5 STUDI KASUS PENGGEMBALAAN
PROGRAM PASCA SARJANA
NAMA MAHASISWA : DAUD
MATA KULIAH : TEOLOGI PASTORAL
TUGAS : 5 STUDI KASUS PENGGEMBALAAN
KASUS I : KHOTBAH GEMBALA
- Realita Masalah
Dalam pengalaman pelayanan penulis, khotbah gembala merupakan bagian penting yang selalu menjadi sorotan utama jemaat. Bahkan, seringkali khotbah gembala menjadi barometer baik atau pun tidak kualitas diri seorang gembala. Gembala yang berkhotbah dengan daya tarik komunikasi yang baik dan berkhotbah dengan menarik, cenderung sangat diminati dan disukai oleh anggota jemaat. Sebaliknya, khotbah yang membosankan dan tanpa daya tarik menjadikan jemaat mengantuk membuat suasana menjadi lesu dan tidak bergairah.
Berdasarkan realita masalah tersebut beberapa masalah yang muncul seputar khotbah gembala, yakni jika khotbah gembala itu baik dan menarik maka akan sangat memberkati, memuaskan, dan memberikan semangat bagi jemaat. Dan jika, khotbah gembala sukar dipahami, terlalu lama, membosankan, tidak ada humor alias hanya terpaku dan tegang saja, dengan pembahasan yang tidak kreatif seperti hanya presentasi dari isi dengan cara penyampaian yang monoton, di situlah khotbah gembala menjadi tidak diminati karena tidak ada daya tariknya. Karena itu, berkhotbah merupakan salah satu tugas berat seorang gembala yang harus sungguh-sungguh dipersiapkan dengan baik dan kemudian juga disajikan dengan menarik di hadapan jemaat.
- Analisa masalah
Menurut Daniel Ronda, masalah utama dari khotbah gembala adalah komunikasinya. Karena itu dalam berkhotbah, gembala harus memperhatikan beberapa hal, yakni penggunaan sumber yang tepat untuk menggali isi Alkitab, khotbah harus aplikatif bagi jemaat, dan cara menyampaikan khotbah harus koheren atau beraturan sehingga jemaat dapat mengikutinya dengan baik.
- Refleksi Teologis
Secara teologis, pertama bahwa berkhotbah adalah menyampaikan berita Injil, kabar sukacita, dan manifestasi kuasa Allah dalam firman-Nya. Dalam 2 Timotius 4:2 disebutkan “Beritakanlah firman Tuhan, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.” Dengan demikian, seharusnya seorang gembala bertanggungjawab dengan sungguh-sungguh dalam mempersiapkan khotbahnya dengan baik, lalu menyajikan berita firman Tuhan itu dengan menarik sehingga mendapat atensi dari jemaat.
Kemudian hal yang kedua, yakni berkhotbah adalah menyajikan atau memberi makanan rohani bagi jemaat. Prinsip ini jelas sekali dinyatakan oleh Yesus Kristus bahwa manusia hidup bukan hanya dari roti saja, melainkan dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah (Matius 4:4). Karena itu, seorang gembala wajib mempersiapkan “menu” terbaik, yang fresh dan segar untuk disajikan kepada jemaat, agar kemudian jemaat dapat merasakan kepuasan karena telah mendapatkan “makanan rohani” yang mengenyangkan mereka. Dalam hal ini, Daniel Ronda juga berkata, “… gembala wajib menyiapkan makanan sehat dan bergizi. Makanan itu tidak boleh diulang-ulang, dipanaskan terus menerus, sebaliknya harus sehat dan menumbuhkan kerohanian.”
- Rencana Aksi
Salah satu tugas yang sangat berat bagi gembala adalah menyiapkan khotbah dan menyampaikan khotbahnya. Gembala harus menyiapkan khotbahnya sepanjang minggu, baik untuk hari Minggu maupun hari lainnya seperti ibadah doa, keluarga, ibadah kategorial dan syukuran atau acara khusus lainnya. Karena itu, gembala wajib berdoa dan kemudian menyusun tema khotbah berkala, yakni tahunan, bulanan, dan mingguan. Tema perlu disertai dengan teks Alkitab untuk mengarahkan seluruh komunikasi rohani kepada kehendakTuhan yang bertujuan agar iman jemaat bertumbuh. Dalam Menyusun tema, gembala dapat melibatkan asisten ataupun pengurus jemaat. Gembala dan tim harus menggumulinya dalam doa supaya gembala mampu melihat pergumulan rohani jemaat sehingga benar-benar dapat menyusun tema yang mampu menjawab kebutuhan dan pergumulan jemaat, baik berkaitan dengan masalah ekonomi, konflik dalam keluarga, masalah dalam pekerjaan, bahkan pergumulan dosa mereka di hadapan Tuhan.
Gembala dapat juga menyajikan kitab-kitab yang akan dibahas dengan pendekatan eksposisi dan dilakukan secara bersambung. Demi menghindari penyampaian secara asal, maka pengkajian eksposisi ini dapat dilakukan dalam bentuk Pendalaman atau Penelaahan Alkitab (PA) yang dapat dilakukan pada setiap week day. Beberapa Hal teknis yang perlu diperhatikan gembala dalam mempersiapkan khotbah adalah fokus. Hindari hal-hal yang mengganggu seperti sambil nonton televisi atau berinteraksi sosial menggunakan handphone. Perlu menggunakan waktu yang cukup 1-2 jam tanpa terganggu oleh apa pun saat mempersiapkan khotbah. Waktu khusus ini sangat dibutuhkan, agar gembala dapat berkonsentrasi dan mendapat afirmasi bahwa yang ia sampaikan menjadi jawaban bagi kebutuhan jemaat.
Dalam menyajikan materi yang sudah disiapkan juga tentu bukan pekerjaan yang mudah. Tema bisa saja sangat bagus dan cocok untuk disampaikan. Namun, cara menyampaikannya juga memerlukan keahlian khusus supaya tidak terkesan monoton dengan argumentasi dan suara yang telah lama didengar. Lary King, seorang pembicara sukses selalu melatih kemampuan berbicara di depan publik sehingga kemudian ia menjadi seorang pembicara kompeten yang sangat fasih ketika menyampaikan materi-materi seminar. Gembala juga perlu keahlian komunikasi intrapersonal agar pesan firman Tuhan yang disampaikan diterima dengan baik. Tentunya, semua itu bermula dari kesungguhan hati untuk mempersiapkan khotbahnya, menggumuli dan mendoakannya, lalu menyajikannya dengan dengan baik. Khotbah adalah saat dimana Tuhan melawat kehidupan jemaat agar hatinya tersentuh oleh firman Tuhan. Jemaat yang mengalami lawatan dan sentuhan Tuhan pasti dapat membawa kemajuan gereja sehingga program-program pelayanan pun dapat terlaksana dengan maksimal. Khotbah yang baik, pasti memberkati, sehingga jemaat bertumbuh, dan Tuhan dimuliakan.
KASUS II : KEPEMIMPINAN GEMBALA
- Realita Masalah
Gereja Kemah Injil Indonesia dalam fakta yuridisnya berdasarkan AD/ART pasal VII poin 4a nomor 6 menempatkan ketua BPJ adalah gembala, yang berarti bahwa posisi ketua dalam hal ini selaku pemimpin gereja yang menggembalakan dan memimpin jemaat. Persoalan yang perlu untuk dikaji dengan baik adalah apakah gembala sebagai pemimpin umat telah benar-benar menjalankan kepemimpinannya dengan hati gembala (herding leadership) atau gaya “herder” (analogi anjing jenis herder)? Masalah ini muncul karena memimpin bukanlah sesuatu yang sederhana, tetapi rumit sehingga sangat memerlukan karunia khusus dari Tuhan. Kompleksitas dalam kepemimpinan telah berdampak kepada adanya pemimpin yang kesulitan dan kebingungan untuk menerapkan prinsip kepemimpinan dan lebih memilih zona nyaman dengan cara “herder” yaitu gaya otokratik dan bahkan kekerasan.
Daniel Ronda mengutip tulisan Sonny Eli Zaluchu dalam tulisannya tentang Intrik di Dalam Gereja mengatakan bahwa “Kelemahan kepemimpinan gembala biasanya ditandai dengan sejumlah aktifitas yang cenderung memaksakan kehendak, gaya penggembalaan yang tidak berkenan, mulut yang tidak terkontrol, menguatnya pengaruh dan intervensi orang-orang tertentu di dalam keputusan gembala (orang kuat, anak, menantu), visi yang lemah, doa yang kurang dan sikap yang mencerminkan kekunoan (seperti plin-plan, tidak mau mengakui kesalahan dan sikap tidak mau tahu). Hal yang paling utama adalah gembala yang tidak mau berubah dan selalu tertutup menerima masukan karena menganggap diri benar. “ Jalan ini seringkali diambil karena paling “aman” yaitu adanya anggapan bahwa para pengikut atau jemaat tidak perlu tahu. Namun seperti yang kita sudah ketahui bersama, model dari kepemimpinan “herder” ini menghasilkan kehancuran baik diri sendiri maupun organisasi yang dipimpinnya.
- Analisa Masalah
Masalah utama yang terjadi pada beberapa gembala selaku pemimpin gereja adalah berawal dari rendahnya kualitas hubungan (relationship) dengan orang-orang yang dipimpin dan juga hubungan dengan rekan-rekan (interpersonal relationship). Relasi yang tidak baik dapat menimbulkan sikap pesimis terhadap kemajuan organisasi yang dipimpin, bahkan menimbulkan sikap antisosial, skeptis, tidak ramah, otoriter, dan cenderung ambisius. Masalah tersebut, tentu sangat kontradiksi dengan prinsip kepemimpinan gembala. Pada umumnya, apapun kategori pemimpin yang muncul karena disengaja atau pun tidak, baik melalui pendidikan formal, training, dengan berbagai kemampuan memimpin dan manajerial, tetapi memiliki kelemahan yang sangat substantif kalau tidak memiliki kepemimpinan gembala yaitu hubungan (relationship).
Daniel Ronda juga mengutip tulisan Kouzes dan Posner berkaitan dengan kepemimpinan yang efektif sebagaimana yang ditemukan dalam riset mereka bahwa “kepemimpinan adalah hubungan (leadership is a relationship)”. Mereka berdua berkata, “Kepemimpinan adalah sebuah hubungan. Kepemimpinan merupakan hubungan antara mereka yang terpanggil untuk memimpin dan mereka yang memilih untuk mengikuti. (Versi Inggrisnya: Leadership is a relationship between those who aspire to lead and those who chose to follow. Sometimes the relationship is one-to-many. Sometimes it’s one-to-one. But regardless of whether the number is one or one thousand, leadership is a relationship).” Daniel juga menegaskan sebagaimana diungkapkan oleh Dr Stacy Rinehart dalam bukunya Upside Down yang berkata: “Banyak orang sudah tahu resep Yesus untuk sukses kepemimpinan yaitu ‘Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya (Markus 10:43-44)’, tetapi ketika hal ini hendak diterapkan dalam hal praktis, banyak pemimpin tidak mau memakai nasehat Yesus ini dan malahan menerapkan tren kepemimpinan duniawi”. [“Most believers are familiar with Jesus’ recipe for leadership success (“Whoever wants to become great among you must be your servant, and whoever wants to be first must be slave of all” [Mark 10:43-44 NIV]), but when it comes to putting that into practice, many leaders are content to leave Jesus’ advice on a dusty road in Galilee and follow society’s leadership trends.”] Banyak pemimpin mencoba mengikuti tren kepemimpinan dan melupakan prinsip Yesus tentang kepemimpinan gembala.
- Refleksi Teologis
Yakob Tomatala mendefenisikan kepemimpinan Kristen ialah “Suatu proses terencana yang dinamis… yang di dalamnya oleh campur tangan Allah. Ia memanggil bagi diri-Nya seorang pemimpin umatNya (suatu institusi/organisasi) guna mencapai tujuan Allah (yang membawa keuntungan bagi pemimpin, bawahan, dan lingkungan hidup) bagi dan melalui umatNya, untuk kejayaan kerajaanNya. Tomatala menjelaskan bahwa presuposisi utama dalam kepemimpinan Kristen ialah Allah yang berinisiatif dalam campur tanganNya pada seluruh proses terencana dan dinamis, karena proses ini harus mengatasi dosa, atau terlaksana/berjalan tanpa dosa. Kepemimpinan Kristen juga menekankan aspek pelayanan kepada Allah, Gereja dan Penginjilan Dunia.
Umat Allah sebagai orang yang dipimpin memiliki tanggung jawab integral untuk terlibat dalam pelayanan yang dipercayakan kepada setiap individu. Tujuan utama dari semua pelaksanaan pelayanan tersebut adalah bermuara kepada tujuan yang dicanangkan oleh Allah, bahwa untuk apa gereja ada, yakni membawa kemuliaan bagi nama-Nya serta mendatangkan keuntungan bagi pemimpin dan orang (kelompok atau organisasi) yang dipimpinnya. Penjelasan-penjelasan tersebut tentu memiliki dasar teologi yang kuat karena firman Tuhan sendiri di Yohanes 4:23-24 dan Kisah Para Rasul 13:1-2 mengungkapan bahwa kepemimpinan gembala memiliki tanggung jawab khusus untuk mengusahakan suasana penyembahan dan memimpin jemaat untuk melayani Tuhan.
Yesus menyebut diri-Nya Gembala yang Baik yang mengumpulkan kawanan domba, memeliharanya, mengenalinya, dan menyelamatkannya ketika domba-domba itu tersesat, dan menyerahkan nyawa-Nya karena mereka (Yohanes 10:2-16). Dan Ia konsisten menjadi Gembala Agung (Ibrani 13:20; 1 Petrus 5:5). Menzies dan Horton mengemukakan “Para gembala sidang adalah gembala bawahan, yang mempunyai pelayanan dan tanggung jawab untuk memelihara dan melindungi kawanan domba Allah dan juga harus menjadi teladan bagi domba-domba itu.” Pada bagian lain, Yesus pun berkata kepada Petrus sebanyak tiga kali dalam Yohanes 21:15-17 “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Perkataan tersebut merupakan perintah langsung kepada Petrus untuk menjalan tugas kepemimpinan dengan memberikan tuntunan, bimbingan, pengajaran, mengayomi, dan menjalin hubungan dengan umat Tuhan yang dipercayakan kepadanya untuk dipimpinnya.
- Rencana Aksi.
Implementasi kepemimpinan gembala dapat diuraikan dalam beberapa prinsip penting, yakni:
- Hubungan dengan umat Tuhan. Pendekatan kepemimpinan terbaik adalah mulai dari hubungan yang baik, yang dimiliki oleh gembala dengan orang-orang yang dipimpin serta dengan mereka yang bersama-sama memimpin dengannya (relationship-interpersonal). Hal ini sangat penting karena hubungan yang baik dapat menciptakan suasana nyaman, ikatan emosional yang kuat, perasaan memiliki, keramahtamahan, bahkan saling menghargai dan memberikan dukungan. Kondisi yang demikian jelas akan menimbulkan semangat dan sikap optimis untuk merumuskan program-prgram pelayanan untuk membawa organisasi yang dipimpin mengalami kemajuan dan perkembangan.
- Panggilan untuk mengasihi. Kasih merupakan landasan utama kepemimpinan gembala karena sebagaimana yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus sendiri bahwa mengasih adalah perintah utama dan pertama dari seluruh perintah yang tercantum dalam Alkitab (Matius 22:37-38). Mengasihi artinya memberikan sesuatu yang dimiliki untuk dibagikan kepada orang lain, dan diberikan dengan tulus dan ikhlas tanpa alasan atau motivasi apapun.
- Panggilan melayani. Sekali lagi mengutip tulisan dari Menzies dan Horton bahwa ketika para gembala ditahbiskan, merupakan pengakuan gereja kalau Allah telah memberikan suatu pelayanan kepada mereka dan mereka dengan setia melayani dalam panggilan mereka. Mereka yang telah dipanggil untuk pelayanan khusus hendaknya tidak berusaha untuk menduduki posisi tertinggi, tidak juga mencari kemasyuran, kuasa duniawi, atau hak istimewa. Sebaliknya pelayanan penuh kasih, setia, rendah hati, memberikan diri mereka kepada Tuhan dan kepada orang lain akan menjadi wujud nyata adari semua perbuatan-perbuatan mereka
- Panggilan untuk menjadi teladan. Membangun hubungan, mengasihi, dan melayani sungguh merupakan prinsip-prinsip dasar dalam kepemimpinan gembala. Namun, keteladanan hiduplah yang memberikan nilai kekal kepada seorang gembala yang telah berhasil melaksanakan tugas dan tanggung jawab kepemimpinannya. Rasul Paulus dalam 1 Timotius 4:12 berpesan kepada Timotius supaya ia menjadi teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataan, dalam tingkah laku, dalam kasih, dalam kesetiaan dan dalam kesucian. Paulus sangat menekankan tentang penting keteladanan hidup supaya tidak seorang pun menganggap ia rendah meski pun ia adalah seorang pemimpin muda yang masih dikategorikan minim pengalaman dalam pelayanan.
Predikat sebagai pemimpin sejati sungguh akan melekat pada diri seorang gembala yang mampu memberikan totalitas pengabdiannya kepada umat Tuhan dengan menjadi contoh dan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan hidup merupakan integritas diri yang menjadi penopang bagi gembala dalam kepemimpinan. Keteladanan akan menjadi pengikat bagi kokohnya sebuah hasil karya yang akan senantiasa dihargai dan dihormati oleh mereka yang dipimpinnya, bahkan sampai kepada akhir hayat.
KASUS III : INTEGRITAS GEMBALA
- Realita Masalah
Ada anggota jemaat berkomentar, “Bapak gembala A sangat pandai mengajar dan berkhotbah. Saya selalu diberkati mendengar pengajaran dan khotbah-khotbah beliau. Tetapi dalam keseharian beliau sangat jauh dari sikap dan perilaku “menjadi pelaku firman”. Segala sesuatu yang beliau ajarkan dan khotbahkan sepertinya hanya untuk orang lain, tetapi tidak untuk dirinya. Dia bahkan tidak menunjukkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan firman Tuhan. Dia mengajar dan berkhotbah tentang kejujuran, tetapi dia sendiri malakukan tindak penipuan yang berkedok investasi simpan pinjam. Dia berkhotbah tentang kasih dan kesetian, tetapi hidup tidak menampakkan kasih dan kesetiaan. Di berkhotbah tentang pengampunan, tetapi ia memendam kepahitan dan kekecewaan yang tidak pernah berakhir. Dan banyak lagi hal-hal kontras lainnya yang mewarnai hidup dan pelayanan sang gembala tersebut, dimana antara pengajaran dan khotbahnya dengan perilaku hidup sehari-hari selalu kontras dan tidak pernah singkron.
- Analisa Masalah.
Menurut hemat penulis, yang terjadi dengan hamba Tuhan tersebut (tanpa menghakiminya), adalah masalah integritas diri dalam hubungan pribadi dengan Tuhan. Hubungan pribadi dengan Tuhan yang utama adalah lahir baru. Pribadi yang belum lahir baru tidak akan dapat menghasilkan perubahan dan gaya hidup baru yang sesuai dengan firman Tuhan. Meskipun ia terkesan fasih dalam berkata-kata, namun kedagingan kemanusiawiannya tidak dapat berkompromi dengan kebenaran sehingga tidak akan pernah dapat menghasilkan sikap yang singkron antara perkataan dan tindakan. Perkataannya benar, tapi perilakunya gagal untuk melakukan hal yang benar itu karena tidak ada kekuatan Ilahi yang memampukannya untuk melakukan. Ia berprestasi dalam berkata-kata karena bisa menjadi berkat bagi jemaat, tetapi prestasi itu seketika sirna saat jemaat tidak melihat perilaku yang benar dari kehidupan sang gembala.
Integritas juga sangat bergantung pada komitmen diri untuk taat dan hidup benar di hadapan Tuhan. Komitmen merupakan suatu kekuatan yang menjadi daya dorong untuk berjuang agar hidup ini menjadi berkat. Perilaku yang manandai dan menyertai perkataan itu akan lebih bersinar dan berdampak bagi jemaat.
- Refleksi Teologis.
Seorang yang sudah lahir baru adalah ciptaan baru (2 Korintus 5:17), sehingga ia pasti dapat menghasilkan buah kehidupan yang sesuai dengan pertobatannya (Matius 3:8; Lukas 3:8). Buah pertobatan sebagaimana dalam Galita 5:22-23 yakni kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri akan selalu nampak dalam kehidupan pribadi orang yang telah lahir baru, dan Yesus berkata bahwa buah itu tetap (Yohanes 15:16). Sebaliknya, sesorang yang tidak lahir baru, tidak akan pernah bisa menjadi pribadi yang berintegritas, dimana hidupnya menunjukkan kesesuaian antara perkataan dan Tindakan. Karena itu, hubungan pribadi dengan Tuhan oleh kelahiran baru sangat penting untuk dapat menjadikan seseorang memiliki integritas diri.
- Rencana Aksi.
- Inetgritas diri terjadi berawal dari pertobatan dan kelahiran baru. Jangan terjebak dengan penampilan luar, fasih berbicara, pendidikan teologi yang tinggi, pengetahuam yang luas tentang Alkitab atau pun kepandaian memimpin dan berorganisasi. Lahir baru adalah syarat mutlak bagi seorang gembala supaya sungguh-sungguh menjadi gembala transformatif yang memimpin berpusatkan Kristus. Lahir baru menjadikan gembala memiliki kewibawaan rohani, hidup penuh Roh Kudus sehingga dapat mengimpartasi kehidupan orang-orang di sekitarnya.
- Pimpinan organisasi yang melihat kondisi gembala yang tidak memiliki integritas diri perlu menasihati gembala tersebut. Prinsip menasihati tentu dilaksanakan dengan model yang Yesus ajarkan dalam Matius 18:15-17, yakni mulai dengan memberi teguran secara empat mata. Jika tidak didengarkan, dapat membawa saksi yang kredibel dan memiliki kapasitas untuk membantu memberikan nasihat dan teguran. Apabila tetap juga tidak didengarkan, dan tidak terjadi perubahan, maka layak untuk disampaikan persoalannya di hadapan jemaat, untuk kemudian diambil langkah dan tindakan tegas terhadap yang bersangkutan.
- Pimpinan organisasi, atau pun seorang tokoh senior yang dapat dipercaya dapat menjadi mentor bagi si gembala. Mulai mengingatkannya kembali tentang arti hidup yang sesungguhnya di dalam Tuhan. Mendoakannya, dan mengajaknya untuk melihat rencana besar Allah bagi kehidupannya terutama dalam pelayanannya kepada Tuhan.
- Sebagai gembala, mungkin telah mengalami kelahiran baru, namun perlu diingat bahwa tantangan dan godaan selalu ada dan dapat saja sewaku-waktu menjatuhkan dan merusak integritas diri. Hal yang perlu dilakukan, mengutip yang Daniel Ronda tulis dalam bukunya “Gembala sebagai Pemimpin Rohani”, yakni membangun spiritualitas yaitu suatu relasi atau hubungan yang akrab (intimacy) dengan Tuhan. Hal itu dapat dilakukan dalam bentuk narasi yang komunikatif, ritual, penyembahan (pujian), perintah, dan teladan, baik dengan ritual seremoni, ibadah, relasi dalam doa, serta displin dalam membaca firman Tuhan. Ketaatan scara pribadi dan komitmen hidup yang memberkati tentu dapat melahirkan integritas diri yang berkesinambungan.
KASUS IV : PERAN GEMBALA DI MASA PANDEMI
- Realita Masalah
Pada akhir tahun 2019 dan memasuki tahun 2020, dunia digemparkan dengan kemunculan pandemi covid-19 yang disebabkan oleh Virus Corona. Virus pada awal kemunculannya sangat menakutkan bagi kehiduan manusia karena penyebarannya sangat cepat dan mematikan. Termasuk Indonesia juga menghadapi situasi ini, tercatat pertanggal 19 Maret 2020, terdapat 309 kasus positif dan terus bertambah sepanjang tahun 2020 sampai pada akhir tahun 2021. Lalu, pemerintah menghimbau dan mengeluarkan sebuah kebijakan yakni social distancing/physical distancing, menghindari kerumuman untuk menimilisir penyebaran Covid-19 dan juga penerapan protokol kesehatan. Masyarakat Indonesia secara khusus bagi warga gereja dengan anjuran tersebut ada yang mematuhi dan ada juga yang mengabaikan kebijakan itu. Gereja sendiri tidak luput dari serangan wabah covid-19, sehingga ibadah-ibadah ditiadakan sementara dengan alternatif ibadah di rumah dan ibadah secara online.
- Analisa Masalah.
Masalah yang sangat rumit adalah dimana pandemi covid-19 yang terus mengekang kehidupan manusia termasuk kehidupan berjemaat. Dengan adanya virus corona ini, ibadah di gereja digantikan dengan ibadah di rumah. Gembala sebagai pemimpin umat ditantang untuk berpikir keras agar ibadah tetap berlangsung dan terus berkembang serta jauh dari ancaman kemerosotan nilai rohani dan spiritualitas. Ketika krisis COVID-19 berlarut-larut, banyak pemimpin gereja merasa lelah, putus asa, dan cemas terkait efek jangka panjang dari pandemi ini. Para gembala mencari cara agar dapat menerapkan peran dan tujuan yang alkitabiah untuk pelayanan pastoral dalam konteks yang berubah secara radikal seperti ini. Sementara itu, jemaat mengeluhkan pelayanan gembala yang tidak lagi maksimal karena pembatasan sosial bahkan karena ketakutan dalam berinterkasi demi agar tidak terpapar covid-19.
Pelayanan di tengah situasi demikian sangat membutuhkan gembala yang bijak, yang bersedia mengambil tanggung jawab atas tugas mereka dalam bentuk yang baru dan kekinian. Sementara tujuan dan definisi dari pelayanan pastoral tidak berubah, namun konteks seputar penggembalaan telah bergeser secara dramatis, berubah dengan cara yang tidak mungkin kelihatan saat masih berada di tengah-tengah pandemi. Para gembala kini diperhadapkan pada tugas yang tidak biasa: menggembalakan umat Tuhan dari kejauhan. Pelayanan yang semestinya dilaksanakan secara fisik, kini harus terjadi di dunia maya. Undangan ibadah syukur dan kunjungan mendoakan yang sakit dilaksanakan dengan video, WA, SMS, dan panggilan telepon yang sangat sibuk.
Pekerjaan yang dulunya bergotong royong di tempat, kini didominasi oleh perangkat elektronik. Dalam situasi ini, para gembala diharapkan bisa beradaptasi dengan cepat dan berlanjut tanpa batas waktu. Media sosial telah menjadi pilihan utama bagi para gembala dan pemimpin gereja untuk memenuhi kebutuhan unik jemaat dengan lebih baik. Upaya-upaya kreatif untuk memelihara anggota jemaat dilakukan dengan banyak cara seperti pertemuan virtual menggunakan media Zoom dan menyampaikan firman Tuhan di depan kamera video di ruangan kosong. Melayani seluruh jemaat menjadi sangat menantang, sementara efek jangka panjang terhadap gembala jemaat masih belum jelas.
- Refleksi Teologis
Jika melihat realitanya, pandemi covid-19 merupakan penyakit sampar yang melanda dunia masa kini. Dalam Alkitab sendiri seringkali penyakit sampar melanda suatu negeri, dikarenakan kutuk atau pun tulah sebab murka Allah (1 Tawarikh 21:12, 14; Yeremia 44:13; Amos 4:10). Sementara di dalam Perjanjian Baru, penyakit sampar terjadi erat kaitannya dengan peristiwa penderitaan yang terjadi pra kedatangan Yesus yang kedua kali (Lukas 21:11). Apa pun indikator yang menyebabkan covid-19 itu terjadi, seharusnya hal itu telah menjadi sebuah peringatan penting bagi umat manusia, bahwa jika Allah mengijinkan sesuatu terjadi maka tidak ada kekuatan apapun yang dapat menahan ataupun menghentikannya, kecuali bila Allah sendiri yang menyelesaikannya.
Ketika bangsa Israel mengalami wabah penyakit sampar karena murka Allah terhadap mereka, dan hal itu memusnahkan semua sendi kehidupan mereka, ada peluang bagi mereka untuk dipulihkan. Ketika mereka bertobat, dan kembali kepada Tuhan, keadaan mereka dipulihkan. Peristiwa penyakit sampar atau pun pandemi covid-19, sudah semestinya mengingatkan manusia agar bertobat dan sungguh-sungguh mencari Tuhan. Keseriusan hidup dalam Tuhan juga merupakan bentuk dari kesiapan diri untuk menyambut kedatangan Kristus yang kedua kali, agar tidak turut dibinasakan bersama dengan iblis dan pengikut-pengikutnya.
Sisi positif yang diakibatkan oleh wabah Covid-19 tampaknya telah membuat keluarga-keluarga lebih memilki banyak waktu kebersamaan. Kehidupann doa dan persekutuan dengan Tuhan di rumah-rumah menjadi meningkat signifikan. Kebutuhan akan firman Tuhan telah memuncak tepat setelah Covid-19 dimulai dimana orang-orang yang mengalami trauma, beralih ke Alkitab untuk mendapatkan jawaban di saat-saat yang meresahkan, meskipun seringkali mereka berhenti membaca dengan setia setelah beberapa saat. Namun demikian, apa yang terjadi sekarang telah membuka ruang bagi respons masyarakat luas terhadap trauma untuk semakin menyadari pentingnya Tuhan dalam kehidupannya.
- Rencana Aksi
- Meningkatkan Intensitas Layanan Spiritual.
Pada saat mengalami cobaan dan kesulitan, banyak orang memerlukan dorongan agar memiliki semangat hidup. Dan hal ini dilakukan dengan alasan yang bagus, menurut sebuah penelitian baru. Masa pandemi covid-19 seharusnya menjadi peluang terbaik bagi para gembala untuk meningkatkan intensitas persekutuan, berdoa, dan membaca firman Tuhan di lingkungan gereja. Banyak orang sedang putus asa dan kehilangan pengharapan, karena itu situasi ini dapat dimanfaatkan oleh gembala untuk membenahi konstruksi iman jemaat dan membangun harapan serta semangat hidup mereka dengan mengajak jemaat bersekutu, berdoa, dan membaca firman Tuhan secara intens. Pelayanan ini dapat dilakukan setiap hari melalui media sosial, dan hasilnya menurut sebuah survei bahwa orang-orang yang dengan konstruksi iman yang kuat, memiliki pengharapan yang lebih baik daripada orang-orang yang kehidupan spiritualnya biasa-biasa saja. Donald A. Miller menulis, “Pengharapan tidak menyelesaikan masalah, tetapi pengharapan melihat ke depan kepada saat di mana keadaan akan berubah menjadi lebih baik.
- Mobilisasi Jemaat
Pada masa karantina atau pun isolasi karerna covid-19, hal pertama yang perlu dicapai oleh gembala yakni memastikan bahwa jemaat merasa dipedulikan. Pengharapan dan semangat hidup harus tetap dimiliki oleh pribadi dan keluarga jemaat. Tentu ada berbagai penderitaan lain yang dialami oleh jemaat. Ada yang masih menderita kanker, masalah pernikahan, masalah ekonomi, dan bahkan rusaknya hidup karena dosa. Covid-19 telah menambah tekanan baru bagi keputusasaan itu sendiri: ada lebih banyak jemaat yang menghadapi penyakit fisik, lebih banyak yang berduka karena kehilangan orang yang dicintai, lebih banyak yang tertatih-tatih karena kehancuran ekonomi, lebih banyak yang dibebani kecemasan dan depresi.
Perhatian kepada jemaat dalam situasi demikian sangat diperlukan. Namun, gembala bisa saja kelelahan dan tidak mampu melakukannya karena tingginya permintaan untuk dilayani. Tanggung jawab untuk memperhatikan dengan baik dari jauh bagi jemaat yang terluka sangatlah membebani, menguras emosi dan rohani. Ketika para gembala tidak dapat memakai sarana-sarana yang menurut orang paling meyakinkan—menatap mata, berdoa di samping tempat tidur, dan kehadiran secara fisik—lalu berusaha menjembatani kesenjangan fisik itu di saat penghiburan sangat dibutuhkan, semua itu terasa seperti tugas yang menakutkan dan sangat mungkin gagal. Dalam keadaan yang demikian, gembala perlu memobilisasi jemaat yang ditugasi untuk saling memperhatikan, berdoa, membangun komunikasi, kata-kata penyemangat, atau tindakan pelayanan terhubung dengan jemaat secara intens . Dwayne Milioni, pendeta Open Door Baptist Church di Raleigh, Carolina Utara, dan ketua dewan The Pillar Church Planting Network, telah mengalami dampak positif dari usaha gerejanya yang dilakukan secara intensional: “Kami benar-benar menemukan diri kami lebih terhubung dengan para anggota jemaat kami selama karantina.” Para pendeta mencurahkan diri mereka bagi para anggota jemaat, dan para anggota jemaat ini mengikuti dengan cara memperhatikan orang lain. Kesehatan rohani pun terjaga ketika jemaat dilibatkan. Banyak gereja telah bersatu padu menghadapi krisis, dan menemukan lebih banyak cara untuk memberdayakan para anggotanya.
Gereja Kemah Injil Indonesia Daerah Kota Samarinda telah sangat kreatif dalam menemukan cara-cara untuk melayani satu sama lain. Para relawan dan anak-anak muda mengirimkan bantuan membagikan paket kasih kepada penyintas covid-19, melalui platform daring yang belum pernah mereka gunakan sebelumnya para orang tua memberi teladan bagi orang-orang Kristen yang lebih muda untuk tetap mengucap syukur dan beriman. Kemurahan hati dalam memberi dana untuk diakonia, memberikan perhatian lewat telepon kepada sesama warga jemaat sangat membantu para gembala agar tidak memikul beban berat sendirian dalam memperhatikan jemaat selama krisis. Daya tahan para gembala meningkat ketika mereka tidak bekerja sendiri dan dengan bentuk pemerhatian yang terprogram. Mobilisasi pelayanan dengan memberdayakan anggota jemaat untuk menjadi pemerhati bagi sesama mendorong ditemukannya cara-cara strategis dalam menanggung beban di sekitar mereka.
- Mentoring
Kebutuhan untuk selalu terhubung sangat diperlukan pada masa-masa sulit seperti saat pandemi. Mentoring merupakan pelayanan pribadi ke pribadi dari pemimpin hingga anggota jemaat, baik secara fisik atau virtual menjadi cara yang diperlukan untuk memuridkan di masa kini. Namun, jabatan gembala sebagai pemimpin memberi kesan akan tanggung jawab yang menekan dan membebani mereka yang memegang peran itu. Karena itu, agar gembala memiliki hubungan yang sehat dan berkelanjutan dengan jemaat, maka diperlukan lebih banyak pemimpin yang bukan gembala atau pendeta untuk berperan dalam pelayanan rohani bagi pertumbuhan dan pendewasaan orang-orang lain. Pada saat ini, dibutuhkan gembala yang memperlengkapi para pemimpin itu untuk mengembangkan pemuridan melalui teknologi atau percakapan empat mata dengan sesama anggota. Pekerjaan ini terletak tepat dalam lingkup tanggung jawab pastoral untuk “memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh [Kristus]” (Ef. 4:12).
Untuk menjalankan tingkat tanggung jawab yang lebih tinggi di tengah masa ini, para gembala dapat memanfaatkan relasi-relasi dan struktur yang sudah ada dalam memberikan pemerhatian dan keterhubungan bagi para anggota jemaat, seperti melalui kelompok kecil atau pelayanan-pelayanan kategorial. Perlu upaya lebih banyak untuk melatih para pemimpin tentang cara mengajar dan melatih orang lain, dan upaya ini akan melipatgandakan pengaruh dalam jangka panjang. Untuk menghindari kelelahan di kemudian hari, sebagai genbala menjadi mentor bagi para calon pemimpin dan murid, serta berdoa bersama orang-orang yang dapat diberdayakan. Setelah para pemimpin ini diperlengkapi melalui proses mentoring, dapat diyakini bahwa para pemimpin akan menyuarakan kebenaran satu sama lain melalui pertemuan Zoom, pesan teks, dan saat berjalan-jalan di sekitar lingkungan, bahkan ketika gereja tidak dapat berkumpul secara langsung. Ketika pembatasan jarak sosial dihapus, para pemimpin yang diberdayakan ini juga memberikan harapan melalui banyak pertemuan yang lebih kecil, seperti di rumah-rumah, sampai adanya keleluasaan untuk pertemuan komunal yang lebih besar. Agar hal ini terjadi, para gembala harus mendorong para pemimpin untuk memelihara hubungan rohani yang membangun. Tugas ini membutuhkan kerendahan hati dan kebijaksanaan yang besar dari gembala sebagai mentor bagi berbagai pembinaan pemuridan yang terjadi di gereja.. Pendelegasian itu memang sulit, tetapi penting untuk keberlanjutan pastoral. Tanpa pemimpin yang banyak, maka beban pelayanan di masa ini akan terlalu banyak yang ditanggung. Upaya dan cara-cara kreatif untuk melatih sekumpulan anggota gereja agar menanggung beban pelayanan gereja bersama-sama pasti akan membantu kesehatan gereja setelah pandemi berlalu.
- Meningkatkan Sarana dan Media Pelayanan
Pelayanan pada masa-masa sulit seperti pandemi covid-19 sangat membutuhkan formulasi baru untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Tatanan liturgi dan format khotbah, serta ibadah-ibadah yang dilaksanakan secara daring, menjadi tantangan bagi gereja agar tidak terjadinya kekosongan pada jalannya kebaktian dan percakapan-percakapan yang terjadi setelah kebaktian. Kekosongan dapat membuat para gembala bergumul dengan tantangan mengenai formula apa yang perlu dipakai dalam kegiatan secara daring untuk jangka panjang: Haruskah kegiatan ini berisi pertemuan mingguan sebanyak mungkin, atau haruskah berfungsi sebagai pengisi saja untuk menunggu waktu sampai gereja dapat berkumpul bersama lagi secara fisik? Semakin lama potensi waktu menunggu sampai gereja dapat berkumpul kembali sepenuhnya, semakin besar kemungkinan para gembala akan memilih untuk menawarkan pengganti yang sesuai untuk berbagai elemen, seperti waktu tanya jawab secara langsung sebelum atau sesudah khotbah, webinar daring tentang topik-topik seperti depresi dan kecemasan, kutipan renungan harian atau mingguan dari pemimpin pastoral, kebaktian secara drive-in (kebaktian yang dilakukan di lapangan parkir dan jemaat beribadah dari dalam mobil masing-masing atau di kampung menggunakan toa dan jemaat mengikuti dari rumah masing-masing), atau bahkan khotbah siaran langsung oleh gembala atau pemimpin gereja untuk pertemuan di rumah-rumah. Setiap gereja, dan para gembala yang dipercayakan untuk pemeliharaannya, harus menentukan sejauh mana kegiatan-kegiatan daring atau pertemuan rumahan ini akan berlanjut ketika pertemuan masyarakat diizinkan untuk dibuka kembali.
Meski demikian, oleh anugerah Tuhan, tulisan ini akan bergerak jauh melampaui soal apakah mempertahankan atau meningkatkan kehadiran seseorang secara daring. Masa disorientasi ini dapat menumbuhkan kecerdikan dan kreativitas terkait cara melatih para murid—salah satu tema umum dari gereja yang sukses dan berkembang adalah keinginan untuk menemukan cara sederhana dalam menyaring kebenaran. Kelompok-kelompok kecil berkumpul dan membahas seputar tema dasar kebenaran Injil dan menghubungkan kebenaran itu dengan komunitas gereja, konteks saat ini, dan misi mereka di dunia. Beberapa sarana terbaik untuk melatih orang-orang adalah sarana-sarana yang mudah dipahami, diterapkan, dan diduplikasi untuk menumbuhkan harapan bagi masa depan gereja. Dengan memproduksi konten sederhana dan dapat direproduksi, yang dapat dimengerti dan dibagikan kepada orang lain oleh rata-rata anggota, pasti akan meningkatkan budaya pemuridan. Tugas seorang gembala tidak pernah mudah. Tetapi tidak perlu putus asa, juga tidak perlu berusaha memikul beban itu sendiri. Pemahaman teologi menjadi penghiburan terbesar bahwa seorang gembala tidak menggembalakan sendirian. Sang Gembala Agun, yaitu Yesus Kristus adalah Pribadi yang telah memberikan nyawa untuk para domba-Nya. Ia mencintai gereja-Nya jauh melebihi seorang gembala manusia biasa, dan Dia, persis pada saat ini, memimpin gereja-Nya dan memanggil umat-Nya untuk memiliki iman dan mengikuti kemana pun Ia memimpin.
KASUS V : PERANAN GEMBALA DALAM MENGHADAPI PENYESATAN
- Realita Masalah
Pokok bahasan mengenai isu-isu teologis dan pengajaran yang salah, keliru, dan tidak sesuai dengan kebenaran firman Tuhan bukanlah hal baru dalam gereja. Sepanjang sejarahnya, gereja selalu mengalami pergumulan yang hebat karena adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sebagai akibat dari beragam corak pemahaman, interpretasi dan pengajaran yang tidak benar. Isu-isu teologis yang menyesatkan telah menjadi topik yang sangat berkembang luas di dalam gereja, menjalar seperti akar rumput yang pada akhirnya jika tidak dibersihkan akan menjadi perusak bagi iman dan pengajaran Kristen sejati.
Seorang penulis dalam literatur Majalah Kalam Hidup menulis, “Dari masa ke masa ajaran sesat terus berkembang, mencari korban yang dapat dikelabui dan dijadikan pengikutnya. Saksi Yehuwa bahkan kini mendapat legalitas dari pemerintah, meskipun secara doktrin, sebagian besar orang Kristen, termasuk pembimas Kristen menolak.”
Menurut Miko Sulistiono, dalam menghadapi situasi dan kondisi tersebut telah membuat para teolog Kristen bersikap serius untuk berapologet, karena semua kasus yang muncul selalu dibahas dengan diserta penelitian yang lengkap dan tidak sembarangan.
- Analisa Masalah
Ada banyak penyebab terjadinya penyesatan. Dalam analisa penulis, penyesatan terjadi karena beberapa masalah yang membuat terjadinya kekeliruan dan kesalahan dalam pengajaran. Menurut Herlianto, terjadinya kesalahan dalam pengajaran adalah karena adanya manipulasi terhadap ayat-ayat Alkitab dengan mencomot ayat-ayat yang diinginkan demi kepentingan diri sendiri. Ayat Alkitab tidak dipahami dari sudut makna berita yang bisa dilihat dari konteksnya dan dipakai untuk ditaati, tetapi ayat tersebut dimanipulasikan dan dijadikan pendukung ajaran luar yang dimasukkan ke dalam kekristenan. Ayat Alkitab juga ditafsir dengan ajaran pengembangan pribadi/psikologi baru atau perdukunan yang menjadikan Alkitab semacam kumpulan kata-kata mutiara, slogan, jampi-jampi atau mantra saja. Sungguh suatu keadaan sinkretisme ajaran-ajaran luar yang dicampuradukkan dengan ajaran Alkitab.
Persoalan yang sangat tajam yang mengakibatkan penyesatan adalah tingkah laku dan karakter buruk si perumus ajaran sesat. Sebut saja Edward Alexander Crowley (1875-1947), sang aktor dibalik berdirinya “gereja setan”. Kejahatan perilaku Crowley sejak kecil telah membuat ibunya memanggilnya “The Beast”, yakni seekor binatang laut yang disebutkan dalam kitab Wahyu 13:1, yang keluar dengan tanduk-tanduk di kepala lalu menghujat nama Allah. Setelah dewasa, Crowley mengadakan perjanjian dengan setan, mengklaim dirinya sebagai anti-Kristus, merumuskah hukum Thelema (Yunani: pengertian), dengan misi hidup yang semata-mata ingin menghancurkan kekristenan. Jelaslah terlihat dari kasus ini, maka penyesatan terjadi karena perilaku buruk yang diekplorasi untuk tujuan merusak dan menghancurkan iman Kristen.
- Refleksi Teologis
Hal pengajaran sesat sesungguhnya tidak mengherankan, karena Yesus sendiri berkata dalam Lukas 17:1 dan Matius 18:7 bahwa tidak mungkin tidak akan ada penyesatan, memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah dunia dan orang yang mengadakannya. Ungkapan Yesus tersebut dalam Alkitab terjemahan Bahasa Indonesia Masa Kini diterjemahkan sebagai “Alangkah celakanya dunia ini karena hal-hal yang menyebabkan orang berdosa. Memang hal-hal seperti itu akan selalu ada, tetapi celakalah orang yang menyebabkannya” (Matius 18:7). Hal ini memberikan informasi penting sekaligus peringatan dan awasan bagi orang Kristen sejati bahwa hal berdosa yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan, kekeliruan, kesalahan yang membuat orang tersesat selalu akan terjadi.
Berdasarkan Efesus 4:14 bahwa penyimpangan dalam kekristenan juga terjadi karena permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan. Namun, Paulus menegaskan bahwa pengetahuan tentang Anak Allah, kedewasaan, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus membuat orang percaya tidak lagi anak-anak yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran yang menyesatkan itu (Efesus 4:13). Hal ini juga mengingatkan orang Kristen bahwa akan selalu ada orang jahat, yang licik dan penuh kepalsuan, yang akan selalu berusaha membelokkan ajaran-ajaran kekristenan kepada kehendak si iblis agar manusia jauh dari Tuhan dan mengalami kebinasaan.
- Rencana Aksi.
Dalam menyikapi penyesatan, peran penting seorang gembala sangat menentukan kualitas iman jemaat dalam menghadapinya. Beberapa tindakan nyata yang dapat dilakukan gembala, yakni pertama, seorang gembala perlu terlebih dahulu memiliki pemahaman yang benar tentang firman Tuhan. Memahami firman Tuhan dengan benar merupakan fondasi seorang gembala agar kemudian memiliki kekuatan untuk berhadapan dengan pengajaran-pengajaran yang menyesatkan. Paulus menyebutkan bahwa seorang pelayan Kristus, harus terdidik dalam soal-soal pokok iman dan dalam ajaran yang sehat (1 Timotius 4:6). Untuk dapat memahami firman Tuhan dengan benar, seorang gembala perlu belajar melalui proses pendidikan formal di Sekolah Teologi. Secara pribadi, ia juga perlu mengadakan pendalaman, penelaahan, penyelidikan, dan juga penelitian terhadap isi Alkitab. Menurut M. Bons-Storm, “Perlulah para gembala membaca dan menyelidiki Alkitab dengan setia dan teliti, supaya mereka tahu bagaimana cara Yesus melayani, berbicara dan bergaul dengan manusia.” Ini menegaskan bahwa hanya dengan memahami firman Tuhan secara benar, maka ia akan dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap umat Tuhan agar tidak terjerumus ke dalam isu-isu teologi yang menyesatkan.
Kedua, seorang gembala perlu mendidik umat Tuhan dengan pengajaran yang benar. Yesus memberikan Amanah kepada para murid agar mengajar orang-orang percaya untuk melakukan segala sesuatu yang Ia perintahkan (Matius 28:20). Ini berarti bahwa di luar kehendak Yesus, maka hal itu adalah penyesatan. Gembala yang sudah memahami doktrin Alkitab dengan benar, berkewajiban untuk menyampaikannya kepada jemaat. Dalam hal ini, Hali Daniel Lie menegaskan bahwa semua doktrin Alkitab perlu diajarkan kepada jemaat, dan tidak hanya menjejali jemaat dengan beberapa doktrin saja.
Ketiga, seorang gembala berkewajiban mengawasi umat Tuhan agar tetap menganut ajaran yang benar. (1 Timotius 4:16). Pengawasan merupakan proteksi dan perlindungan seorang gembala terhadap anggota jemaat dari pengaruh dan serangan terhadap imannya. Proteksi ini, menurut Daniel Lie dapat diaplikasikan ke dalam bentuk “Peningkatan kualitas pelayanan dalam dan bagi jemaat. Kegiatan ibadah tidak hanya bertendensi formalitas. Pelayanan pastoral perlu ditingkatkan, dan hubungan sesame jemaat perlu dipererat agar dapat saling membangun.
Keempat, seorang gembala harus mendokan umat Tuhan. Yesus berkata, “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan” (Matius 26:41b). isu-isu teologis yang menyesatkan adalah salah satu pencobaan. Untuk dapat menangkalnya, Yesus memerintahkan para murid agar berdoa. Menurut Paul Borthwick, “Doa menghubungkan kita dengan Allah yang Mahabesar, satu-satunya Allah yang berkuasa mengubah dunia.” Dengan demikian, apabila Allah yang berkuasa itu bekerja oleh karena doa seorang gembala, maka hal-hal yang menyesatkan umat-Nya dapat diperangi, dan umat-Nya selalu dalam bimbingan hikmat Roh Kudus yang selalu memberikan pencerahan untuk tetap berada pada jalan yang benar.
KEPUSTAKAAN
Borthwick, Paul, Pemberitaan Injil Tugas Siapa? Bandung: Kalam Hidup, 1995.
Herlianto, Saksi-saksi yehuwa. Bandung Kalam Hidup, 2004.
https://www.christianitytoday.com/ct/2021/july-web-only/menggembalakan-di-masa- pandemi-pemuridan-pemimpin-id.html. Diakses 11 Januari 2022
King, Lary dalam Parel T.J. Majalah Sahabat Gembala: Bagaimana Jika Anda Diminta
Berkhotbah Secara Tiba-tiba? Bandung: Kalam Hidup, Edisi Agustus-Septtember 2011
Kouzes, James M. & Barry Z. Posner. The Leadership Challenge (Tantangan
Kepemimpinan). Edisi Ketiga. Terj. Revyani Sjahrial. Jakarta: Erlangga, 2004,
dalam Daniel Ronda, Kepemimpinan Model Gembala.
gembala_02.html
Lie, Hali Daniel, Gereja Setan di Indonesia. Bandung: Agiamedia, 1999.
Menzies, William W. & Stanley M. Horton. Doktrin Alkitab. Malang: Gandum Mas, 1998.
Miller, Donald A., Obat Depresi, Bandung: Kalam Hidup, 2000.
Rinehart, Stacy. Upside Down. USA: NavPress, 1998. Tersedia di
http://www.navpress.com/Store/Product/9781576830796.html. dalam Daniel Ronda, Kepemimpinan Model Gembala. Diakses 4 Januari 2022.
Ronda, Daniel. Leadership Wisdom: Antalogi Hikmat Kepemimpinan. Bandung: Kalam
Hidup, 2011.
Ronda, Daniel, Gembala sebagai Pemimpin Rohani, Bandung: Kalam Hidup, 2020.
Ronda, Daniel. Kepemimpinan Model Gembala.
gembala_02.html
Storm, M. Bons-, Apakah Penggembalaan Itu? Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Tomatala, Yakob, Kepemimpinan Yang Dinamis, Malang: Gandum Mas, 1997.