]
Konflik antarpendeta Gereja Bethany Surabaya ini sangat seru dan juga paling panjang. Konflik itu makin seru ketika pendeta Aswin Tanusaputra, anak kandung pendeta Alex Tanusaputra, jadi penengah.[22] Aswin melayangkan gugatan hukum kepada Alex lantaran mencabut jabatannya sebagai gembala jemaat secara tiba-tiba pada 28 Maret 2014 silam. Tak ayal, pihak tergugat Alex justru balik melayangkan gugatan (rekonvensi) kepada Aswin dan menuntut ganti rugi senilai Rp. 51.000.001.000.
b) Analisa Masalah
Gereja Bethany yang terletak di Nginden Surabaya adalah salah satu mimpi pdt Alex. Gereja ini termasuk gereja raksasa (megachurch) dan menjadi salah satu gereja terbesar di Indonesia dengan kapasitas 20.000 jemaat. Satu gereja raksasa ini bukanlah akhir dari mimpinya tetapi hanya satu dari 1000 gereja raksasa yang ingin dibangunnya.[23] Bukan hanya yang terbesar pdt Alex juga memimpikan gereja tertinggi di Indonesia, setinggi 500 meter, yang akan dinamai “Menara Doa”, dengan biaya sekitar Rp. 2,5 triliun. Sayang sekali, hingga kematiannya, gereja tertinggi ini belum terwujud karena kekurangan uang. Alex pernah berkata, “Karena Tuhan yang menyuruh, ya saya harus melangkah. Meski banyak anak-anak rohani yang meninggalkan saya.”[24]
Membangun gereja terbesar dan tertinggi dengan arsitektur dan disain yang mewah tentu menghabiskan biaya triliunan rupiah. Kebutuhan akan uang yang sangat besar ini menjadi akar permasalahan konflik antar pendeta di gereja Bethany. Alex tidak bisa memberikan laporan yang transparan dan akuntabel akan keuangan gereja. Tidak adanya laporan tersebut menggulirkan dugaan korupsi sebesar Rp. 4,7 triliun. Dari akar ini, tumbuhlah “batang, daun dan buah” konflik yang besar yang bagi jemaat gereja Bethany sebagai sesuatu yang memalukan.[25] Seorang anggota jemaat yang mengkoordinir forum Solidaritas Jemaat Bethany Karunia Allah, Santoso Tedjo berkata, “Perseteruan antar pendeta ini memalukan seluruh jemaat Bethany. Malahan umat Kristiani dimanapun. Apalagi permusuhan ini dilatarbelakangi oleh uang yang dalam Alkitab disebut Mamon atau uang”.[26]
c) Refleksi Teologis
Alex berkata, “Karena Tuhan yang menyuruh.” Perkataan ini dalam kalangan pentakostal karismatik adalah hal biasa. Sekalipun demikian, kita perlu memeriksa apa yang Tuhan katakan di dalam Alkitab. Dalam Alkitab, kita tidak pernah mendengar Yesus ingin membangun gereja yang terbesar dan tertinggi. Kabar baik yang Yesus beritakan adalah tentang kerajaan Allah[27], di mana Allah meraja atau memerintah melalui diri-Nya. Kerajaan Allah yang Yesus nyatakan jauh sekali dari “gereja terbesar dan tertinggi”. Yesus Sang Raja adalah Raja yang penuh kuasa dan kasih yang melayani sesama sehabis-habisnya dengan memberikan nyawa-Nya. Yesus Raja dan kita anak Raja yang mengikuti apa yang diperintahkan-Nya. Ide “anak Raja” di sini berlawanan dengan ide “anak Raja” teologi sukses atau kemakmuran.
Kerajaan Allah bersifat performatif, artinya Kerajaan Allah adalah performa Allah yang di dalamnya kita berpartisipasi secara aktif.[28] Sebagai anak Raja, kita juga adalah murid yang berpartisipasi aktif. Kebaikan-kebaikan yang diajarkan oleh Yesus, salah satunya adalah Kotbah di Bukit, menjadi karakter kita sebagai murid-Nya. Dalam Kotbah di Bukit, Yesus berkata, “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Matius 6:24). Allah yang mencukupi kebutuhan hidup kita, bukan memuaskan keinginan kita. Membangun “gereja terbesar dan tertinggi” bukan perkara kebutuhan hidup tetapi memuaskan keinginan. Membangun “gereja terbesar dan tertinggi” adalah performa kita, bukan performa Allah. Dan dalam sejarah kita melihat bahwa performa Alex runtuh seperti menara Babel.
Dalam Kotbah di Bukit, Yesus juga mengatakan, “Mat 7:12, Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi”. Perkataan Yesus ini disebut sebagai the golden rule yang dijelaskan lebih detail dalam hukum kasih (Matius 22:37-40). Kita sama sekali tidak melihat kasih dalam konflik antar pendeta dalam kasus ini. Semua mengutamakan kepentingan (atau performa)-nya sendiri dan mengandalkan kekuasaan dirinya. Ini kepemimpinan yang jauh dari etika Kerajaan Allah.
d) Rencana Aksi
- Karena pihak yang terlibat dalam kasus ini, baik pdt Alex dan pdt Leonard, sudah meninggal dunia, tentu makna dari kasus ini adalah sebuah pelajaran, yaitu pelajaran tentang kepemimpinan, uang dan kekuasaan. Kepemimpinan yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dibanding dengan kepentingan Kerajaan Allah dan jemaat, dapat jatuh dalam pusaran kekuasaan dan uang. Sekalipun sebagai pemimpin atau pendeta besar, mereka adalah sama-sama murid yang seharusnya mengikuti Yesus.
- Gereja perlu memiliki sistem yang transparan dan akuntabel soal keuangan. Dari sejak kecil, sifat transparan dan akuntabel perlu dilakukan, sehingga setelah besar gereja tidak seperti “orang yang kagetan”. Soal uang adalah soal yang sensitif dan bersifat universal, artinya siapa saja bisa jatuh ke dalamnya. Jangan berpikir bahwa pendeta adalah orang suci yang bisa bebas dari jeratan permainan uang ini. Semua perlu saling menjaga dan bersedia menerapkan sistem yang transparan dan akuntabel.
- Jemaat perlu dilatih untuk berpikir mandiri dan mengkritik pendeta yang melangkah di jalan yang salah. Ini bukan menghakimi dengan sebuah keputusan final, tetapi sebuah bentuk partisipasi yang konstruktif, saling membangun satu dengan yang lainnya di dalam satu Kerajaan Allah. Jika kritik menempuh jalan buntu, jalan hukum pun boleh ditempuh dengan sikap dasar untuk mengasihi dan menegakkan kebenaran, dan bukan dengan sikap ingin menghancurkan orang lain. Etika Kerajaan Allah tetap diutamakan tatkala kita menempuh proses hukum.
———————————————-
- Deskripsi realitas masalah bersumber, terutama, dari Hilda Meilisa, “Gaya Hidup Mewah Pendeta yang Cabuli Jemaat Selama 6 Tahun Disorot Warganet”, https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4935990/gaya-hidup-mewah-pendeta-yang-cabuli-jemaat-selama-6-tahun-disorot-warganet (diakses pada 26/11/2021, pukul 20:21) dan situs https://hfc.id/home.php. Melayani ke Eropa selama kurang lebih 18 bulan, antara tahun 1983 – 1985 dan studi di Amerika antara tahun 1985 – 1989. “GBI HFC” disebut dalam https://hfc.id/v4/app/profile.php (diakses pada 27/11/2021, pukul 18:02). Tetapi, di Wikipedia tertulis “dari tubuh Sinode GBI juga lahir beberapa sinode-sinode baru”, antara lain Gereja Happy Family Center, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Bethel_Indonesia. ↑
- Yasraf A. Piliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya melampaui batas-batas kebudayaan, (Bandung: Matahari, 2011), Edisi Ketiga, h. 89. ↑
- ibid., h. 91. ↑
- Herlianto, Teologi Sukses: Antara Allah dan Mamon (Jakarta: Gunung Mulia, 2016), Cet. ke-8, h. 80-86. ↑
- Emanuel Gerrit Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21 (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 118. ↑
- Sumber utama dari “Selingkuhi Bendahara Gereja, Pendeta di Bekasi Dibui 6 Bulan”, https://news.detik.com/berita/d-2725837/selingkuhi-bendahara-gereja-pendeta-di-bekasi-dibui-6-bulan (diakses pada 28/11/2021, pukul 8:45) dan “Selingkuhi Bendahara, Pendeta GKII Bekasi AAP, Dihukum MA 6 Bulan”, http://www.barajatim.com/2014/10/selingkuhi-bendahara-pendeta-gkii.html?m=1 (diakses pada 28/11/2021, pukul 8:43). Kedua artikel itu tanpa penulis. LR (barajatim.com) sama dengan LS (detik.com). Di detik.com, yang curiga adalah istri AAP, sedangkan di barajatim.com suami LR. Istri yang curiga dengan perilaku suaminya lalu mencari jejak perselingkuhan AAP. Setelah didapati bukti-bukti check in hotel, sang istri lalu mempolisikan AAP. Untuk mendesak proses penyidikan, sang istri juga mengantongi surat dari Komnas HAM untuk mempercepat kasus itu. ↑
- Nahi, “Mengupas Arti “Witing Tresno Jalaran Soko Kulino””, https://www.kompasiana.com/nahi6731/5d1d670e097f3663a13893f2/mengupas-arti-witing-tresno-jalaran-soko-kulino (diakses pada 28/11/2021, pukul 9:33). ↑
- Aplikasi dari filsafat hermeneutik Gadamer. Lih, Martin G. da Silva Gusmao, Hans-Georg Gadamer:Penggagas Filsafat Hermenutik Modern yang Mengagungkan Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 114. ↑
- BP, “Studi Kata: Nikah, Pernikahan”, https://www.sarapanpagi.org/nikah-pernikahan-vt4295.html#p26979, (diakses pada 28/11/2021, pukul 11:17) ↑
- Anne K. Hershberger, Seksualitas: Pemberian Allah, Terj. B.H. Nababan dan P. Lumbantobing, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), h.30. ↑
- Kasus diringkas dari Team Penulis SEAGST Institute of Advanced Pastoral Studies bersama dengan Panitia Metode Studi Kasus Jawa, Studi Kasus Pastoral III Jawa (Jakarta: Gunung Mulia, 1990), h. 117-119 ↑
- Ekspresionline, “Patriarki dalam Citra Perempuan Jawa”, https://ekspresionline.com/patriarki-dalam-citra-perempuan-jawa/ (diakses pada 28/11/2021, pukul 18:38). ↑
- Bp, “Perempuan – Ezer Kenegdo”, https://www.sarapanpagi.org/perempuan-ezer-kenegdo-vt6683.html (diakses pada 28/11/2021, pukul 18:54) ↑
- ibid.. ↑
- Daniel Ronda, Gembala sebagai Pemimpin Rohani (Bandung: Kalam Hidup, 2020), h. 6-7. ↑
- SEAGST, op.cit., h. 214-215. ↑
- Agus Wiyanto, Rapor Merah Pendeta, (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2010), h. 75-78. ↑
- Daniel Ronda, op.cit., h.43. Bagian aksi ini banyak mengikuti pendapat Ronda. ↑
- [Admin], “5 Alasan Kunjungan Pastoral Tak Tergantikan”, https://www.pastordepan.com/5-alasan-kunjungan-pastoral-tak-tergantikan/ (diakses pada 29/11/2021, pukul 19:20). ↑
- Dahlan Iskan, “Alex Susul Leonard”, https://www.disway.id/r/1029/alex-susul-leonard# (diakses pada 29/11/2021, pukul 12:29). ↑
- “Dugaan Skandal Gereja Bethany Surabaya, Pendeta Gelapkan Dana Jemaat Rp 4,7 Triliun” (diakses pada 29/11/2021, pukul 13:19) dan Achmad Faizal, “”Dugaan Korupsi Dana Gereja Rp 4,7 Triliun, Jemaat Saling Lapor”, https://nasional.kompas.com/read/2013/03/11/19424221/~Regional~Jawa (diakses pada 29/11/2021, pukul 13:20) ↑
- Mma, “Dua Pendeta Bethany Saling Pecat, Ayah-Anak Saling Gugat, Tulisan Dahlan Iskan Viral”, https://bangsaonline.com/berita/86926/dua-pendeta-bethany-saling-pecat-ayah-anak-saling-gugat-tulisan-dahlan-iskan-viral (diakses pada 29/11/2021, pukul 12:49). ↑
- Dahlan Iskan, “Mimpi Pendeta Alex”, https://www.ngopibareng.id/read/mimpi-pendeta-alex-491428 (diakses pada 29/11/2021, pukul 17:09). ↑
- “Menara Doa Jakarta dan Perang Salib”, https://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2004/05/08/2495/menara-doa-jakarta-dan-perang-salib.html (diakses pada 29/11/2021, pukul 17:19) ↑
- Budhi Marpaung, “Jemaat Bethany Malu Abraham Alex dan Leonard Limato Berkonflik”, https://www.jawaban.com/read/article/id/2013/04/03/90/130403173521/jemaat_bethany_malu_abraham_alex_dan_leonard_limato_berkonflik/page/1 (diakses pada 29/11/2021, pukul 17:35). ↑
- Ibid.. ↑
- Glen H. Stassen dan David P. Gushee, Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini, Terj. Peter S. Wong, (Surabaya, Momentum, 2013), Bab 1, h. 3. ↑
- ibid., h. 5. ↑